Misleading Khilafah
Sebagian kalangan berpandangan bahwa Khilafah tidaklah penting. Yang penting adalah substansinya. Menurut mereka substansi Khilafah adalah: amanah, adil, membela kepentingan rakyat, bertanggung jawab dan nilai-nilai moral yang semisal. Menurut mereka, semua substansi ini bisa direalisasikan dalam sistem demokrasi. Untuk menguatkan argumennya, sebagiannya bahkan menggunakan kaidah, “Al-‘Ibrah bi al-jawhar laa bi al-mazhhar (Yang menjadi patokan adalah substansinya, bukan penampakan/bentuknya).”
Betulkah pandangan tersebut? Berikut ini beberapa catatan atas pandangan tersebut.
- Tidak Rasional dan Tidak Konsisten.
Andai berpikir rasional, tentunya akan melihat bahwa tidak ada aturan/sistem yang diterapkan sekadar subtansinya saja. Naik motor saja ‘dipaksa’ memakai helm. Padahal substansinya adalah agar kepala aman dari benturan saat terjadi kecelakaan. Jika sekadar substansinya, tentu tidak harus helm, panci ditambah dengan handuk di kepala juga memenuhi substansi ini.
Andai berpikirnya konsisten, semestinya cukup hanya substansi demokrasi saja yang mereka tuntut. Namun, mengapa mereka begitu getol mempertahankan formalitas ‘sistem demokrasi’ yang ada, mempertahankan KUHP Belanda, memakainya sejak 1918 hingga saat ini, sembari menolak penerapan hukum-hukum Allah SWT? Dengan berbagai carut-marut demokrasi yang ada, mengapa mereka tidak berpikir untuk mewujudkan substansi itu semua dalam sistem Khilafah?
- Kerancuan Istilah “Substansi” dalam Hukum Islam.
Istilah substansi (jawhar) dan penampakan/bentuk (mazhhar) sebenarnya tidak digunakan oleh ulama fikih maupun ushul fikih. Kedua istilah ini lebih populer di kalangan ulama kalam. Memang, ada nash-nash syariah yang seolah-olah membahas masalah ini, seperti hadis:
إِنَّ الله لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sungguh Allah tidak melihat bentuk (fisik) maupun harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian.
Hadis ini dan semisalnya tidak bisa digunakan untuk membangun kaidah tentang substansi dan bentuk tersebut. Apalagi diarahkan pada penolakan atau tidak menganggap penting apa yang mereka sebut: simbol, kulit atau mazhhar tersebut.
Hadis tersebut secara jelas hanya menyatakan bahwa Allah tidak menilai seseorang dari bentuk fisiknya maupun banyak sedikitnya harta. Justru hadis ini menegaskan bahwa yang dinilai adalah hati, yang merupakan tempat iman, dan amal perbuatan, yang standarnya adalah hukum syariah.
Konsep jawhar dan mazhhar ini, jika ditelusuri berasal dari filsafatnya Aristoteles tentang substansi dan aksiden. Ranah kajiannya bukan tentang hukum Islam, namun tentang ilmu kalam. Karena itu kaidah ini tidak tepat jika digunakan dalam ranah hukum syariah. Ketundukan pada syariah bukanlah ketundukan yang bersifat substansi semata: “yang penting hatinya tunduk”. Yang dituntut adalah ketundukan lahir dan batin. Hal-hal yang bersifat fisik tidak bisa diremehkan, dianggap kulit, lalu dibuang. Sekali-kali tidak begitu!
Ketika ada Sahabat yang shalatnya keliru, sudah sampai salam, Rasulullah saw. tidak mentoleransi orang tersebut, misalnya dengan beralasan, “Substansinya sudah dia dapat, yakni mengingat Allah,” atau, “Yang penting ikhlas lillahi Ta’ala.” Tidak demikian. Namun, beliau menyuruh orang itu mengulangi shalat, bahkan kejadian ini sampai 3 kali. Sabda beliau:
ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمَ تُصَلِّ
“Kembalilah shalat, engkau belum shalat.”
- Khilafah: Istilah dengan Konotasi Khusus.
Istilah khilafah, sebagai ism wa musamma (istilah dan konotasi), telah digunakan oleh nash syariah dan didefinisikan oleh Syariah. Status istilah ini sama dengan istilah salat, puasa, zakat, haji, jihad, jual-beli, nikah, dan istilah syar’i yang lain.
Karena itu tidak bisa istilah-istilah itu hanya diambil substansinya saja. Tidak boleh shalat hanya diambil substansinya, misalnya zikir saja, sehingga jika sudah zikir berarti sudah dianggap shalat. Tidak boleh puasa hanya diambil substansinya, misalnya menahan diri. Begitu juga jual-beli diambil substansinya, misalnya sekadar asal saling rela; nikah asalkan saling senang, berbahagia dan bertanggung jawab. Lalu semua syarat dan rukun-rukunnya dibuang karena dianggap hanya formalitas.
Begitu juga dengan istilah khilafah. Ada ketentuan-ketentuannya yang tidak bisa dibuang begitu saja. Tidak cukup pemerintahan yang amanah, adil, membela kepentingan rakyat dan bertanggung jawab lalu lantas disebut khilafah. Lebih dari itu, adil dalam pandangan Islam berbeda konotasinya dengan adil dalam pandangan selain Islam. Seorang pemimpin yang tidak mau menjalankan hukum Allah, meskipun dia berbuat baik dalam pandangan manusia, dia tidak disebut adil.
