Tafsir

Penentang Al-Quran dan Hukumannya (6)

وَمَا جَعَلۡنَآ أَصۡحَٰبَ ٱلنَّارِ إِلَّا مَلَٰٓئِكَةٗۖ وَمَا جَعَلۡنَا عِدَّتَهُمۡ إِلَّا فِتۡنَةٗ لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ لِيَسۡتَيۡقِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ وَيَزۡدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِيمَٰنٗا وَلَا يَرۡتَابَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَلِيَقُولَ ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ وَٱلۡكَٰفِرُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلٗاۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَمَا يَعۡلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَۚ وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكۡرَىٰ لِلۡبَشَرِ ٣١

“Kami menjadikan penjaga neraka itu hanyalah dari para malaikat. Kami menentukan bilangan mereka itu hanya sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, agar orang-orang yang diberi kitab menjadi yakin; agar orang yang beriman bertambah imannya; agar orang-orang yang diberi kitab dan kaum Mukmin itu tidak ragu-ragu; dan agar orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (berkata), “Apakah yang dikehendaki Allah dengan (bilangan) ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan memberikan  petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. Saqar itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (QS al-Muddatstsir [74]: 31).

 

Dalam penggalan ayat sebelumnya diberitakan tentang malaikat penjaga neraka yang berjumlah sembilan belas. Jumlah tersebut disebutkan menjadi fitnah bagi orang-orang kafir. Namun, bagi Ahli Kitab penyebutan jumlah tersebut diharapkan membuat mereka yakin terhadap kebenaran al-Quran dan Rasulullah saw.

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَيَزۡدَادَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِيمَٰنٗا ٣١

…agar orang yang beriman bertambah imannya…

 

Huruf al-wâwu merupakan al-‘athf (kata sambung) yang mengikutkan kalimat sesudahnya, yakni firman-Nya: وَيَزۡدَادَ  (bertambah) dengan kalimat sebelumnya, yakni firman-Nya: يَسۡتَيۡقِنَ (menjadi yakin).1 Dengan demikian, ini menambahkan tentang alasan lain penetapan jumlah malaikat penjaga neraka, yakni agar keimanan orang-orang beriman bertambah.

Menurut sebagian mufassir, yang dimaksud dengan ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ (orang-orang yang beriman) di sini adalah orang-orang yang beriman dari kalangan Ahlul Kitab, seperti: Abdullah bin Salam.2 Namun ulama lainnya, mencakup semua orang yang beriman.3 Tampaknya ini yang lebih tepat. Sebabnya, frasa dalam ayat ini berbentuk umum sehingga tidak dibatasi untuk golongan tertentu dari orang-orang yang beriman. Dengan dmikian ayat ini memberitakan bahwa pemberitaan malaikat penjaga neraka yang berjumlah tersebut dapat menyebabkan keimanan orang-orang yang beriman bertambah, baik yang sebelumnya merupakan Ahlul Kitab maupun yang lainnya.

Wahbah az-Zuhaili berkata, “Agar kaum beriman dari Ahlul Kitab dan yang lainnya bertambah kepercayaan mereka karena kesesuaian apa yang diberitakan Nabi saw. dengan yang terdapat dalam Kitab mereka.” 4

Keimanan yang bertambah itu bisa berupa aspek kualitasnya karena hal yang sama juga mereka melihat apa yang ada dalam Kitab mereka.5 Ini sebagaimana menurut Ibnu Jarir ath-Thabari yang berkata, “Agar orang-orang yang beriman kepada Allah bertambah kepercayaan mereka kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dengan kepercayaan mereka terhadap jumlah malaikat penjaga neraka.”6

Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa hal itu menambah keimanan mereka karena mereka menyaksikan sendiri kebenaran berita yang disampaikan Nabi saw. 7

Menurut Ismail al-Istambuli, penambahan keimanan itu juga bisa pada aspek kuantitasnya, yakni menggabungkan keimanan mereka tentang hal itu dengan keimanan mereka terhadap semua yang telah diturunkan sebelumnya.8

Kemudian dilanjutkan:

وَلَا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ

…agar orang-orang yang diberi kitab dan kaum Mukmin itu tidak ragu-ragu…

 

Huruf al-wâwu merupakan al-‘athf (kata sambung) yang menghubungkan kalimat sesudahnya, yakni firman-Nya: لَايَرْتَابَ (ragu-ragu) dengan kalimat sebelumnya, yakni firman-Nya: لِيَسۡتَيۡقِنَ (agar menjadi yakin).9

Huruf (لَا) merupakan nâfiyyah yang menegasikan kalimat sesudahnya.10 Artinya, orang-orang Ahlul Kitab dan Mukmin tidak ragu terhadap perkara tersebut.11

