Ibrah

Korupsi

Di negeri ini, korupsi seolah sudah menjadi tradisi. Menjadi budaya. Bahkan sampai ada yang berkata sinis, ”Budaya Barat itu bukan budaya kita. Budaya kita itu korupsi!” Seperti bercanda, tetapi nyata menggambarkan realitas yang terjadi. Korupsi—setali tiga uang dengan suap-menyuap dan gratifikasi—sudah sangat biasa terjadi nyaris di semua lini. Dari mulai tingkat pemerintahan desa, bahkan RT, hingga ke tingkat pusat, korupsi sudah terjadi. Celakanya, semua ini seolah dimaklumi.

Yang lebih membuat miris, korupsi sekarang bukan hanya bernilai puluhan atau ratusan juta rupiah. Bahkan tidak lagi bernilai miliaran atau ratusan miliar rupiah. Korupsi sekarang sudah di angka triliunan, puluhan triliun, bahkan ratusan triliun rupiah. Korupsi di PT Timah, PT Pertamina, PT Aneka Tambang, PT Pupuk Nusantara dan banyak BUMN lainnya tidak lagi bernilai ecek-ecek. Angkanya sudah tak masuk akal. Total mencapai ribuan triliun rupiah. Sudah begitu, para pelakunya acapkali dibiarkan. Kalaupun ditersangkakan dan dihukum, mereka dihukum dengan sangat ringan. Tak jarang, mereka dibebaskan dari segala dakwaan. Tak sebanding dengan kejahatannya yang sangat luar biasa dan sangat merugikan rakyat.

Tentu menjadi pertanyaan: Apa sebetulnya yang dicari oleh para koruptor? Apa yang menjadikan mereka gemar korupsi, bahkan seolah tak punya urat malu lagi? Padahal, yang mereka nikmati, sebanyak apapun, tak lebih dari secuil kenikmatan duniawi. Kenikmatan dunia, jangankan yang haram, seperti hasil korupsi, bahkan yang halal pun—di sisi Allah SWT—tak bernilai apa-apa. Jangankan hanya ratusan atau bahkan ribuan triliun rupiah, bahkan andai seorang manusia memiliki bumi dan seluruh isinya, semua itu tetap tak sebanding dengan secuil saja kenikmatan di akhirat (surga). Secuil saja kenikmatan di surga sangat tak sebanding dengan sebanyak dan seberlimpah apapun dari nikmat duniawi nan abadi. Begitulah yang Allah SWT gambarkan dalam al-Quran (yang artinya): Katakanlah, ”Kesenangan di dunia ini hanyalah sedikit sekali, sementara akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kalian tidak akan dianiaya sedikit pun.” (TQS an-Nisa’ [4]: 77).

Imam Ibnu Katsir rahimahulLâh dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (2/383) menjelaskan bahwa dunia itu fana (profan), sedangkan akhirat adalah kekal-abadi. Karena itu orang yang berakal pasti akan memilih sesuatu yang kekal-abadi dibandingkan dengan yang fana.

Sekali lagi, jangankan harta haram, harta halal yang amat melimpah pun tetap sedikit dibandingkan dengan kenikmatan surga. Rasulullah saw. bersabda:

«مَوْضِعُ سَوْطٍ فِي الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا»

Sejengkal tempat di surga itu jauh lebih baik daripada dunia dan seluruh isinya (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim (13/42) menjelaskan bahwa kenikmatan dunia, walaupun tampak besar, tidak ada nilainya dibandingkan surga yang kekal dan penuh kenikmatan. Saking kecilnya harga dunia dibandingkan akhirat, bahkan dua rakaat shalat sunnah sebelum shalat subuh jauh lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Rasulullah saw. bersabda:

«رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا»

Dua rakaat shalat sunnah fajar lebih baik daripada dunia dan seisinya (HR Muslim).

 

Imam Ibnu Rajab dalam Fath al-Bâri (6/277) menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan betapa remehnya nikmat dunia dibandingkan dengan amal ibadah yang akan memberikan pahala dan kenikmatan yang amat besar dan kekal di akhirat.

Demikian pula sebagaimana dinyatakan oleh Abu ‘Ubaid bin ‘Umair rahimahulLâh, “Sungguh dunia itu remeh di mata Allah SWT. Buktinya, Allah memberikan dunia kepada siapa saja, baik yang Dia cintai ataupun yang tidak Dia cintai. Adapun iman hanya Allah berikan kepada orang yang Dia cintai.” (Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 3/ 270).

Saking remehnya dunia, Allah SWT memberikan dunia (harta tahta, wanita, kekuasaan dll) kepada siapa saja; Muslim atau kafir; Mukmin atau fasik; yang taat atau tukang maksiat.

Inilah pula sesungguhnya yang ditegaskan oleh Rasulullah saw. Sabda beliau, “Demi Allah. Tidaklah (nikmat) dunia dibandingkan dengan (nikmat) akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke lautan, maka lihatlah air yang menempel di jarinya itu.” (HR Muslim).

Artinya, nikmat dunia itu seperti air yang menempel di ujung jari. Amat sedikit. Apalagi jika dibandingkan dengan besarnya dan berlimpahnya nikmat surga di akhirat nanti.

Karena itu seorang Muslim yang cerdas sejatinya tidak akan tertipu dengan kenikmatan dunia yang amat sedikit, baik yang halal, apalagi yang haram, seperti hasil korupsi. Meskipun harta yang diperoleh dari korupsi tampak banyak, sejatinya itu hanyalah bagian dari nikmat dunia yang amat sedikit dan akan mendatangkan azab yang besar. Sebabnya jelas. Korupsi adalah tindakan batil yang telah Allah SWT haramkan: Janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil (QS al-Baqarah [2]: 188).

Imam al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (2/305) menyebutkan bahwa segala bentuk pengambilan harta secara batil, tentu termasuk korupsi, adalah haram dan pelakunya akan mendapat azab yang pedih di akhirat.

Selain itu, harus selalu disadari, bahwa dunia ini adalah tempat kesenangan (sebagai ujian), sedangkan akhirat adalah tempat pembalasan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu (QS al-Hadid [57]: 20).

Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn (4/353) mengatakan bahwa dunia hanyalah tempat singgah yang fana, sehingga tidak layak bagi seorang Mukmin untuk menjadikan dunia ini sebagai tujuan utama hidupnya.

Semoga Allah SWT memberi kita hidayah dan taufik agar kita selalu diberi kesadaran untuk senantiasa lebih mengutamakan upaya untuk meraih nikmat surga yang tak terhingga dan abadi daripada nikmat dunia yang tak seberapa dan fana ini. Âmîn.

Wa mâ tawfîqîillâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty + nineteen =

Check Also
Close
Back to top button