الإِمَامُ الْعَادِلُ الْحَاكِمُ الْعَامُ التَّابِعُ لأَوَامِ رِ الله تَعَالَى فَيَضَعُ كُلَّ شَيْءٍ مَوْضِعَهُ مِنْ غَيْرِ إِفْرَاطٍ وَلا تَفْرِيْطٍ
Imam yang adil adalah penguasa umum yang mengikuti perintah-perintah Allah Ta’aala sehingga dia menempatkan segala sesuatu pada tempatnya tanpa kelebihan dan tanpa kekurangan.
Khilafah adalah sistem penerap hukum-hukum Syariah. Ini hal yang tidak bisa terpisah dari Khilafah. Tidak bisa diabaikan dengan alasan mengambil substansinya saja. Bahkan salah satu alasan atas kewajiban menegakkan Khilafah adalah untuk menjaga penerapan hukum syariah.
Khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a, saat situasi sulit menghadapi serangan orang-orang murtad, ada sebagian kabilah yang mau mengingkari kewajiban zakat. Andai mereka dibiarkan saja, atau ditunda penanganannya, tentu ‘akan mengurangi musuh’ yang menyerang Madinah. Namun, Abu Bakar ra. lebih mengutamakan untuk menegakan hukum syariah daripada negara, bahkan nyawanya. Beliau berkata: “Demi Allah, jika mereka menghalangi aku dari mengambil zakat ternak yang dulu mereka berikan kepada Rasulullah, lalu pepohonan, tanah, jin dan manusia bersatu membantu mereka, niscaya tetap aku perangi mereka hingga nyawaku berjumpa dengan Allah.”
Ketika Umar ra. berupaya membuat Abu Bakar ra. bersikap lembut kepada mereka, beliau berkata kepada Umar ra.:
أَجَبَّارٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَخَوَّارٌ فِي اْلإِسْلاَمِ؟ إِنَّه قَدْ اِنْقَطَعَ الْوَحْيُ وَتَمَّ الدِّيْنُ، أَيْنَقُصُ وَ أنا حَيٌّ؟
“Apakah engkau keras semasa jahiliyah dan lemah setelah ada dalam Islam? Sungguh wahyu telah terputus dan agama ini telah sempurna. Apakah agama ini akan berkurang (padahal) aku masih hidup?”
Banyak hukum seperti keharaman riba, zina, khamr dan homoseksual; kewajiban salat, zakat, puasa dan haji; kewajiban penegakan hudûd, jinaayaat, ta’ziir; adanya hukum-hukum tentang hudnah, tanah kharajiyyah dan usyriyyah; ahwal as-syakhsiyyah, nikah, talak, hadhaanah; hukum-hukum tentang siapa yang berhak menjadi kepala negara, hukum tentang kesatuan negara, dan hukum-hukum syariah lain yang tidak diperselisihkan kewajibannya. Semua ini tidak bisa dilepaskan dari istilah khilafah.
Bukankah Khilafah boleh disebut sebagai Al-Imaamah al-Udzma, ‘Imaaraat al-Mu’miniin, bahkan disebut Dawlah Islaamiyyah? Bukankah ini berarti tidak harus Khilafah? Betul. Istilah-istilah itu boleh dipakai sebagai pengganti istilah khilafah. Namun, bukan berarti bahwa itu karena substansi amanah, adil, dst sebagaimana alasan mereka. Itu karena musamma (konotasi)-nya sama. Sebaliknya, penggunaan istilah negara republik, kerajaan, federasi, republik-demokratik, uni-emirate, dan sebagainya sebagai sinonim khilafah jelas tidak bisa karena musamma (konotasi)-nya memang berbeda.
- Demokrasi Tidak Compatible dengan Islam.
Bukankah dalam demokrasi memungkinkan semua hukum syariah terlaksana, yakni jika semua/mayoritas rakyat menghendaki penerapan syariah? Ungkapan tersebut terlihat benar, namun sebenarnya keliru. Di antara kekeliruannya adalah: Pertama, ungkapan tersebut menegaskan bahwa rakyatlah yang dianggap berdaulat. Allah SWT harus menurut kepada rakyat. Jika Allah memerintahkan sesuatu, harus dapat restu dari rakyat, baru perintah Allah tersebut boleh dijalankan.
Bukankah dalam Khilafah juga sama, yakni pada konsep “khalifahlah yang melegislasi hukum”? Jelas berbeda. Sebabnya, Khalifah hanya boleh mengadopsi hukum (tabanni) hukum, bukan melegislasi hukum (tasyrii’), khususnya hukum syariah yang ada ikhtilaf di dalamnya, sementara yang tidak ada ikhtilaf di dalamnya tidak ada urgensinya diadopsi, tinggal diterapkan saja.
Kedua, tidak realistis. Secara teori, dalam demokrasi kebijakan ditentukan oleh mayoritas (public policies are made on majority basis), namun realitasnya demokrasi justru menjadi “tirani minoritas (oligarki) dengan mengatasnamakan mayoritas (rakyat)”. Buktinya, Indonesia mayoritas Muslim, dan 72% Muslim menginginkan hukum syariah diterapkan. Namun, alih-alih diterapkan, sekadar menyuarakan hukum syariah saja berpotensi dipermasalahkan.
WalLaahu a’lam. [M. Taufik NT]