Meneladani Rasulullah Saw Secara Total
Allah SWT berfirman:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا رَحۡمَةٗ لِّلۡعَٰلَمِينَ ١٠٧
Tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Al-Qadhi Iyadh mengutip penjelasan sebagai berikut:
قيل لجميع الخلق : للمؤمن رحمة بالهداية، ورحمة للمنافق بالأمان من القتل، ورحمة للكافر بتأخير العذاب
Dikatakan (kerahmatan Rasulullah) itu bagi seluruh makhluk. Bagi orang Mukmin rahmat itu berupa hidayah. Bagi orang munafik rahmat itu berupa rasa aman mereka dari pembunuhan. Bagi orang kafir rahmat itu berupa penundaan azab atas mereka (berbeda dengan umat-umat sebelumnya yang mengingkar rasul mereka diazab langsung di dunia, pen.) (Al-Qadhi ‘Iyadh, Asy-Syifaa’ bi Ta’riif Huquuq al-Musthafaa, hlm. 58).
Namun, fakta hari ini sungguh menyakitkan. Sebagian orang mengaku mewarisi kerahmatan Rasulullah, mengampanyekan kerahmatan Islam. Namun, mereka keras dan memusuhi sesama Muslim. Sebaliknya, mereka berkasih sayang dengan orang kafir. Padahal karakter umat Muhammad adalah keras kepada orang kafir dan lembat lembut di antara kaum Muslim.
Dalam al-Quran, tidak ada seorang nabi yang dipuji begitu tinggi melebihi Nabi Muhammad saw. Nabi saw. disebut sebagai teladan yang baik (uswah hasanah), yakni model peran; role model (Lihat: QS al-Ahzab [33]: 29).
Allah SWT pun menyebut Baginda Rasul saw. sebagai manusia dengan kepribadian yang benar-benar agung. (Lihat: QS al-Qalam [68]: 4). Mungkin ada yang bertanya, dari mana keagungan itu dicapai oleh Nabi saw.?
Keterangan dalam QS al-An’am bisa menjadi kunci jawabannya. Dalam surat ini diceritakan nabi-nabi terdahulu. Ada 18 nabi dikemukakan di situ. Pada ayat ke-90, setelah menceritakan nabi-nabi itu, lalu Allah menegaskan: Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Karena itu ikutilah petunjuk mereka (QS al-An’am [6]: 90). Para nabi dan rasul Allah itu mendapat bimbingan dari Allah. “Karena itu ikutilah petunjuk mereka,” firman-Nya. Jadi, Baginda Rasul mewarisi kemuliaan dan keistimewaan nabi-nabi terdahulu sehingga membentuk akumulasi keagungan yang benar-benar agung (Al-Qadhi ‘Iyadh, ASy-Syifaa’ bi Ta’riif Huquuq al-Musthafaa, hlm. 60).
Bahkan Imam al-Qadhi ‘Iyadh dalam kitabnya, Asy-Syifa, menyatakan Ijmak Sahabat bahwa melecehkan Nabi Muhammad saw hukumnya haram dan pelakunya wajib dihukum mati. Hukum dan hukuman ini diambil dari ayat-ayat al-Quran maupun Ijmak Sahabat.
Hak Nabi saw. atas Umatnya
Banyak hak Nabi Muhammad saw. yang wajib ditunaikan oleh umatnya. Di antaranya sebagai berikut:
- Mencintai Nabi saw. melebihi kecintaan pada segala sesuatu.
Allah SWT berfirman:
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ ٢٤
Katakanlah, ”Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga-mu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya.”Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasik (QS at-Taubah [9]: 24).
Al-Qadhi Iyadh menyatakan, ayat ini cukup menjadi anjuran dan bimbingan serta hujjah untuk mewajibkan mencintai beliau dan kelayakan beliau mendapatkan kecintaan tersebut. Pasalnya, Allah telah menegur orang yang menjadikan harta, keluarga dan anaknya lebih dicintai dari Allah dan Rasul-Nya. Allah mengancam mereka dengan firman-Nya: Karena itu tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya. Kemudian di akhir ayat menamakan mereka sebagai orang fasik, dan memberitahukan bahwa orang tersebut termasuk sesat dan tidak mendapatkan petunjuk Allah.
