Takrifat

Nasakh Al-Quran Dengan As-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas

Nasakh al-Quran dengan as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas maknanya adalah pembatalan hukum yang dinyatakan dalam ayat al-Quran dengan as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas. Dengan kata lain, as-Sunnah, Ijmak Sahabat atau Qiyas menghalangi keberlanjutan hukum yang telah ditetapkan oleh ayat al-Quran.

 

Nasakh al-Quran dengan as-Sunnah

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama ushul dan mutakallimin tentang kebolehannya. Sebagian ulama membolehkan, yang lain tidak membolehkan. Dalam hal ini, al-‘Allamah al-Imam Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 3 menegaskan, bahwa nasakh al-Quran dengan as-Sunnah baik mutawatirah atau ahad adalah tidak boleh dan tidak terjadi.

Adapun ketidakbolehannya karena Allah SWT berfirman:

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ ٤٤

Kami telah menurunkan kepadamu al-­Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (TQS an-Nahl [16]: 44).

 

Allah SWT menyifati Nabi saw. sebagai mubayyin (yang menjelaskan). Adapun an-nâsikh (yang menghapus) adalah râfi’ (yang mengangkat/membatalkan), bukan mubayyin (yang menjelaskan). Ar-Raf’u (pengangkatan/pembatalan) itu bukan al-bayân (penjelasan).

Allah SWT juga berfirman:

۞مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ ١٠٦

Ayat mana saja yang Kami nasakh, atau Kami jadikan (manusia) lupa padanya, Kami datangkan yang lebih baik daripada yang demikian atau yang sebanding dengan itu (TQS al-Baqarah [2]: 106).

 

Ayat ini menunjukkan bahwa yang mendatangkan yang lebih baik atau sebanding adalah Allah SWT karena kata ganti tersebut merujuk kepada Allah SWT. Hal itu tidak terjadi kecuali jika yang me-nasakh adalah al-Quran. Karena itu Allah SWT berfirman dalam kelanjutan ayat tersebut:

أَلَمۡ تَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ  ١٠٦

Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? (TQS al-Baqarah [2]: 106).

 

Ini mengisyaratkan bahwa yang mendatangkan yang lebih baik atau sebanding itu adalah yang dikhususkan dengan sifat kesempurnaan dan kemahakuasaan. Jadi tidak terjadi nasakh al-Quran dengan as-Sunnah karena yang mendatangkan as-Sunnah adalah Rasul saw. Meskipun as-Sunnah diperoleh dengan wahyu sebagaimana al-Quran (sesuai firman Allah SWT QS an-Najm [53]: 4-5), yang diperoleh dengan wahyu adalah maknanya. As-Sunnah tidak dibaca dengan niat beribadah (seperti halnya al-Quran). Adapun al-Quran diperoleh dengan wahyu secara lafal dan maknanya. Al-Quran pun dibacakan dan kita beribadah dengan tilâwah-nya.

Allah SWT juga berfirman:

وَإِذَا بَدَّلۡنَآ ءَايَةٗ مَّكَانَ ءَايَةٖ ١٠١

…Jika Kami meletakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya… (QS an-Nahl [16]: 101).

 

Allah SWT menginformasikan bahwa Allah mengganti ayat dengan ayat lainnya, tidak dengan as-Sunnah.

Allah SWT juga berfirman:

قَالَ ٱلَّذِينَ لَا يَرۡجُونَ لِقَآءَنَا ٱئۡتِ بِقُرۡءَانٍ غَيۡرِ هَٰذَآ أَوۡ بَدِّلۡهُۚ قُلۡ مَا يَكُونُ لِيٓ أَنۡ أُبَدِّلَهُۥ مِن تِلۡقَآيِٕ نَفۡسِيٓۖ إِنۡ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَيَّۖ ١٥

Orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Datangkanlah al-Quran yang lain dari ini atau gantilah dia.” Katakanlah, “Tidaklah patut bagi aku mengganti al-Quran dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepada diriku.” (QS Yunus [10]: 15).

 

Ayat ini merupakan dalil bahwa al-Quran tidak di-nasakh dengan selain al-Quran. Hal itu ditunjukkan oleh fakta bahwa kaum musyrik ketika ayat menggantikan ayat lainnya, mereka berkata: [ إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ ] (Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja) (QS an-Nahl [16]: 101). Lalu Allah menghilangkan kerancuan mereka dengan firman-Nya:

قُلۡ نَزَّلَهُۥ رُوحُ ٱلۡقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِٱلۡحَقِّ ١٠٢

Katakanlah, “Ruuh al-Qudûs (Malaikat Jibril) menurunkan al-Quran itu dari Tuhanmu dengan benar.” (QS an-Nahl [16]: 102).

 

Hal itu menunjukkan bahwa penggantian itu tidak ada kecuali dengan apa yang diturunkan oleh Ruuh al-Qudûs (Malaikat Jibril), yaitu berupa al-Quran. Dengan demikian, al-Quran dan as-Sunnah memang telah didatangkan oleh wahyu. Namun, as-Sunnah dinisbatkan kepada Rasul sehingga dikatakan, “Rasulullah saw bersabda…,” dan tidak dikatakan, “Allah SWT berfirman…,” kecuali pada hadis qudsi. Jadi as-Sunnah tidak dinisbatkan kepada Allah. As-Sunnah datang dengan maknanya dari Allah. Adapun al-Quran datang dengan lafal dan maknanya dari Allah SWT. Membaca as-Sunnah tidak terkategori ibadah. Adapun membaca al-Quran terkategori ibadah. Semua ini membuat al-Quran tidak boleh di-nasakh dengan as-Sunnah.