Jika dikaitkan dengan kalimat sebelumnya, makna potongan ayat ini adalah: agar penetapan jumlah malaikat penjaga neraka itu juga untuk meniadakan keraguan dari mereka sehingga tidak diliputi dengan kesamaran sesudah mengetahui karena diyakinkan dengan dalil.12

Al-Qurthubi berkata, “Artinya, orang-orang yang diberikan al-Kitab (yakni: kaum Yahudi dan Nasrani) dan kaum Mukmin, yakni orang-orang yang percaya dari kalangan umat Muhammad tidak ragu tentang jumlah para penjaga Neraka Jahanam ada sembilan belas.”13

Bukan hanya tidak ragu terhadap jumlah malaikat penjaga neraka, namun juga dalam al-Quran, Rasulullah saw. dan semua yang beliau bawa.  Asy-Syaukani berkata, “Ini menjadi penguat apa yang telah disebutkan sebelumnya berupa keyakinan dan keimanan yang bertambah. Maknanya, meniadakan keragu-raguan dari mereka di dalam urusan agama.”14

Dijelaskan juga oleh Ismail al-Istambuli, bahwa tiadanya keraguan bagi orang-orang yang diberi Kitab dan orang-orang Mukmin merupakan ta’kîd (untuk mengukuhkan) kalimat sebelumnya berupa al-istayqân (menjadi yakin) dan bertambahnya keimanan. Sebab, menegasikan kebalikan dari sesuatu setelah sebelumnya sesuatu itu ditetapkan merupakan ablagh fî al-itsbât (penetapan yang paling kuat). Menegasikan adanya syubhat yang mengaburkan orang yang yakin dan Mukmin akan menghasilkan yaqîn jâzim (keyakinan yang pasti) dari segi tidak ada keraguan setelah itu. 15

Menurut Ibnu ‘Asyur, jika kedua golongan tersebut berbeda tentang ilmu mereka, maka orang-orang Mukmin mengetahui dan mengamalkannya. Adapun orang-orang yang diberi Kitab mengetahui, namun membangkang. Karena itu ilmu mereka menjadi hujjah yang merugikan mereka dan penyesalan bagi diri mereka.16 

Ada juga yang mengatakan bahwa penjaga neraka yang berjumlah sembilan belas itu bagi orang-orang beriman tidak ada keraguan. Penyebutan tersebut merupakan sindiran bagi orang lain yang di dalam hatinya masih ada keraguan.17

Lalu disebutkan:

وَلِيَقُولَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ الله بِهَذَا مَثَلًا

…agar orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (berkata), “Apakah yang Allah kehendaki dengan (bilangan) ini sebagai suatu perumpamaan?”

 

Huruf al-wâwu merupakan al-‘athf (kata sambung) yang menghubungkan kalimat sesudahnya, yakni firman-Nya: يَقُولَ (mengatakan) dengan kalimat sebelumnya, yakni firman-Nya: يَرْتَابَ (ragu-ragu).18 

Huruf al-lâm di sini merupakan lâm al-‘âqibah.19 Huruf tersebut menunjukkan bahwa kalimat sesudahnya menunjukkan akibat dan hasil dari kalimat yang disebutkan sesudahnya. Dengan demikian ayat ini memberitakan bahwa penentuan jumlah penjaga neraka itu membuat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya dan orang-orang kafir akan mengatakan perkataan yang disebutkan berikutnya.

Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan مَرَضٌ (penyakit) yang ada dalam hati mereka itu adalah an-nifâk (kemunafikan). Demikian menurut Qatadah, Ibnu Jarir ath-Thabari, dan lainnya.20

Dengan demikian, yang dimaksud dengan الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ (orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit) adalah kaum munafik. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsir, al-Qinuji, al-Jazairi, dan lan-lain.21

Sekalipun surah ini diturunkan di Makkah, dan saat itu belum ada orang munafik, surat ini sebagai pemberitahuan akan apa yang terjadi di Madinah.22 Menurut al-Qinuji, itu merupakan mukjizat Nabi saw. karena beliau telah mendapatkan informasi di Makkah tentang apa yang akan terjadi di Madinah setelah hijrah.23

Menurut sebagian lainnya, yang dimaksud al-maradh (penyakit) di sini sekadar adanya kebimbangan dan keraguan, dan itu terdapat pada orang-orang kafir.24

Al-Husain bin al-Fadhl berkata, “Surat ini termasuk Makkiyyah (diturunkan di Makkah), sedangkan di Makkah belum ada kemunafikan. Karna itu yang dimaksud al-maradh (penyakit) di sini adalah al-khilâf (penentangan, kedurhakaan, pelanggaran). 25

