Catatan Dakwah

Korporatokrasi

Anda mungkin bisa membohongi seseorang sesekali waktu. Akan tetapi, Anda tidak mungkin membohongi banyak orang terus-menerus.

 

Serapat-rapat bangkai dibungkus, baunya pasti akan tercium juga.

++++

Benar. Akhirnya apa yang selama ini coba ditutupi, akhirnya terkuak. Tanpa banyak diketahui publik,  sesaat setelah penandatanganan UU Omnibus Law oleh Presiden Jokowi pada 2 November lalu, Pemerintah memberikan perpanjangan usaha kepada PT Arutmin Indonesia yang pada 1 November 2020 lalu habis masa kontraknya. Dengan perpanjangan ini, mereka mendapat Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan luasan 57.107 hektar (setara 3 kali luas Kota Bandung). Sama dengan sebelumnya.

Perpanjangan ini seolah mengkonfirmasi apa yang sebelumnya menjadi kecurigaan besar publik, bahwa UU Omnibus dibuat tak lain untuk kepentingan oligarki. Utamanya pemilik tambang batubara besar. Hanya saja, yang tidak terlalu disadari oleh publik adalah, bahwa bergegasnya pengesahan UU itu ternyata terkait erat dengan bakal habisnya salah satu dari 7 pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara), yakni PT Arutmin pada 1 November itu.

Sebelumnya, melalui UU Minerba yang baru, khususnya Pasal 169 a, b dan c,  pemilik PKP2B memang telah mendapatkan kepastian perpanjangan menjadi IUPK Operasi Produksi dengan luasan semula. Bila mengacu pada ketentuan sebelumya, yakni Pasal 63 dan 75 UU Minerba Nomor 4 tahun 2009, PKP2B yang telah habis masa berlakunya harus dikembalikan kepada negara sebagai wilayah pencadangan negara atau dilelang dengan mengutamakan BUMN dan BUMD. Namun, ketentuan yang lebih mengedepankan kepentingan publik ini justru dihapus, dan diganti dengan ketentuan baru tadi, yang sangat jelas lebih mengutamakan pemilik PKP2B, yang tak lain adalah para pengusaha besar. Mereka hampir seluruhnya terhubung dengan kekuatan politik mutakhir negeri ini.

Hebatnya, dalam Pasal 169 a itu, perpanjangan izin bahkan diberikan secara otomatis, nyaris tanpa evaluasi, karena dibubuhi kata “diberikan jaminan”. Padahal pada aturan sebelumnya hanya digunakan diksi “dapat diperpanjang”. Pasal 169 a itu juga memberi jangka waktu 10 tahun untuk 2 kali perpanjangan dan 2 kali lagi, sehingga total masa konsesi bisa mencapai 40 tahun. Pada Pasal 169 b, perpanjangan bahkan dapat dilakukan paling 5 tahun sebelum kontrak berakhir. Dalam aturan sebelumnya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan paling cepat dilakukan 2 tahun sebelum kontrak berakhir.

Ketentuan ini tentu saja sangat aneh. Bagaimana bisa DPR yang hakikatnya adalah wakil rakyat jutru bertindak merugikan rakyat yang mereka wakili itu. Padahal potensi tambang yang dikuasai oleh 7 (tujuh) kontraktor PKP2B yang luasnya mencapai 370.775 hektare itu sangatlah besar. Rinciannya, PT Tanito Harum 1.869 hektar, PT Arutmin Indonesia 57.107 hektar, PT Kaltim Prima Coal 84.938 hektar yang akan berakhir pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama 39.972 hektar yang akan berakhir 1 April 2022, PT Adaro Indonesia 31.380 hektar yang akan berakhir pada 1 Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung 47.500 hektar yang akan berakhir pada 13 Maret 2023, dan PT Berau Coal 108.009 hektar yang akan berakhir pada 26 April 2025. Menurut keterangan Dirjen Minerba sendiri, sumberdaya dan cadangan batu bara di wilayah itu mencapai 20,7 miliar ton dan 3,17 miliar ton. Jika diasumsikan nilai kalori rata-rata adalah 4.000 kcal/kg GAR, nilai HBA US$75/ton dan nilai tukar US$/Rp=Rp14.000, maka nilai aset  itu adalah Rp13.730 triliun. Nilai aset cadangan batu bara adalah Rp 2.102 triliun. Bukankah dengan potensi sebesar itu, bila dikelola oleh negara, hasilnya bisa dipakai untuk kepentingan rakyat? Mengapa malah diserahkan kepada perusahaan swasta?