Kemudian teks dua ayat nasakh menyatakan bahwa yang me-nasakh ayat adalah ayat. Ayat pertama mengatakan:

۞مَا نَنسَخۡ مِنۡ ءَايَةٍ أَوۡ نُنسِهَا نَأۡتِ بِخَيۡرٖ مِّنۡهَآ أَوۡ مِثۡلِهَآۗ ١٠٦

Ayat mana saja yang Kami nasakh, atau Kami jadikan (manusia) melupakannya, Kami mendatangkan yang lebih baik daripada ayat tersebut atau yang sebanding dengan ayat itu (QS al-Baqarah [2]: 106).

 

Dari sini bisa dipahami bahwa yang me-­nasakh adalah ayat al-Quran. Sebabnya, yang sebanding dengan al-Quran tidak ada kecuali ayat al-Quran lagi. Ini tidak berlaku untuk Hadis Nabi saw. terhadap al-Quran.

Ayat kedua menyatakan:

وَإِذَا بَدَّلۡنَآ ءَايَةٗ مَّكَانَ ءَايَةٖ ١٠١

…Jika Kami meletakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya… (QS an-Nahl [16]: 101).

 

Ayat ini menyatakan bahwa penggantian terjadi dengan meletakkan ayat yang menggantikan ayat lainnya. Ini berarti bahwa yang me-nasakh ayat al-Quran harus berupa ayat al-Quran lagi. Dengan demikian tidak ada yang me-nasakh al-Quran kecuali al-Quran.

Semua ini merupakan dalil bahwa al-Quran tidak di-nasakh dengan as-Sunnah, baik yang mutawatirah atau dalam bentuk khabar ahad.

Lalu mengapa tidak terjadi nasakh al-Quran dengan as-Sunnah? Karena memang tidak ada hukum as-Sunnah yang me-nasakh hukum al-Quran. Adapun beberapa hukum al-Quran yang diklaim telah di-nasakh dengan as-Sunnah maka sebagiannya di-nasakh dengan al-Quran dan sebagiannya merupakan pengkhususan (takhshîsh), bukan nasakh.

Misalnya, wasiat untuk kedua orangtua dan kerabat yang dinyatakan dalam firman-Nya:

كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ  ١٨٠

Telah diwajibkan atas kalian, jika seseorang di antara kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, agar berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 180).

 

Dikatakan, hukum ini telah di-nasakh dengan sabda Rasul saw.:

«إنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ»

Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya dan tidak ada wasiat untuk ahli waris (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan at-Tirmidzi).

 

Jawabannya, hukum tersebut sebetulnya telah di-nasakh dengan ayat-ayat waris dalam QS an-Nisa’ [4]: 11. Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas ra. dan Ibnu Umar ra.

Contoh lain: Dikatakan bahwa had cambuk bagi orang yang berzina dalam firman Allah SWT QS an-Nur [24]: 2 telah di-nasakh dengan rajam yang ditetapkan dengan as-Sunnah. Jawabannya, sanksi cambuk tidak di-nasakh, namun tetap ada dan berlaku, melainkan datang pengkhususan (takhshîsh) atas hukum cambuk untuk ghayru muhshân, sedangkan rajam untuk yang muhshân. Jadi itu adalah pengkhususan dan bukan nasakh. Pengkhususan (takhshîsh) al-Quran dengan as-Sunnah adalah boleh. Sebabnya, itu termasuk bayân (penjelasan) yang terderivasi di bawah firman Allah [ لِتُبَيِّنَ ] (agar kamu menjelaskan). Ini berbeda dengan nasakh. Sebabnya, nasakh adalah raf’un wa ibthâlun (penghilangan dan pencabutan/pembatalan) dan bukan bayân (penjelasan).

Apalagi hadis “lâ washiyyata liwâritsin” dan hadis rajam merupakan hadis ahad. Andai pun diasumsikan al-Quran boleh di-nasakh dengan as-Sunnah maka tidak boleh di-nasakh dengan hadis ahad. Sebabnya, al-Quran adalah qath’iy ats-tsubûth, sedangkan hadis ahad adalah zhanniy ats-tsubûth. Yang qath’iy tentu tidak boleh di-nasakh dengan yang zhanniy. Sebabnya, nasakh adalah pembatalan sehingga hukum yang ditetapkan secara qath’iy. Tidak boleh dibatalkan dengan hukum yang ditetapkan secara zhanniy.

Ini juga menguatkan bahwa contoh-contoh yang diklaim sebagai nasakh al-Quran dengan as-Sunnah hakikatnya bukanlah nasakh. Juga bahwa nasakh al-Quran dengan as-Sunnah itu tidak terjadi. Selama nasakh al-Quran dengan as-Sunnah tidak terjadi sama sekali, maka hal itu cukup untuk menunjukkan ketidakbolehannya. Sebabnya, yang dimaksudkan bukanlah kebolehannya secara akal, tetapi secara syar’iy.

 

Nasakh al-Quran dengan Ijmak Sahabat dan Qiyas

Al-Quran juga tidak boleh di-nasakh dengan Ijmak Sahabat dan Qiyas. Sebabnya, Ijmak Sahabat dan Qiyas itu terjadi sepeninggal Rasul saw., sementara wahyu sudah berhenti turun. Padahal nasakh hukum syariah hanya boleh dengan wahyu. Telah terakadkan Ijmak Sahabat atas terhalangnya nasakh sepeninggal Rasul saw. dan tidak ada seorang pun yang berbeda pendapat tentang hal ini.

Hanya saja, Ijmak Shahabat dapat dijadikan argumentasi atas terjadinya nasakh, baik nasakh al-Quran maupun nasakh as-Sunnah sesuai ketentuannya.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × five =

Back to top button