Demokrasi Sistem Kufur
“Democrazy is government of the people, by the people and for the people”
(Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16)
“Of the 1%, by the 1 %, for the 1% “
(Joseph E. Stiglitz, Pemenang Nobel 2011)
Dua pernyataan di atas memberikan penjelasan sederhana tentang hakikat demokrasi secara konsep dan praktek. Secara konsep, Lincoln menegaskan demokrasi adalah pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat, berasal dari rakyat, dan untuk kepentingan rakyat.
Namun, dengan gamblang Stiglitz menamparnya dengan fakta-praktikanya, bahwa yang dimaksud rakyat hanyalah yang 1%. Mereka itulah penguasa sesungguhnya, para cukong kapitalis oligark.
Hakikat Demokrasi
Demokrasi1 merupakan lafal dan istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Rakyat dianggap penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan. Merekalah yang berhak mengatur urusan mereka sendiri serta melaksanakan dan menjalankan kehendak mereka sendiri.
Demokrasi lahir dari aqidah sekulerisme2 (pemisahan agama dari kehidupan [fashl ad-diin ‘an al-hayaah]) yang menjadi asas ideologi Kapitalisme. Pemisahan agama dari kehidupan dengan sendirinya akan menyebabkan pemisahan agama dari negara. Jadi, sekularisme atau ide pemisahan agama dari kehidupan adalah aqidah yang telah melahirkan demokrasi, sekaligus merupakan landasan pemikiran yang mendasari seluruh ide-ide demokrasi.
Adapun pilar demokrasi ada dua: (1) Kedaulatan di tangan rakyat; (2) Rakyat sebagai sumber kekuasaan. Dengan demikian rakyat adalah pemilik kedaulatan mutlak. Rakyat harus dianggap pula berhak melaksanakan peraturan yang mereka tetapkan. Rakyat pula yang berwenang memilih penguasa (badan eksekutif) dan hakim (badan yudikatif) yang mereka kehendaki untuk menerapkan peraturan yang juga mereka kehendaki. Sebabnya, rakyat adalah sumber seluruh kekuasaan, sementara penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat. Dari sini muncul konsep trias politika.3
Dengan demikian, rakyat bertindak sebagai musyarri’ (pembuat hukum) dalam kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat sekaligus bertindak sebagai munaffidz (pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.
Dalam konteks pengambilan keputusan, demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan suara mayoritas. Anggota-anggota lembaga legislatif dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Penetapan peraturan dan undang-undang, pemberian mosi percaya atau tidak percaya kepada pemerintah dalam dewan perwakilan, ditetapkan pula berdasarkan suara mayoritas.
Oleh karena itu, suara bulat (mayoritas) adalah ciri yang menonjol dalam sistem demokrasi. Pendapat mayoritas menurut demokrasi merupakan tolok ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya.
Pertentangan Demokrasi dengan Islam
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al-haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa. Dengan demikian jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia dan pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi. Islam berasal dari Allah, yang Dia wahyukan kepada Rasul-Nya, Muhammad bin Abdullah saw. (Lihat: QS an-Najm [53]: 3-4).
Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT, atau syariah, bukan akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami nas-nas yang berkenaan dengan hukum Allah SWT. Allahlah yang berhak membuat hukum, bukan manusia (QS al-An’am [6]: 57; QS an-Nisa’ [4]: 59).
Sebagaimana diketahui, asas demokrasi adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sebaliknya, Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah SWT (syariah Islam) dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang telah Allah tetapkan untuk manusia.
Dua pilar demokrasi, yakni kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan, juga bertentangan dengan Islam.
Pertama, terkait kedaulatan. Islam menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan syariah, bukan di tangan umat. Artinya, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (Pembuat hukum). Manusia secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walaupun hanya satu hukum. Jika seluruh umat Islam menyepakati kebolehan riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, misalnya, atau menyepakati lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat, maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Ini karena kaum Muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Mereka pun tidak boleh membuat satu hukum pun karena memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 60 dan 65; QS al-Maidah [5]: 50; QS an-Nur [24]: 63).
