Thalab An-Nushrah: Hakikat, Syubhat Dan Halangan (Bagian 1)
Sungguh kita mendapati bahwa Rasul saw., saat berjuang untuk menegakkan Daulah Islam pertama, menyengaja secara massif untuk menyeru pusat-pusat kekuatan di berbagai kabilah. Beliau berusaha serius dan penuh kesungguhan untuk merekrut kepercayaan sebesar mungkin dari mereka. Jika tidak, apa artinya doa beliau, “AlLâhumma unshur al-Islâm bi ahabbi al-‘umarayn ilayka (Ya Allah, tolonglah Islam dengan salah satu dari dua Umar yang lebih engkau sukai).”
Apa sesuatu yang spesial pada diri Sayidina Umar ra. kecuali kekuatannya yang dengan itu Rasul kita berambisi untuk merekrut dirinya? Bahkan teguran Allah SWT kepada Rasul saw. dalam QS ‘Abasa adalah disebabkan kuatnya perhatian beliau kepada sekelompok tokoh Quraisy serta pemegang keputusan dan pemilik kekuatan Quraisy yang beliau berusaha yakinkan.
Kita tidak tahu bagaimana para penyeru Islam saat ini melewatkan fakta bahwa Rasul kita mengunjungi lebih dari enam belas kabilah meminta kekuatan dan pertolongan mereka untuk risalah beliau, “Tu’minû bî … ta’ûwunî … tanshurunî –(Kalian beriman kepadaku… mendukung aku… menolong aku)”.
Bahkan kewajiban ini menjadi istilah syar’iy yang disebut dengan “Thalab an-Nushrah (mencari pertolongan/dukungan)”. Para pelakunya disebut al-Anshar yang meraih derajat tertinggi. Kita dapat katakan bahwa Negara Madinah didirikan dengan keputusan politik dan militer dari kaum Anshar yang diwakili oleh Saad bin Muadz dan Usayd bin al-Hudhair. Dua orang pemimpin kaumnya. Semoga Allah meridhai mereka berdua.
Apakah Thalab an-Nushrah merupakan kewajiban syar’iy atau merupakan usluub dakwah yang dipilih oleh Nabi saw. dan kita pun boleh memilih yang lainnya?
Pertama: Thalab an-Nushrah merupakan kewajiban syar’iy dan metode wajib untuk mengambil pemerintahan. Hal itu dengan nas yang jelas secara manthuuq dan mafhuum. Dari Ibnu Abbas ra.: Ali bin Abi Thalib menceritakan kepadaku, ia berkata:
لَمَّا أَمَرَ الله رَسُوْلَه صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم أَنْ يَعْرِضَ نَفْسَهُ عَلَى قَبَائِلَ الْعَرَبِ، خَرَجَ وَأنا مَعَهُ، وَأَبُو بَكْرٍ إِلَى مِنَى
Ketika Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah, beliau keluar ke Mina dan aku serta Abu Bakar bersama beliau (Abu Nu’aim, Dalâ‘il an-Nubuwwah, di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bârî).
Kedua: Rasul saw. tidak memilih metode yang lain meski penderitaan, darah dan berbagai musibah menyertai beliau di jalan itu; juga meski beragam jalan dipaparkan kepada beliau oleh Quraisy dan para Sahabat beliau. Ditawarkan kepada beliau jalan partisipasi politik, jalan dakwah individual sloganistis, jalan konfrontasi fisik bersenjata, dst. Namun, beliau menolak semua tawaran itu dan tetap berpegang dengan metode Thalab an-Nushrah untuk mendapatkan pemerintahan tanpa metode lainnya. Ini memberikan kesan atas kewajiban metode ini dan kefardhuannya. Ini sebagaimana yang dikatakan oleh kaidah ushul: Inna thalab al-fi’li wa thalab tikrârihi ma’a wujûd al-masyaqqah huwa qarînah min qarâ‘in al-jazmi fî khithâb at-taklîf (Tuntutan perbuatan dan tuntutan pengulangannya, yang disertai dengan adanya kesulitan, adalah indikasi ketegasan dalam khithaab at-takliif).
