Telaah Kitab

Dalil-Dalil Syariah

Dalîl adalah kata tunggal (isim mufrd). Bentuk jamaknya adalah adillâ’, adillâh dan dalâ’il. Secara bahasa, dalil bermakna burhân (bukti/petunjuk), bayyinah (bukti), hujjah (argumen), ataupun ‘alâmat (rambu/tanda).

Para ulama ushul mendefinisikan dalil sebagai:

[الَّذِي يُمْكِنُ أَنْ يَتَوَصَّلَ بِصَحِيحِ النَّظَرِ فِيهِ إِلَى الْعِلْمِ بِمَطْلُوبٍ خَبَرِيٍّ]

(Sesuatu) yang, dengan analisis yang benar, memungkinkan untuk memperoleh pengetahuan tentang apa yang dimaksud oleh suatu berita.1

 

Dengan ungkapan lain, dalil adalah sesuatu yang dijadikan hujjah bahwa yang dibahas dari dalil tersebut adalah hukum syariah.

Secara umum dalil syariah adakalanya menunjukkan suatu hukum dengan penunjukan yang pasti (qath’i) dan adakalanya dengan penujukan yang bersifat dugaan (zhanni). Hukum yang ditunjukkan oleh suatu dalil itu pasti hanya ada dalam satu kondisi, yakni jika memenuhi dua syarat: (1) sumbernya pasti dan tidak diragukan lagi (qath’iyyuts-tsubût) seperti al-Quran dan Hadis Mutawatir; (2) penunjukan makna dari dalil tersebut juga bersifat pasti (qath’iyyud-dilâlah). Jika tidak memenuhi dua hal tersebut maka hukum yang ditunjukkan oleh dalil tersebut bersifat dugaan (zhanni).

 

Dalil Syariah Harus Qath’i

Meskipun hukum yang ditunjukkan oleh suatu dalil bisa bersifat pasti (qath’i) maupun dugaan (zhanni), mayoritas ulama menegaskan bahwa pokok-pokok syariah secara keseluruhan—baik ushûluddin (dasar-dasar agama/akidah) maupun ushûl al-ahkâm (dasar-dasar hukum)—haruslah dalil-dalil yang qath’i, tidak boleh bersifat zhanni.

Al-Quran jelas melarang hal yang zhanni dalam masalah ushûl. Al-Quran mencela orang-orang yang mengikuti hal yang zhanni dalam masalah ini. Allah SWT berfirman:

﴿وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا﴾

Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sungguh persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran (QS Yunus [10]: 36).

 

Imam Asy-Syathibi (w. 790 H) dalam Al-Muwâfaqât menyatakan:

«إِنَّ أُصُولَ الْفِقْهِ فِي الدِّينِ قَطْعِيَّةٌ لَا ظَنِّيَّةٌ، وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّهَا رَاجِعَةٌ إِلَى كُلِّيَّاتِ الشَّرِيعَةِ، وَمَا كَانَ كَذَلِكَ فَهُوَ قَطْعِيٌّ »

Sesungguhnya dasar-dasar fiqih dalam agama itu adalah qath’i, bukan zhanni. Alasannya, dasar-dasar tersebut kembali pada kulliyaat asy-syarii’ah (prinsip-prinsip umum syari’ah). Apa pun yang seperti itu maka dia itu qath’i.2

 

Di antara alasan lain mengapa harus qath’i beliau sampaikan:

[لَوْ جَازَ تَعَلُّقُ الظَّنِّ بِكُلِّيَّاتِ الشَّرِيعَةِ؛ لَجَازَ تَعَلُّقُهُ بِأَصْلِ الشَّرِيعَةِ لِأَنَّهُ الْكُلِّيُّ الْأَوَّلُ، وَذَلِكَ غَيْرُ جائز]

Andai boleh mengaitkan hal yang zhanni dengan kulliyaat asy-syarii’ah maka tentu boleh pula mengkaitkan hal yang zhanni tersebut dengan pokok Syariah. Ini karena pokok syariah tersebut adalah kulli yang pertama. Yang demikian tentu tidak boleh.3

 

Beliau juga menyatakan:

«لَوْ جَازَ جَعْلُ الظَّنِّيِّ أَصْلًا فِي أُصُولِ الْفِقْهِ؛ لَجَازَ جَعْلُهُ أَصْلًا فِي أُصُولِ الدِّينِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ بِاتِّفَاقٍ، فَكَذَلِكَ هُنَا؛ لِأَنَّ نِسْبَةَ أُصُولِ الْفِقْهِ مِنْ أَصْلِ الشَّرِيعَةِ كَنِسْبَةِ أُصُولِ الدِّينِ»

Andai boleh menjadikan yang zhanni itu sebagai pokok pada ushul fiqih, niscaya boleh pula menjadikan yang zhanni sebagai pokok pada ushuluddin. Namun, yang disepakati tidaklah demikian. Begitu pula di sini. Ini karena kedudukan ushul fiqih sebagai bagian dari ushul asy-syarii’ah adalah sebagaimana kedudukan ushuluddin (yang mesti qath’i).4

 