Bukan hanya perpanjangan, pemilik PKP2B melalui UU Omnibus, juga mendapatkan tambahan keistimewaan. Dalam Penambahan Pasal 128 A dalam UU Omnibus Cipta Kerja, dinyatakan bahwa bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara dapat diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara, yakni berupa pengenaan royalti sebesar 0% (nol persen).

Ketentuan ini jelas sekali bakal memberikan keuntungan amat besar bagi perusahaan pertambangan. Mereka, selain sudah menguasai sektor hulu, sekaligus menguasai hilir batubara seperti Gasifikasi Batubara dan PLTU Batubara. Pembangunan Gasifikasi Batubara di Bengalon, Kutai Timur, senilai Rp 36 triliun, misalnya,  sudah dipastikan berpotensi besar mendapat diskon royalti 0% ini. Padahal keduanya justru menyandera industri energi nasional pada energi kotor batubara lebih dalam lagi. Pemberian relaksasi royalti hingga 0% ini seakan menjadi penyelamat industri kotor pertambangan batubara yang sedang senja dan menghadapi krisis serta cacat bawaan akibat jatuhnya harga, tren ditinggalkannya energi kotor karena desakan global pada transisi menuju energi bersih, adil dan berkelanjutan.

Kini menjadi sangat jelas, semua proses lahirnya UU Minerba, UU Omnibus Cipta Kerja, juga Perppu Covid-19, tak lain adalah demi memuluskan kepentingan oligarki pemilik modal. Termasuk mengapa semua dibuat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Ternyata karena ada perusahaan yang bakal segera habis masa kontraknya. Inilah fakta yang sangat gamblang dari apa yang disebut korporatokrasi. Korporasi-korporasi itu bisa memaksa Parlemen, juga Pemerintah, untuk membuat peraturan yang menguntungkan mereka meski harus meninggalkan kepentingan rakyat. Jelaslah tidak ada lagi kini kedaulatan di tangan rakyat (demokrasi). Yang ada adalah kedaulatan di tangan pemilik modal atau korporat (korporatokrasi).

++++

Apa itu korpratokrasi? Korporatokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dikendalikan/dikuasai/dijalankan oleh sejumlah korporat. Mereka adalah para pengusaha kaya raya/konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan ragam kebijakan politik, ekonomi, sosial-budaya dalam suatu negara.

Korporatokrasi sudah menjadi fenomena dunia. Terjadi di hampir seluruh negara kapitalis. Secara praktis, para pemilik modal ini merupakan penyumbang utama yang “menghidupi” para politikus, para pejabat militer dan kepala-kepada lembaga  instansi negara. Bahkan tidak jarang mereka juga terjun langsung di dunia politik; mendirikan atau mengendalikan partai politik.

Dampak buruk dari berkembangnya korporatokrasi adalah lahirnya kebijakan dan peraturan perundangan yang hanya menguntungkan para pemilik modal, dan merugikan rakyat banyak serta makin menindas golongan ekonomi lemah.

Di level global, di depan bangsa-bangsa dunia, korporatokrasi  menampilkan diri seolah mereka sungguh-sungguh  bekerja untuk demokrasi dan transparansi. Namun, korporatokrasi tetaplah pemerintahan diktator yang imperialistik. Mereka bisa melakukan apapun demi keuntungan bisnis mereka. Tak peduli bila itu harus merugikan bahkan menghancurkan negara lain.

Lihatlah apa yang dilakukan oleh AS atas Irak beberapa tahun lalu. Atas dorongan Dick Cheney, CEO  Halliburton—kontraktor migas  terbesar di dunia, yang boleh disebut sebagai ikon korporatokrasi—AS menyerbu Irak lewat alibi penghancuran senjata pemusnah massal. Padahal senjata tersebut senyatanya tidak pernah ada dan akhirnya memang diakuti tidak ada. Kini Halliburton bersama MNC lainnya, khususnya di bidang konstruksi, seperti Bechtel, menikmati keuntungan luar biasa dari ladang minyak Irak dan proyek rekonstruksi di sana, di tengah penderitaan jutaan rakyat Irak yang terpaksa hidup di tengah kehancuran negara akibat invasi AS.  Sebuah tindakan keji yang semata didorong oleh nafsu serakah para korporat yang ketika itu memegang kendali pemerintahan.

Korporatokrasi memang tak punya hati. Bagi mereka, yang paling penting adalah bagaimana bisa menguasai segala. Kini, Indonesia pun sedang bergerak menuju ke sana. [H. Muhammad Ismail Yusanto]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − eight =

Check Also
Close
Back to top button