Ketiga: Daulah Islam tidak tegak kecuali dengan pertolongan (dukungan) kaum Anshar. Ini merupakan sebab praktis. Rasul saw. mengunjungi lebih dari enam belas kabilah (negara); meminta dari mereka kekuatan dengan sangat gamblang. Abu Bakar berkata kepada para pemimpin Bani Syaiban, “Kayfa al-man’ah? Kayfa al-harb? Kayfa as-silâh? (Bagaimana kekuatan? Bagaimana perang? Bagaimana senjata)? Hal ini didengar dan disetujui oleh Nabi saw.
Keempat: Nabi saw. meminta pertolongan di Makkah dan mengirim Mushab bin ‘Umair untuk meminta dia dari penduduk Madinah pada saat bersamaan, yakni terjadi dua kali dengan diketahui dan dimonitor oleh Nabi saw.
Ahlu an-Nushrah di dalam al-Quran
Orang Mukmin dari keluarga Fir’aun yang disebutkan oleh al-Quran dengan konteks pujian, merupakan tokoh dari kaumnya Fir’aun yang menyembunyikan keimanannya. Sayidina Luth as. ketika dikepung oleh kaum kafir berkata:
قَالَ لَوۡ أَنَّ لِي بِكُمۡ قُوَّةً أَوۡ ءَاوِيٓ إِلَىٰ رُكۡنٖ شَدِيدٖ ٨٠
Luth berkata, “Andai aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” (QS Hud [11]: 80).
Artinya, beliau tidak perlu mencari kekuatan untuk melindungi risalahnya.
Allah SWT berfirman:
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّةٖ …. ٦٠
Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi (QS al-Anfal [8]: 60).
Tuntutan menyiapkan kekuatan itu, melalui dalâlah al-iqtidhâ‘, mengharuskan penyiapan pemilik kekuatan itu. Ini serupa dengan tuntutan menaati ulil amri dan yang berarti mengharuskan tuntutan untuk mengadakan mereka (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59).
Urgensi dan Keagungan Ahlu an-Nushrah
Pemilik kekuatan (ahlu al-quwwah) datang meminta izin untuk menggunakan senjata sebelum datangnya izin secara umum untuk semua. Baiat ‘Aqabah kedua disebut Baiat al-Harb (Baiat Perang). Terjadi kesepakatan di dalam poin-poinnya atas perang membela Daulah Islam dalam bentuk perang secara fisik. Pada waktu yang mana ayat-ayat dan nas turun melarangnya dari semua orang. Seolah seruan itu menegaskan bahwa kekuatan dan penggunaannya diciptakan hanya untuk pemiliknya.
Di antara urgensi dan bahaya Thalab an-Nushrah dari tentara adalah perang global yang dilancarkan terhadap orang-orang yang melakukan Thalab an-Nushrah. Website dan kanal-kanal media mereka ditutup secara luas. Ini sebagaimana terjadi pada Hizbut Tahrir yang spesial dengan seruan ini. HT mengalami kampanye global sistematis untuk menutup akun-akun syababnya yang menyerukan penggerakan pasukan dan menolong warga Gaza.
Syubhat Seputar Thalab an-Nushrah
Negara Madinah tidak tegak melalui senjata dan kudeta. Lalu mengapa kalian bersikeras atas senjata?!!
Jawab: Kaum Anshar, yang mereka menyambut Rasulullah saw. ketika tiba di Madinah, mereka menyiapkan senjata pada kondisi terjadi penentangan apapun melawan beliau. Mereka berada dalam kesiapan penuh untuk menggunakan senjata ketika harus dilakukan. Kelahiran daulah itu adakalanya dengan kelahiran normal dan adakalanya melalui operasi caesar. Negara lahir secara normal di Madinah. Namun, kaum Anshar bersiap untuk operasi caesar.