Mengapa ushul al-ahkâm disamakan dengan ushuluddin yang dalilnya wajib qath’i? Sebabnya, yang dibutuhkan untuk menggali suatu hukum bukanlah sekadar keberadaan dalil, namun dalil yang dibawa oleh wahyu. Oleh karena itu, harus dibuktikan bahwa dalil tersebut telah diwahyukan. Pembuktian bahwa dalil tersebut diwahyukan merupakan masalah keimanan, bukan masalah hukum Islam. Oleh karena itu, harus ditetapkan bahwa dalil tersebut memang telah diwahyukan dengan bukti pasti, karena keimanan hanya dapat diambil dari kepastian.5

 

Empat Dalil Syariah yang Qath’i

Dalil yang kehujjahannya qath’i ada empat, yakni: (1) al-Kitab (al-Quran; (2) as-Sunnah; (3) Ijmak Sahabat; (4) Qiyas yang ‘illat-nya ditunjuk oleh nash syariah. Inilah empat dalil yang disepakati. Selain yang empat ini tidak dikategorikan sebagai dalil syara’ yang qath’i.

 

Dalil 1: al-Quran

Al-Quran merupakan lafal yang diturunkan kepada Sayidina Muhammad saw. yang memiliki beberapa pengertiannya. Al-Quran merupakan wahyu Allah dalam lafal (redaksi) dan ma’na (makna)-nya sekaligus. Jika hanya ma’na saja yang Allah wahyukan maka tidak dinamakan sebagai al-Quran. Demikian juga andai lafal (redaksi)-nya saja yang diwahyukan; keberadaannya tidak mungkin terjadi tanpa makna secara mutlak. Sebabnya, asal pembentukan sebuah lafal adalah untuk suatu penunjukkan terhadap makna tertentu.

Apa yang dinukilkan pada kita dari al-Quran dengan penukilan yang mutawatir sajalah yang merupakan hujjah. Adapun apa yang dinukilkan pada kita dari al-Quran secara ahad tidaklah dianggap bagian dari al-Quran dan bukan merupakan hujjah.

Al-Quran mengandung ayat-ayat muhkamât dan ayat-ayat mutasyâbihat. Ini berdasarkan firman-Nya:

مِنۡهُ ءَايَٰتٞ مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ ٧

Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamaat. Itulah pokok-pokok isi al-Quran. Yang lainnya adalah (ayat-ayat) mutasyaabihaat (QS Ali Imran [3]: 7).

Ayat-ayat muhkam adalah ayat-ayat yang pengertiannya terang dan jelas sehingga menghilangkan adanya alternatif makna yang lain. Ini seperti firman-Nya:

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ ٢٧٥

Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275).

Adapun mutasyaabih adalah lawan dari muhkam, yaitu apa yang mengandung lebih dari satu makna. Ini seperti firman Allah SWT:

وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ ٢٢٨

Para wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quruu’ (QS al-Baqarah [2]: 228).

Kata qurû’ bisa bermakna menstruasi dan bisa pula bermakna suci.

 

Dalil 2: As-Sunnah

Secara bahasa makna as-Sunnah maknanya adalah jalan. Secara syar’i, as-Sunnah digunakan untuk hal-hal yang masuk kategori ibadah yang bersifat nâfilah (tidak wajib) yang dinukil dari Nabi saw. As-Sunnah juga digunakan untuk menyebut apa saja yang bersumber dari Rasul saw.; baik perkataan, perbuatan atau taqrîr. Semua itu disebut as-Sunnah. Semua itu ditransformasikan lewat wahyu.

As-Sunnah adalah dalil syariah. Ini berdasarkan dalil yang pasti atas kenabian Sayidina Muhammad serta risalahnya. Juga berdasarkan dalil yang qath’i tsubût serta qath’i dalâlah bahwa beliau tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu, namun berdasarkan wahyu. Dengan demikian as-Sunnah itu adalah wahyu dari Allah SWT, yang wajib diambil sebagaimana al-Quran. Allah SWT berfirman:

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ ٧

Apa saja yang Allah berikan kepada kalian, terimalah. Apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah (QS al-Hasyr [59]: 7).

Juga firman-Nya:

مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ ٨٠

Siapa saja yang mentaati Rasul itu, sungguh ia telah mentaati Allah (QS an-Nisa’ [4]: 80).

Hanya saja, terkait as-Sunnah, sisi kewahyuannya ada pada makna yang dikandung, bukan pada lafalnya. Rasul saw. lalu mengungkapkan makna wahyu tersebut dengan lafal, perbuatan atau taqrîr (pengakuan) beliau. Karena itulah boleh meriwayatkan as-Sunnah secara makna saja.

 

Kedudukan As-Sunnah Terhadap al-Quran

Secara umum fungsi as-Sunnah adalah menjelaskan al-Quran. Ini sebagaimana firman Allah SWT:

وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ ٤٤

Kami telah menurunkan al-Quran kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (QS an-Nahl [16]: 44).