Nabi saw. juga bersabda:
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْه مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Tidak beriman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia (HR al-Bukhari).
- Membuktikan Kecintaannya.
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata, “Ketahuilah, siapa saja yang mencintai sesuatu, pasti dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, berarti kecintaannya tidak dianggap benar. Hanya pengakuan belaka. Orang yang benar pengakuan cintanya kepada Rasulullah saw. adalah orang yang menampakkan tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda cinta kepada Rasulullah adalah meneladani beliau, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab yang beliau (contohkan), baik dalam keadaan susah maupun senang, dalam keadaan lapang maupun sempit.” (Qadhi Iyadh, Asy-Syifaa bi Ta’riif Huquuq al-Mushthafaa, 2/24).
Pembuktian cinta kepada Rasulullah itu meliputi beberapa hal: Pertama, membenarkan seluruh berita Rasulullah saw. Apapun yang diberitakan oleh Rasul saw., masuk akal atau tidak, bisa diindera atau tidak, wajib diyakini kebenarannya. Sebabnya, ucapan Rasulullah saw. adalah wahyu dari Allah SWT.
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤
Tiadalah yang dia ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada dirinya) (QS an-Najm [53]: 3-4).
Kedua, menaati Rasulullah saw. dengan mengamalkan perintahnya dan meninggalkan larangannya. Wajib bagi umat manusia menaati Rasulullah saw. Banyak ayat al-Quran yang menegaskan kewajiban ini. Allah SWT, misalnya, berfirman:
۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَلَا تُبۡطِلُوٓاْ أَعۡمَٰلَكُمۡ ٣٣
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta janganlah kalian merusakkan (pahala) amal-amal kalian (QS Muhammad [47]: 33).
Rasulullah saw. juga bersabda bahwa taat kepada beliau menyebabkan seseorang masuk jannah Allah SWT:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى، قَالُوا: يا رَسُولَ الله ومن يأبَى؟ قَالَ :مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَد أَبَى
“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.” Mereka bertanya, ”Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?” Beliau berkata, ”Siapa yang taat kepadaku akan masuk surga. Siapa yang tidak taat kepadaku, dialah yang enggan.” (HR al-Bukhari)
Ketiga, menjadikan Rasulullah saw sebagai hakim dan pasrah pada keputusannya. Menelaah bahasan Imam Ibnu Atha’illah dalam Kitab At-Tanwiir fii Isqaath at-Tadbiir hlm. 31-32 memberikan penjelasan keharusan pasrah pada semua ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥
Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS an-Nisa’ [4]: 65).
Beberapa poin penting dari ayat di atas adalah sebagai berikut: (1) Wajib berhukum kepada Rasulullah saw. dalam perkara apa pun yang diperselisihkan; (2) Wajib melenyapkan keberatan (haraj) dalam hati; artinya ada kesiapan ber-tahkiim kepada Rasulullah lahir dan batin; (3) Berserah diri (tasliim) secara total pada semua perkara, bukan hanya pada perkara yang sedang diperselisihkan saja.
Jadi tidak ada ruang lagi bagi manusia untuk menentang ketetapan dan hukum Allah dan Rasul-Nya yang ditetapkan kepada manusia. Jangankan menentang, ada keberatan saja tidak boleh. Jangankan keberatan, tidak pasrah pada semua urusan saja tidak boleh.
Mengikuti Sunnah Rasulullah saw. dalam Politik dan Pemerintahan
Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَحْيَا سُنَّتي فَقَدْ أَحَبَّنِي، وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ
Siapa saja yang menghidupkan sunnahku, sungguh ia telah mencintaiku. Siapa saja yang mencintaiku, ia bersama aku menjadi penghuni surga (HR at-Tirmidzi dan ath-Thabarani).