Intinya, manusia haram berhukum kepada thaaghuut (selain hukum Allah) atau berhukum pada hukum Jahiliyah (yaitu hukum kufur yang dibuat oleh manusia). Mereka haram menyalahi perintah Rasul, yakni mengikuti hukum yang dibuat manusia dan meninggalkan hukum yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Kedua, terkait dengan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Dalam demokrasi rakyat dapat memilih penguasa yang mereka inginkan untuk menerapkan hukum yang dibuat (wakil) rakyat dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan mengganti penguasa dengan penguasa lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan, sedangkan penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Sebaliknya, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, umat Islamlah yang memiliki hak untuk memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan syariah Islam. Prinsip ini diambil dari hadis-hadis mengenai baiat, yang menetapkan adanya hak mengangkat khalifah hanya di tangan kaum Muslim untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة
Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak terdapat baiat (kepada khalifah), berarti dia telah mati jahiliyah (HR Muslim).
Meskipun syariah telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat dan mereka berwenang mengangkat penguasa yang mereka kehendaki, syariah tidak memberikan hak kepada mereka untuk memberhentikan penguasa, seperti yang ada dalam sistem demokrasi. Ketentuan ini didasarkan pada hadis-hadis yang mewajibkan taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zalim selama dia tidak memerintahkan maksiat. Rasulullah saw. bersabda: “…Sejahat-jahat pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.” Auf bin Malik lalu berkata: Kami lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat itu?” Rasulullah saw. menjawab, “Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian…”
Yang dimaksud dengan “mendirikan shalat” dalam hadis di atas ialah “melaksanakan hukum-hukum Islam”. Ungkapan tersebut merupakan ungkapan majazi (kiasan), yakni menyebut Sebagian, tetapi yang dimaksud adalah keseluruhannya.
Umat juga tidak boleh memberontak terhadap penguasa kecuali jika dia menampakkan kekufuran yang terang-terangan. Ini sebagaimana hadis Ubadah bin ash-Shamit mengenai baiat. Dalam hadis itu terdapat keterangan: “…Kami juga tidak akan merebut kekuasaan dari yang berhak, kecuali (Rasulullah mengatakan)’, jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian mempunyai bukti yang kuat tentangnya dari sisi Allah.”
Yang mempunyai wewenang memberhentikan Khalifah adalah Mahkamah Mazhalim. Ini karena kasus yang dapat menjadi alasan Khalifah diberhentikan merupakan kezaliman yang harus dilenyapkan. Kasus itu juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan penetapan (itsbaat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.
Berikutnya, dalam konteks pengambilan keputusan, demokrasi dapat dianggap sebagai pemerintahan mayoritas dan hukum mayoritas. Pemilihan para penguasa, anggota dewan perwakilan, serta anggota berbagai lembaga, kekuasaan dan organisasi, semuanya didasarkan pertimbangan suara bulat (mayoritas). Demikian juga pembuatan hukum dan pengambilan di dewan perwakilan, kekuasaan, lembaga dan organisasi, seluruhnya dilaksanakan berdasarkan pendapat mayoritas.
Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi pendapat mayoritas bersifat mengikat bagi semua pihak, baik penguasa maupun bukan. Sebabnya, pendapat mayoritas merupakan sesuatu yang mengungkapkan kehendak rakyat. Jadi pihak minoritas tidak mempunyai pilihan kecuali tunduk dan mengikuti pendapat mayoritas.
Sebaliknya, dalam Islam, dalam penentuan hukum, kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nas-nas syariah. Sebabnya, Musyarri’ (Pembuat Hukum) hanyalah Allah SWT. Bukan rakyat. Bahkan rakyat tidak berwenang sedikit pun mengadopsi (tabanni) hukum. Pihak yang berwenang untuk mengadopsi (tabanani)—bukan legislasi (tasyrii’)—hukum adalah penguasa (Khalifah).
Para Sahabat yang mulia telah berijmak bahwa seorang Imam (Khalifah) memang berhak untuk mengadopsi hukum-hukum syariah tertentu. Dia pun berhak memerintahkan rakyat untuk mengamalkan hukum-hukum ayariah yang telah dia adopsi. Kaum Muslim wajib mentaati ketetapan Khalifah ini dan meninggalkan pendapat mereka. Dari adanya Ijmak Sahabat inilah di-istinbaath (diambil dan ditetapkan) beberapa kaidah syariah berikut:
أَمْرُ الإِمَامِ يَرْفَعُ الخِلاَفَ
Perintah (keputusan) Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat.
أَمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا
Perintah (keputusan) Imam (Khalifah) wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin.
لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُحْدِثَ مِنَ الأَقْضِيَةِ بِقَدْرِ مَا يَحْدُثُ مِنْ مُشْكِلاَتٍ
Penguasa (Khalifah) berhak mengeluarkan keputusan-keputusan (hukum) baru sesuai dengan perkembangan problem yang terjadi.
Allah SWT pun telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri. Yang dimaksud dengan Ulil Amri adalah para penguasa Muslim yang menerapkan hukum Islam (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59).
Adapun masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah fiqih dikem-balikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Demikian seterusnya.
Yang patut dicatat, para anggota majelis perwakilan rakyat (parlemen) baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun di Barat saat ini, sebagian besarnya bukanlah orang yang berkeahlian. Mayoritas mereka juga bukan orang yang mampu memahami setiap permasalahan dan solusinya secara tepat. Karena itu suara mayoritas anggota lembaga perwakilan yang ada sebenarnya tidak ada faedahnya bahkan tidak ada nilainya sama sekali.
Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin al Mundzir pada Perang Badar yang memang ahli strategi perang. Dia mengusulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang beliau pilih sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu Allah SWT. Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Rasulullah saw. pun mengikuti pendapat Hubab dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh dia. Jadi Rasulullah saw. telah meninggalkan pendapatnya sendiri, juga tidak meminta pertimbangan kepada mayoritas para Sahabat lainnya dalam masalah tersebut.
Berikutnya, dalam masalah-masalah yang langsung menuju pada amal (praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka baru yang menjadi patokan adalah suara mayoritas. Sebabnya, dalam masalah ini, mayoritas orang dapat memahami dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari? Apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api? Dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.
Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah saw. ketika Perang Uhud. Rasulullah saw. dan para Sahabat senior berpendapat bahwa kaum Muslim tidak perlu keluar dari Kota Madinah. Sebaliknya, mayoritas Sahabat—khususnya para pemudanya—berpendapat bahwa kaum Muslim hendaknya keluar dari Kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy. Karena mayoritas Sahabat berpendapat untuk keluar Kota Madinah, maka Nabi saw. mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para Sahabat senior.
Kesimpulan
Demokrasi sesungguhnya sistem kufur. Tidak punya hubungan sama sekali dengan Islam, baik langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam dalam garis besar maupun rinciannya, dalam sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya atau asas yang mendasarinya, serta berbagai ide dan peraturan yang dibawanya.
Alhasil, kaum Muslim haram secara mutlak mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Dr. Riyan M.Ag.; (Pengamat Politik Islam)]
Catatan kaki:
1 Kata ini berasal dari bahasa Yunani Kuno (dçmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang terbentuk dari dêmos “rakyat” dan kratos “kekuatan” atau “kekuasaan” pada Abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena Klasik; kata ini merupakan antonim dari wikt: aristocratie “kekuasaan elit”.
2 Istilah sekularisme ini berasal dari kata “saeculum” yang dalam bahasa Latin berarti ‘periode besar waktu’ atau ‘spirit zaman’. Sementara itu, istilah ini berkembang menjadi kata “secularism” yang dalam Bahasa Inggris berarti adanya sifat keduniaan (worldly), non-agama (irreligious), dan non-spiritual (mundane). Bahkan, lawan kata dari sekularisme ini adalah suci (holy), hal-hal yang bersifat keagamaan (religious), wakil dari langit (vicegerent of God), dan hal-hal di luar hukum alam (unearthly transcendental). Kamus Oxford pun turut menerjemahkan “sekularisme” ini sebagai ‘doktrin bahwa moralitas seharus semata-mata didasarkan pada penghargaan atas umat manusia dan kehidupan, dengan membuang semua pertimbangan yang diambil dari keyakinan pada Tuhan atau hari akhirat’.
3 Pemisahan kekuasaan (bahasa Inggris: separation of powers, bahasa Belanda: scheiding der machten) merupakan konsep pembagian kekuasaan pemerintah dalam suatu negara menjadi bercabang-cabang. Masing-masing cabang mempunyai kekuasaan dan tanggung jawab yang terpisah dan independen, sehingga kekuasaan satu cabang tidak bertentangan dengan cabang-cabang kekuasaan lainnya. Pada umumnya, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga cabang: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian ini disebut juga model trias politica.