 

Secara ringkas penjelasan as-Sunnah terhadap al-Quran adalah sebagai berikut:

  1. Perinci Hukum yang ada dalam al-Quran.

Misalnya dalam al-Quran Allah SWT memerintahkan shalat tanpa adanya penjelasan waktu-waktunya, rukun-rukunnya dan bilangan rakaatnya. Lalu as-Sunnah menjelaskan hal itu. Rasul saw. bersabda:

«صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي»

Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR al-Bukhari).

Begitu pula ayat tentang haji, zakat, nikah dll. As-Sunnah datang menjelaskan dan merinci tata cara pelaksanaannya.

 

  1. Men-takhshîsh keumuman al-Quran.

Misalnya Allah SWT memerintahkan agar anak mewarisi bapak. Ini sebagaimana dalam QS an-Nisa’ ayat 11. Lalu as-Sunah men-takhshîsh (mengkhususkan) bahwa bapak yang mewariskan adalah selain para nabi. Ini berdasarkan hadis:

«لا نُورَثُ؛ ما تَرَكْنَا فَهو صَدَقَةٌ»

Kami tidak meninggalkan waris. Apa yang kami tinggalkan adalah sedekah (HR al-Bukhari).

Begitu juga ada hadis riwayat Abu Dawud yang men-takhshîsh anak yang membunuh orangtuanya; dia tidak mendapatkan warisan dari orangtua yang dia bunuh itu.

 

  1. Men-taqyîd (Membatasi) yang Mutlaq

Misalnya al-Quran memerintahkan untuk memotong tangan pencuri tanpa membatasi berapa nilai barang curiannya. Lalu as-Sunnah membatasi kadarnya untuk nilai ¼ dinar ke atas:

«لَا تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إلَّا في رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا»

Tidak dipotong tangan pencuri kecuali dalam pencurian bernilai ¼ dinar ke atas (HR Muslim).

 

  1. 4. Menambahkan Hukum Cabang dari Pokoknya.

Misalnya Allah SWT mengharamkan tindakan mempoligami wanita dengan saudaranya berdasarkan QS an-Nisa’ ayat 23. Lalu hadis Abu Hurairah menambahkan keharaman tindakan mempoligami wanita dengan bibinya.

 

Dalil 3: Ijmak Shahabat

Ijmak secara istilah berarti:

[الِاتِّفَاقُ عَلَى حُكْمِ وَاقِعَةٍ مِنْ الْوَقَائِعِ بِأَنَّهُ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ]

Kesepakatan bahwa hukum atas suatu fakta tertentu adalah hukum syariah.6

 

Contohnya adalah Ijmak Sahabat atas kewajiban mengangkat khalifah setelah Rasulullah wafat, pengumpulan al-Quran dalam satu mushaf dll.

Adapun ijmak siapa yang menjadi dalil syariah, para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpandangan ijmak ulama, ijmak ahlul halli wal aqdi, ijmak penduduk madinah, dll. Hanya saja ijmak yang mereka sepakati sebagai dalil syariah adalah Ijmak Sahabat. Karena itu dalil ke tiga yang qath’i adalah Ijmak Sahabat. Hal ini karena terdapat pujian dan keridhaan Allah atas mereka dalam al-Quran, misalnya dalam Surat at-Taubah ayat 100, karena Sahabatlah yang mengumpulkan al-Quran. Mereka yang menjaga al-Quran. Mereka pula yang mentransmisikan al-Quran pada kita.

 

Dalil 4: Qiyas

Menurut istilah para ulama ushul, Qiyas didefinisikan dengan berbagai definisi. Di antaranya adalah:

[إِثْبَاتُ مِثْلِ حُكْمٍ مَعْلُومٍ فِي مَعْلُومٍ آخَرَ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي عِلَّةِ الْحُكْمِ عِنْدَ الْمُثْبِتِ]

Penetapan untuk menyamakan hukum yang telah diketahui atas yang lain yang juga diketahui karena kesamaan illat (alasan hukum) menurut yang menetapkan.7

 

Qiyas, asalkan memenuhi syarat-rukunnya, adalah dalil syariah yang pasti. Hal ini karena Qiyas tersebut sejatinya kembali pada nas itu sendiri, yakni nas yang menunjuk pada illat, baik nas tersebut al-Quran maupun as-Sunnah. Karena itulah Qiyas dikatakan dengan ma’qûl an-nash (aspek rasional dari nas).

WalLâhu a’lam. [M. Taufik NT]

 

Catatan kaki:

  1. Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, Cet. III., vol. 3 (Beirut: Dâr al-Ummah, 2005), h. 64.
  2. Ibrahim bin Musa As-Syatibi, Al-Muwâfaqât, Pentahkik. Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan, Cet. I. (Dâr Ibn ’Affân, 1997), Juz. 1 h. 17-18.
  3. , Juz. 1 h. 19.
  4. , Juz. 1 h. 20.
  5. Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimatu Ad-Dustûr, Cet. II. (Beirut: Dâr al-Ummah, 2009), h. 48.
  6. Atha‘ bin Khalil Abu Rasthah, Taysîr Al-Wushûl Ilâ al-Ushûl, Cet. III. (Beirut: Dar al-Ummah, 2000), h. 82.
  7. An-Nabhani, Al-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, 3:h. 319.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine + 12 =

Back to top button