Dalil hal ini seperti yang ada di dalam Shahîh al-Bukhârî:
Kaum Muslim di Madinah mendengar keluarnya Rasulullah saw. dari Makkah. Mereka tiap pagi menuju al-Harrah menunggu beliau sampai terik matahari membuat mereka kembali. Kemudian, pada suatu hari, mereka berbalik setelah mereka menunggu sekian lama. Ketika mereka telah pulang ke rumah masing-masing, seorang laki-laki Yahudi telah terpenuhi salah satu beban mereka untuk suatu urusan yang harus diselidiki. Dia melihat Rasulullah saw dan sahabat beliau, yang bersinar terang, melenyapkan fatamorgana. Orang Yahudi itu tidak punya kekuatan untuk berkata sekeras-kerasnya: “Wahai orang-orang Arab, inilah kakekmu yang kalian tunggu-tunggu.” Lalu kaum Muslim menyandang senjata mereka dan bertemu dengan Rasulullah saw. Demikian kutipan dari Shahîh al-Bukhârî.
Dinyatakan di dalam As-Sîrah al-Halabiyah yang menegaskan pengetahuan kaum Anshar dengan apa yang diinginkan oleh Rasul saw. dari mereka, yaitu kekuatan. Lalu mereka menegaskan pemahaman mereka atas keinginan beliau itu. Kemudian beliau menunggang hewan tunggangan beliau menuju Madinah: Beliau melonggarkan tali kekang dan tidak menggerakkannya. Beliau melihat ke kanan dan ke kiri. Lalu Bani Sulaim bin Malik, Naufal bin Abdullah bin Malik dan ‘Ubadah bin ash-Samit bertanya kepada Beliau. Mereka berkata:
يا رَسُوْلَ اللهِ،أَقِمْ عِنْدَ في الْعَدَد وَالْعِزَّةِ وَالْمَنْعَةِ [وَالثَّرْوَة] أَنْزِلْ فِيْنَا، فَإِنَّ فِيْنَا الْعَدَدُ وَالْعِدَّة [وَالْحَلِقَة] أَيُّ السِّلَاحُ وَنَحْنُ أَصْحَابُ الْحَدَائِقِ وَالدَّرْكِ، يا رَسُوْلَ اللهِ، كَانَ الرَّجُلُ مِنَ الْعَرَبِ يَدْخُلُ هَذِه الْبُحَيْرةَ خَائِفًا فَيَلْجَأُ إِلَيْنَا ….. فَقَالَ لهم خَيْراً، وَقَا ل: خَلُّوْا سَبِيْلَهَا يَعْنِيْ ناقَتَهُ دَعُوْهَا فإن مَأْمُوْرَةٌ
“Ya Rasulullah, tinggallah bersama kami, kami mempunyai jumlah, kemuliaan, kekuatan dan harta. Tinggallah di tengah-tengah kami karena pada kami ada jumlah, perlengkapan dan kekuatan, yakni senjata, dan kami adalah pemilik kebun-kebun dan dasar (kekuatan). Ya Rasulullah dulu seorang laki-laki Arab masuk ke danau ini dalam kadaan takut lalu dia berlindung kepada kami.” Beliau lalu mengatakan kebaikan kepada mereka dan beliau bersabda, “Biarkan jalannya,” yakni unta beliau, “Biarkan dia, karena dia telah diperintahkan.”
Apakah ahlu an-nushrah berhak menetapkan sejumlah syarat kepada pengemban proyek tersebut untuk mendapatkan pertolongan (dukungan) mereka?
Orang yang mengikuti sirah Rasul saw. niscaya ia menemukan bahwa beliau menolak pensyaratan ahlu al-quwwah untuk mengurangi sedikitpun dari hukum-hukum Syariah, seperti syura, misalnya, sebagaimana yang terjadi dengan Kabilah Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah. Beliau menolak pemilihan oleh ahlu an-nushrah jenis manusia tertentu yang mereka tidak memeranginya sebagaimana yang terjadi dengan Kabilah Bani Syaiban. Beliau menolak semua pensyaratan. Beliau bersabda:
لَكِنَّ دِيْنَ اللهِ لَا يَقُوْمُ بِه إِلَّا مَنْ يَحُوْطُه مِنْ جَمِيْعِ زَوَاياه
Akan tetapi, agama Allah tidak lah ditegakkan kecuali oleh orang yang melingkupinya dari semua sisinya.
Hanya saja, beliau menerima satu syarat saja, yaitu pensyaratan ahlu al-quwwah tempat perang seperti mereka mensyaratkan untuk berperang di wilayah yang di situ mereka membaiat dan mendirikan Daulah Islam saja, sebagaimana yang terjadi dengan kaum Anshar. Jadi Ahlu an-Nushrah boleh mensyaratkan tempat perang, tetapi tidak boleh mensyaratkan jenis orang yang diperangi.