Kata “sunnah” pada hadis di atas bermakna jalan hidup Rasul atau manhaaj kenabian. Sunnah Rasulullah mencakup semua ajarannya; mulai perkara ibadah hingga perkara politik dan pemerintahan. Rasulullah saw. bahkan berwasiat bahwa sistem pemerintahan yang harus diikuti adalah yang merujuk pada Sunnah Rasulullah saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin. Rasulullah saw. bersabda:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةوَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّه مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرىَ اخْتِلاَفاً كًثِيْرا . فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّين عَضُّوا عَلَيْهَا بالنَّوَاجِذِ، وَإِياكُمْ وَمُحْدَثات اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
Saya berwasiat kepada kalian agar bertakwa kepada Allah SWT, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Sebabnya, di antara kalian ada yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari bid’ah karena semua perkara bid’ah adalah sesat (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Hadis di atas adalah hadis politik yang sangat penting dan agung. Di dalamnya Rasulullah saw. berwasiat beberapa hal: (1) perintah bertakwa kepada Allah; (2) perintah untuk patuh dan taat kepada pemimpin dalam pemerintahan Islam, bagaimana pun kondisinya; (3) setelah zaman kenabian akan ada banyak perselisihan; (4) perintah mengikuti Sunnah Nabi Muhammad saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk (dalam hal penyelenggaraan pemerintahan); (5) perintah untuk berpegang teguh pada as-Sunnah seperti menggigit sesuatu dengan gigi geraham; dan (6) larangan atas perilaku bid’ah karena bid’ah adalah kesesatan.
Rasulullah saw. memerintahkan kaum Muslim untuk menaati para pemimpin karena di dalamnya terdapat maslahat yang besar, selama para pemimpin itu berpegang teguh dengan Islam, menyerukan Kitabullah; bagaimanapun kondisi mereka dalam hal diri mereka sendiri, keagamaan dan akhlak mereka, dan tidak dipatahkan tongkat atas mereka. Namun, jika tampak dari mereka kemungkaran maka mereka diperingatkan dan diingatkan.” (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, 4/422)
Selanjutnya adalah penjelasan agar kita mengikuti Sunnah Khulafaur Rasyidin. Kata al-khulafa’ adalah jamak dari kata khalifah. Istilah khalifah jelas identik dengan “kepemimpinan politik”. Istilah sunnah adalah “metode/manhaj”. Ini menunjukkan adanya sunnah (manhaj) para khalifah (di kalangan Sahabat) berkaitan dengan kepemimpinan, yang diperjelas dalam hadis lainnya. Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin yang menegakkan manhaaj pemerintahan dalam Islam, sebagaimana ditunjukkan dalam hadis, “Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaaj kenabian.” (HR Ahmad).
Khalifah Umar bin Abdul Aziz menegaskan, “Rasulullah saw. dan para ulil amri setelahnya (Khulafaur Rasyidin) telah menggariskan adanya sunnah, yakni sikap berpegang teguh pada Kitabullah, dan menyempurnakan ketaatan kepada Allah, menegakkan kekuatan (fondasi kehidupan) di atas agama Allah. Tidak boleh ada seorang pun dari makhluk-Nya yang boleh mengubahnya. Tidak boleh pula menggantikannya (dengan sunnah selainnya). Tidak dilihat sedikit pun apapun yang menyelisihi sunnah tersebut. Siapa saja yang mengambil petunjuk darinya akan tertunjuki. Siapa saja yang mencari kemenangan akan diberikan kemenangan. Siapa saja yang meninggalkannya dengan mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Allah akan menyerahkan dirinya pada apa ia jadikan tempat bergantung (selain Allah) dan menyeretnya ke dalam Jahannam. Ia adalah seburuk-buruknya tempat kembali.” (Al-Ajurri al-Baghdadi, Asy-Syarii’ah, I/40).
Penutup
Inilah makna mencintai Nabi saw. yakni mencintai syariahnya secara keseluruhan. Mencintai syariahnya terwujud dengan menghidupkan sunnahnya dengan mengupayakan tegaknya Islam secara total dalam kehidupan. Kecintaan itulah yang mengantarkan seorang Muslim berada di barisan pejuang yang memperjuangkan tegaknya kehidupan al-Islam. Nilai apapun yang posisinya menggantikan al-Quran dan as-Sunnah hakikatnya adalah “jalan” baru selain syariah Allah. Kata Imam Ibnu Katsir, ia adalah jalan menuju kerugian, kehancuran, dan kebinasaan. [Yuana Ryan Tresna]
Penulis adalah Direktur Pusat Pendidikan Hadits Ma’had Khadimus Sunnah Bandung.