
Belajar Dari Siti Hajar
Sesungguhnya telah ada uswah hasanah bagi kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya.(QS al-Mumtahanah [60]: 4).
++++
Dalam QS al-Mumtahanah ayat 4 di atas, Allah SWT menyatakan kepada kita semua, bahwa pada diri Nabi Ibrahim dan orang-orang yang beserta dirinya, yakni anak dan istrinya, ada uswah hasanah atau teladan yang baik. Kita semua, apalagi jamaah haji yang sedang menunaikan ibadah di tanah suci, harus lebih memperhatikan apa yang Allah nyatakan. Ini karena ibadah haji hakikatnya adalah menirukan apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Uswah hasanah tentang apa? Tentang bagaimana menjadi hamba Allah sejati. Menyembah dan bertakwa kepada Allah, sebagaimana dikatakan oleh Nabi Ibrahim dalam QS al-Ankabut ayat 16. Mereka, Nabi Ibrahim dan keluarganya, termasuk Siti Hajar, telah menunjukkan kepada kita semua, bagaimana ketakwaan itu diwujudkan. Mereka melaksanakan apapun perintah itu, meski mungkin sekilas tampak sangat kejam atau tidak masuk akal, seperti meninggalkan anak-istrinya di lembah yang tak berpenghuni, di mana tanaman pun tak tumbuh di sana, seperti disebut dalam QS Ibrahim ayat 37.
Apa syarat penting untuk suatu tempat layak dihuni? Di situ ada air. Pasalnya, tak mungkin manusia hidup tanpa air. Apa tanda sederhana tempat itu mengandung air? Tampak di situ ada tetumbuhan. Jika tak tampak tetumbuhan, pasti di situ tak ada air. Praktis tempat itu tak layak dihuni. Namun, justru di tempat seperti itulah, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim meninggalkan istri dan anaknya yang masih dalam gendongan.
Ketika melihat suaminya berpaling dan pergi meninggalkan dirinya dan anaknya begitu saja, Siti Hajar mengikuti suaminya itu sembari bertanya, “Ibrahim! Hendak ke mana engkau akan pergi, meninggalkan kami di lembah yang tak ada seorang dan tak ada sesuatu pun?” Berulang Siti Hajar bertanya kepada suaminya itu, sebanyak itu pula pertanyaannya itu tak berjawab. Nabi Ibrahim tak menghiraukan. Bahkan menoleh pun tidak. Ia terus melangkah pergi.
Melihat itu, sebagaimana diceritakan dalam hadis shahih riwayat Imam al-Bukhari, Siti Hajar kemudian mengubah pertanyaannya. “Apakah Allah SWT yang telah memerintahkan engkau hal ini?” Barulah Ibrahim menjawab,“Ya.” Mendengar jawaban itu, lalu Siti Hajar menarik kesimpulan sendiri, “Jika demikian, pasti Allah SWT tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Siti Hajar dan Nabi Ibrahim telah menunjukkan kepada kita bagaimana sikap seorang hamba Allah sejati dalam menghadapi setiap perintah Allah SWT, yakni sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami menaati). Demikian seperti tersebut dalam QS an-Nur (24) ayat 51. Inilah realisasi dari misi hidup untuk beribadah dan taat sepenuhnya kepada Allah SWT. Hidup-mati kita, sebagaimana disebut dalam QS al-An’am ayat 62, memang semestinya adalah untuk Allah SWT.
Mengapa Siti Hajar dan Nabi Ibrahim bisa bersikap taat seperti itu? Pertama, karena mereka yakin benar, seperti disebut dalam QS Fushilat ayat 46, Allah tidak akan mungkin menzalimi hamba-Nya. Kedua, mereka yakin betul, sebagaimana disebut dalam hadits qudsi riwayat Ahmad, bahwa dengan taat kepada Allah, mereka akan mendapatkan berkah.
Dengan keyakinan bahwa tak mungkin Allah menyia-nyiakan dirinya, Siti Hajar terus bergerak, berusaha mencari air untuk anak kesayangannya Ismail, yang terus menangis kehausan. Ia tak putus asa. Jika Siti Hajar dari awal tahu bahwa tempat itu tidak ada air, mengapa ia masih terus berusaha hingga berjalan 7 kali bolak-balik dari bukit Shafa ke Marwa? Karena dengan ikhtiarnya itu, ia berharap akan mendapatkan pertolongan Allah. Dia sangat yakin, tidak ada yang mustahil bagi Allah. Jangankan sekadar mendatangkan beberapa tetes air yang ia perlukan, menciptakan alam semesta yang demikian luas pun Allah mampu. Inilah situasi psikologis Siti Hajar yang berada di antara khawf (cemas) dan raja’ (harap).
Sesungguhnya hidup kita ini juga selalu berjalan di antara dua hal itu: khawf dan raja’. Harap dan cemas. Sebagai manusia biasa, tak jarang kecemasan datang menyergap. Kecemasan tentang apa saja. Terkait keadaan hidup kita, tentang keselamatan hidup kita; terkait kesehatan, keuangan, pekerjaan, terkait masa depan anak keturunan kita, dan lainnya. Namun, seberapa pun kecemasan itu menggantang pikiran, tak boleh kita putus harapan. Ada Allah di sana. Dengan kekuasaan-Nya, Dia siap memberikan jalan keluar kepada hamba-Nya yang benar-benar tertakwa.