Sebagian orang mengatakan: perang belum disyariatkan di Makkah. Adapun perang telah disyariatkan maka wajib menggunakan perang untuk sampai ke kekuasaan:
Jawabnya adalah bahwa perang di Makkah tidak benar. Sebabnya, perang belum disyariatkan bahkan dilarang. Sebelum menjelaskan dalilnya, di sini kita tidak membicarakan tentang perang defensif membela jiwa atau kehormatan atau untuk melawan musuh, karena semua itu diperbolehkan. Namun, kita membicarakan tentang yang dilarang saja, yaitu membangun formasi militer memerangi otoritas untuk mencabut pemerintahan, selain operasi pembunuhan.
Dalil pertama: Tahanlah tangan kalian dan dirikanlah shalat. Dari Ibnu Abbas bahwa Abdurrahman bin ‘Awf dan teman-temannya pernah mendatangi Nabi saw. di Makkah dan mereka berkata:
يا نَبِيَّ اللهِ، كُنَّا فِيْ عِزٍّ وَنَحْنُ مُشْرِكُوْنَ، فَلَمَّا آمَنَّا صَرْنا أَذِلَّةً قَال: إِنِيّْ أُمِرْتُ بالْعَفْوِ فَلَا تُقَاتِلُوْا الْقَوْمَ، فَكُفُّوْا. فَأَنْزَلَ اللهُ: أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ قِيْلَ لَهُمْ كُفُّوْا أَيْدِيَّكُمْ وَأَقِيْمُوْا الصَّلَاة وَآتُوا الزَّكَاةَ … فَلَمَّا حَوَّلَه الله إِلَى الْمَدِيْنَةِ أَمَرَهُ بالْقِتَالِ
“Ya Nabiyullah, kami dulu dalam kemuliaan, sementara kami musyrik. Lalu ketika kami beriman, kami menjadi rendah.” Beliau bersabda, “Sungguh aku diperintahkan untuk memaafkan. Karena itu kalian jangan memerangi kaum itu dan tahanlah.” Lalu Allah menurunkan wahyu-Nya (yang artinya): Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, “Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat!” (TQS an-Nisa [4]: 7)…. Ketika Allah telah mengalihkan beliau ke Madinah, Allah memerintahkan beliau berperang.”
Allah SWT berfirman:
وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٩٤
Berpalinglah dari kaum musyrik (QS ar-Ra’du [15]: 94).
“Lam nu`mar bi dzâlika (kita belum diperintahkan dengan itu (perang).” Itu Rasul saw. katakan kepada ahlu al-‘aqabah al-kubrâ (yang ikut Baiat al-‘Aqabah kedua) ketika mereka menawarkan kepada beliau untuk memerangi Quraisy. Al-‘Abbas bin ‘Ubadah bin Nadhalah berkata, “Wa al-ladzî ba’atsaka bi al-haqqi la in syi’ta la namîlanna ‘alâ ahli minâ ghadan bi asyâfinâ (Demi Zat Yang mengutus engkau dengan membawa kebenaran, seandainya Anda mau, niscaya besok kami akan memerangi penduduk Mina dengan pedang-pedang kami).” Rasulullah saw. bersabda, “Lam numar bi dzâlika (Kita belum diperintahkan dengan itu).”
Ayat pertama yang diturunkan tentang kebolehan berperang adalah:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ … ٣٩
Telah diizinkan (berperang) untuk orang-orang yang diperangi… (QS al-Hajj [22]: 39).
Allah tidak berfirman “syuri’a (telah disyariatkan)”. Izin itu tidak terjadi kecuali setelah dilarang. Dari sini kami katakan bahwa Thalab an-Nushrah bukan aib dan kekurangan, melainkan itu merupakan sunnah. [Bersambung] [Abu Nizar asy-Syami]
Sumber:
Majalah al-Wa’ie (arab) no. 450-451-452 Tahun ke-38, Rajab-Sya’ban-Ramadhan 1445 H – Februari-Maret-April 2024 M https://www.al-waie.org/archives/article/19195