Ibnu ‘Asyur juga mengatakan penyakit dalam hati adalah su’u al-niyyah (niat yang buruk) terhadap al-Quran dan Rasulullah saw. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa dalam keraguan antara masuk Islam dan tetap dalam kemusyrikan, seperti al-Ahnas bin Suraiq dan al-Walid bin al-Mughirah. Dengan demikian yang dmaksud dengan orang yang dalam hatinya ada penyakit bukanlah kaum munafik. Sebabnya, kaum munafik tidak tampak kecuali di Madinah setelah hijrah. Padahal ayat ini adalah Makkiyyah.26

Adapun yang dimaksud dengan al-kâfirûn (kaum kafir) di sini adalah orang-orang kafir Arab dari penduduk Makkah dan lainnya.27

Menurut ayat ini, orang-orang yang hatinya berpenyakit dan orang-orang kafir itu akan mengatakan: مَاذَا أَرَادَ الله بِهَذَا مَثَلًا (Apakah yang Allah kehendaki dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?). Kata مَاذَا merupakan ism al-istifhâm (kata tanya).28

Adapun kata مَثَلًا dalam ayat ini bermakna اَلْعَدَدُ (bilangan, jumlah).29  Artinya: Apa yang Allah SWT inginkan dengan jumlah yang aneh tersebut?

Ada juga yang memaknai kata مَثَلًا sebagai al-hadîts (berita), sebagaimana dikatakan al-Laists. Ini seperti dalam firman-Nya:

۞مَّثَلُ ٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي وُعِدَ ٱلۡمُتَّقُونَۖ ٣٥

Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang yang bertakwa (ialah seperti taman) (QS ar-Ra’d [13]: 35).30

 

Maknanya, “Apa yang Allah kehendaki Allah dengan bilangan yang aneh ini?”31 Kalimat tanya tersebut merupakan istifhâm inkâriy (kata tanya retoris yang memberikan makna pengingkaran).32

Dengan demikian perkataan mereka merupakan pengingkaran dan pendustaan terhadap berita tentang jumlah penjaga neraka. Mereka menganggap jumlah tersebut sebagai jumlah yang aneh dan janggal sehingga tidak mungkin dari Allah SWT. Dengan kata lain, kalimat tanya tersebut dimaksudkan untuk mengingkari berita tersebut, bahwa itu tidak datang dari Allah SWT.33

Kemudian Allah SWT berfirman:

كَذَٰلِكَ يُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ ٣١

Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang Dia kehendaki dan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang Dia kehendaki.  

 

Huruf al-kâf bermakna mitsl (seperti). Ism al-isyârah, yakni kata ذلك (itu), kembali pada perkara yang diberitakan sebelumnya. Mulai dari firman-Nya: لِيَسۡتَيۡقِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ hingga firman-Nya: مَثَلٗا.34 Artinya, seperti penyesatan yang terjadi pada orang-orang yang hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir, serta terjadi pada orang-orang Ahlul Kitab.

Setelah mereka diyakinkan tentang berita itu, mereka  tetap tidak mau beriman. Begitulah Allah SWT menyesatkan orang-orang yang Dia kehendaki. Seperti juga al-hudâ (petunjuk) yang diproleh kaum Mukmin, maka Allah SWT menambah keimanan mereka. Begitulah Allah SWT menunjukkan kepada orang-orang yang Dia kehndaki.35

Menurut az-Zuhaili, makna penggalan ayat ini adalah: “Seperti yang telah disebutkan tentang penyesatan dan hidayah itu, Allah SWT menyesatkan orang yang menelantarkan dirinya untuk mendapatkan kebenaran disebabkan jeleknya persiapan hati, dan justru mengarahkan dirinya ke tempat-tempat yang sesat dan buruk. Demikian pula Allah SWT menunjukkan kebenaran dan keimanan kepada orang yang diinginkan dengan memberi mereka taufik pada kebenaran. Dengan demikian, seperti Abu Jahal dan teman-temannya yang mengingkari para penjaga Neraka Jahanam disesatkan, Dia juga menyesatkan orang yang ingin disesatkan dari hidayah dan keimanan, yakni menghinakan dan membuat orang buta orang yang dikehendaki untuk disesatkan. Allah SWT juga menunjukkan, yakni mengajarkan petunjuk kepada orang yang menginginkan petunjuk seperti para Sahabat Nabi saw.”36

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَمَا يَعۡلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَۚ ٣١

Tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri.