Oleh karena itu, dalam menghadapi setiap persoalan hidup, teruslah berikhtiar meski tampak hampir mustahil ada hasil, seperti yang dilakukan Siti Hajar: mencari air di tempat yang ia tahu tidak ada air. “Mustahil” sesungguhnya adalah kosakata manusia. Karena keterbatasan pengindaraan dan kemampuannya, manusia lalu mengatakan segala yang di luar batas itu sebagai tidak mungkin. Padahal belum tentu. Sebabnya, tidak ada kata mustahil bagi Sang Pencipta, Allah SWT.
Siti Hajar juga memberikan pelajaran kepada kita, boleh saja kita berusaha sekuat tenaga untuk mengatas masalah. Namun, ingat, solusi tidak selalu didapat di area ikhtiar. Seperti yang dialami oleh Siti Hajar. Air yang diharapkan itu akhirnya memang didapat, tetapi bukan di tempat ia mencari air itu, yakni di mas’a (tempat sa’i); tetapi didapat di mathaf (tempat tawaf). Di situ kuasa Allah.
Apa yang dilakukan oleh Siti Hajar, itulah yang kini diikuti oleh siapa saja yang berumrah dan haji. Disebut Sa’i. Berjalan 7 kali bolak-balik dari Bukit Shafa ke Marwa dengan niat ibadah. Diawali di Bukit Shafa, diakhiri di Marwa. Menirukan langkah Siti Hajar berjalan bolak-balik dari Bukit Shafa ke Marwa, dalam usahanya mendapatkan air untuk putranya, Ismail, yang terus menangis kehausan.
Air zam-zam, yang muncul di area Mathaf, adalah berkah Allah yang dillimpahkan kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya, juga kepada kita semua sampai akhir zaman. Sebagaimana janji-Nya, Allah akan memberikan keberkahan kepada siapa saja yang Dia ridhai karena telah menunjukkan ketaatan kepadaNya. Kemunculan air zam-zam sangatlah istimewa, baik dari sisi kejadiannya, kuantitas maupun kualitas airnya. Tidak ada satu pun teori dalam ilmu geohidrologi yang bisa menjelaskan genesanya, karena tanah di mana Ka’bah tegak dan sekelilingnya semuanya tersusun dari batuan beku. Tak mungkin ada mata air di batuan beku.
Secara kuantitas, air zam-zam amat melimpah. Padahal debit sumur zam-zam tak terlalu besar. Hanya sekitar 15 – 18 lt/detik, dengan kedalaman 42 meter. Namun, hebatnya, sumur ini selalu bisa mencukupi berapapun jumlah yang dibutuhkan atau yang diambil. Pernah dilakukan uji pompa 24 jam dengan debit 3000 lt/detik. Ternyata tidak habis. Air zam-zam tetap keluar. Muka air di dalam sumur itu turun sekitar 11 meter. Namun, hanya dalam waktu 9 menit bisa kembali ke posisi semula. Saat musim kemarau semua sumur di sekitar Makkah kering, tetapi sumur zam-zam tetap mengalirkan air, sepanjang waktu. Rata-rata 50 juta liter air zam-zam diambil untuk jamaah haji se dunia, tidak termasuk umrah di luar bulan haji.
Kandungan mineral dan elemen lainnya dengan jumlah fantastis, sekitar 2.000 miligram perliter. Biasanya air mineral alamiah (hard carbonated water) tidak akan lebih dari 260 mg perliter. Kandungan mineral dalam air zam-zam sangat melimpah. Di antaranya, sodium (250), kalsium (200), potassium (20), magnesium (50) sulfur (372), bicarbonate (366), nitrat (273), fosfat (0,25), clan ammonia (6). Kadar kalsium dan garam magnesiumnya lebih tinggi dibandingkan dengan sumur lainnya, berkhasiat untuk menghilangkan rasa haus dan efek penyembuhan. Karena itu disunnahkan untuk berdoa ketika hendak meminumnya, termasuk memohon kesembuhan dari segala penyakit.
++++
Jadi jelaslah, ketika kita diwajibkan melakukan thawaf dan sa’i, juga wukuf dan melempar jumrah dalam ibadah haji, itu semua, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Abu Dawud, tak lain adalah untuk mengingat Allah (li qiyâm ‘alâ dzikrilLâh). Mengingatkan diri kita sebagai hamba Allah, yang mestinya selalu bertakwa, tunduk patuh dan taat pada setiap syariah Allah. Ini sebagaimana telah diteladankan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya, khususnya istrinya, Siti Hajar.
Jika demikian, lalu apa tanda maqbul atau mabrur haji? Imam Jalaluddin as-Suyuthi, dalam Syarh as-Suyuthi li Sunan an-Nasa’i memberikan penjelasan. Katanya, pertanda haji seseorang diterima adalah sekembali ia ke tanah air menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi melakukan kemaksiatan. Lebih baik imannya, menjadi lebih kokoh, dan lebih baik taatnya pada syariah Allah. Lebih kâffah. Demikian. Semoga semua ibadah jamaah haji maqbul adanya. Amiin. [Ir. M. Ismail Yusanto, MM.]