 

Huruf al-wâwu merupakan al-isti’nâf. Karena itu kalimat sesudahnya merupakan jumlah musta’nifah. Kata جُنُودَ merupakan bentuk jamak dari kata جُنْدُ. Secara bahasa, الجُنْدُ berarti الأَعوان والأَنصار (penolong dan pembantu). Juga bisa berarti العسكر (tentara, pasukan).37

Yang dimaksud dengan junûd Rabbbika (bala tentara Tuhanmu) adalah para malaikat. Ditegaskan bahwa tidak ada yang mengetahui jumlah malaikat kecuali Allah SWT. Dhamîr al-ghâib huwa kembali kepada Allah SWT.

Jika dikaitkan dengan penggalan ayat sebelumnya, sebagaimana diterangkan al-Jazairi, ini merupakan jawaban atas perkataan Abu Jahal yang mengatakan penolong bahwa Muhammad hanya memiliki sembilan belas penolong. Pernyataan itu untuk meremehkan dan mendustakan. Karena itu Allah SWT memberitahukan bahwa Dia memiliki balatentara yang tidak diketahui jumlah dan kekuatannya oleh siapa pun kecuali Dia.38

Jumlah penjaga neraka disebutkan hanya sembilan belas. Akan tetapi, berapa jumlah mereka sesungguhnya hanya Allah SWT. ‘Atha’ berkata: “Yakni jumlah para malaikat yang Allah ciptakan untuk menyiksa para penghuni neraka. Tidak ada yang mengetahui jumlahnya melainkan Allah saja. Maknanya, para penjaga neraka, sekalipun mereka berjumlah sembilan belas, mereka mempunyai para pembantu dan bala tentara dan teman-teman dari kalangan malaikat yang tidak diketahui kecuali Allah SWT.”39

Al-Qurthubi juga berkata, “Tidak ada yang mengetahui jumlah sebenarnya para malaikat yang telah Dia ciptakan untuk mengazab para para penghuni neraka kecuali hanya Allah SWT. Firman ini merupakan jawaban atas komentar Abu Jahal untuk ayat sebelumnya, yaitu perkataan mereka, ‘Apakah tentara yang dimiliki Muhammad hanya sembilan belas malaikat saja?’”

Di samping dari segi jumlahnya, aspek kekuatan, besarnya dan lainnya juga hanya Allah SWT yang tahu. Muhammad Ali ash-Shabuni berkata, “Tidak ada yang mengetahui jumlah, kekuatan dan besarnya fisik, serta banyaknya mereka kecuali Allah Tuhan semesta alam.”40

Ibnu Katsir berkata, “Tiada seorang pun yang mengetahui jumlah dan banyaknya mereka kecuali hanya Allah sendiri, supaya tidak ada orang yang mempunyai dugaan bahwa mereka berjumlah sembilan belas malaikat saja. Sebagaimana yang dikatakan oleh segolongan orang-orang yang sesat dan bodoh dari kalangan para filosof Yunani dan para pengikut mereka dari kalangan penganut kedua agama (Yahudi dan Nasrani). Ketika mereka mendengar ayat ini, mereka bermaksud menakwilkannya dengan pengertian sepuluh akal dan sembilan jiwa, yang mereka karang sendiri, tetapi mereka tidak mampu membuktikan kebenaran dari hipotesisnya. Mereka hanya memahami permulaan ayat ini, tetapi kafir dengan bagian terakhirnya, yaitu firman Allah SWT (yang artinya): (tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri).41

WalLâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 156

2        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 82

3        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 82

4        al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 232

5        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 269

6        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 31

7        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 269

8        Ismail al-Istambuli, h al-Bayân, vol. 10, 234

9        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 316

10      Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10, 281

11      Lihat al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 235; al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 468

12      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 316

13      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 82

14      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396. Lihat juga al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 235

15      Ismail al-Istambuli, h al-Bayân, vol. 10, 234; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân fi Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 30, 404

16      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 316

17      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396

18      Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 156

19      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 316;

20      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 31

21      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 31; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 269; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 14, 415; al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 465

22      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396. Lihat juga al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 233

23      al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 14, 415

24      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396

25      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396-397

26      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 317; Ismail al-Istambuli, h al-Bayân, vol. 10, 234

27      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 396-397; al-Qinuji, Fat-h al-Bayân, vol. 14, 415. Iihat juga al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 31

28      Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10, 280; Abu Bilal, al-Mujtabâ min Musykil I’râb al-Qur‘ân, vol. 4, 1387

29      Ismail al-Istambuli, h al-Bayân, vol. 10, 234;

30      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 397

31      al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 468

32      Ismail al-Istambuli, h al-Bayân, vol. 10, 234; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 405; al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 468

33      Lihat al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 235

34      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 318

35      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 318

36      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 235

37      Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 3 (Beirut: Dar Shadir, 1994), 132

38      al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 469

39      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 397

40      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3 (Kairo: Dar al-Shabuni, 1997), 454

41      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 270

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 + 16 =

Back to top button