Haram Berputus Asa Dalam Berjuang Di Jalan Allah SWT
Soal:
Bolehkah kita bersikap pesimis? Apa yang membuat sebagian umat Islam akhirnya bersikap pesimis dalam memperjuangkan kebenaran dan agamanya? Bagaimana caranya agar umat ini tetap optimis dan yakin dengan kemenangan agamanya?
Jawab:
Sikap pesimis itu adalah bagian dari sikap putus asa. Menyerah dan putus asa terhadap keadaan adalah dosa besar. Allah SWT berfirman:
وَلَا تَاْيَۡٔسُواْ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِۖ إِنَّهُۥ لَا يَاْيَۡٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨٧
Janganlah kalian berputus asa dari kasih sayang Allah. Sungguh tidaklah berputus asa dari kasih-sayang Allah kecuali kaum kafir (QS Yusuf [12]: 87).
Imam at-Thabari menjelaskan ayat ini dengan menyatakan: “Janganlah kalian berputus asa dari kekuasaan Allah untuk menenangkan kita dari kesedihan yang kita alami terhadap Yusuf dan saudaranya, dengan solusi dari sisi-Nya.”1
Imam al-Qurthubi juga menjelaskan: “Janganlah kalian berputus asa dari solusi [yang diberikan] Allah. Ibn Zaid berkata, “Maksud-Nya, sungguh orang Mukmin itu mengharapkan solusi [yang diberikan] Allah. Adapun orang kafir itu berputus asa ketika dalam kesulitan. Qatadah dan ad-Dhahhak berkata, ‘[Berputus asa] terhadap kasih sayang Allah.’”2
Beliau kemudian menjelaskan hukum pesimis dan putus asa, dengan mengutip frasa:
إِنَّهُۥ لَا يَاْيَۡٔسُ مِن رَّوۡحِ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨٧
Sungguh tidaklah berputus asa dari kasih sayang Allah itu kecuali kaum kafir (QS Yusuf [12]: 87).
Dengan menyatakan:
دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ الْقُنُوْطَ مِنَ الْكَبَائِرِ، وَهُوَ الْيَأْسُ
Itu adalah dalil bahwa menyerah pada keadaan [pesimis] adalah dosa besar dan itu adalah sikap putus asa.” 3
Karena itu bersikap pesimis, putus asa dan menyerah pada keadaan karena merasa tidak ada harapan adalah dosa besar. Pertama, dosa besar karena berputus asa, yang jelas diharamkan. Dalilnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam al-Qurthubi di atas. Kedua, dosa besar karena berburuk sangka kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
يَظُنُّونَ بِٱللَّهِ غَيۡرَ ٱلۡحَقِّ ظَنَّ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِۖ
Mereka berprasangka kepada Allah dengan prasangka yang tidak benar, sebagaimana prasangka orang-orang Jahiliah (QS Ali ‘Imran [3]: 154).
وَيُعَذِّبَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَٰتِ ٱلظَّآنِّينَ بِٱللَّهِ ظَنَّ ٱلسَّوۡءِۚ عَلَيۡهِمۡ دَآئِرَةُ ٱلسَّوۡءِۖ وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَلَعَنَهُمۡ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرٗا ٦
Dia [Allah] mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, musyrik laki-laki dan perempuan, yang berprasangka buruk kepada Allah. Mereka akan mendapat giliran [azab] yang buruk dan murka Allah kepada mereka. Dia mengutuk mereka dan menyediakan untuk mereka Jahanam. Itu merupakan seburuk-buruk tempat kembali (QS al-Fath [48]: 6).
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa berprasangka buruk kepada Allah itu dosa besar, haram dan ancamannya panjang; “mendapat giliran [azab] yang buruk,” ditambah, “murka Allah kepada mereka,” ditambah lagi, “Dia mengutuk mereka.” dan terakhir, “Dia menyediakan untuk mereka Jahanam.”
Semua ini untuk membuka mata kita betapa besarnya dosa berprasangka buruk kepada Allah SWT, dan betapa dahsyatnya ancaman azabnya, baik di dunia maupun akhirat.
Pertanyaan kemudian, bagaimana caranya agar kita dan umat ini tetap yakin, optimis dan istiqamah berjuang di jalan-Nya?
Pertama: Harus ditanamkan ke dalam hati kita dan umat ini, bahwa Islam adalah agama yang haq, yang diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur seluruh kehidupan umat manusia. Bukan hanya Islam, tetapi juga non-Muslim.
ٱلۡيَوۡمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِۚ ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ ٣
Hari ini orang-orang kafir telah berputus asa terhadap agama kalian. Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Hari ini Aku telah menyempurna-kan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan telah meridhai untuk kalian Islam menjadi agama kalian (QS al-Maidah [5]: 3).
Karena itu tidak ada satu pun persoalan manusia yang tidak bisa diselesaikan dan diatur dengan Islam. Islam adalah agama yang sempurna. Islam bukan hanya agama untuk umat Islam, tetapi untuk seluruh manusia dan alam semesta.
Kedua: Harus ditanamkan ke dalam hati kita dan umat ini, bahwa kita adalah umat terbaik, dari Nabi terbaik, dengan risalah yang sempurna (QS Ali ‘Imran [3]: 110).
Ketiga: Karena itu Allah menetapkan kita dan umat ini sebagai pemimpin dunia. Memimpin umat manusia dengan peradaban Islam yang sempurna (QS al-Baqarah [2]: 143).
Keempat: Allah SWT juga memerintahkan kita menerapkan pemerintahan berdasarkan apa yang Allah turunkan (QS al-Baqarah [2]: 49). Ini merupakan keniscayaan, bahwa kita dan umat ini adalah pemimpin seluruh umat manusia.
Kelima: Allah SWT berjanji akan memenangkan agama-Nya atas semua agama yang lain (QS at-Taubah [9]: 33; QS al-Fath [48]: 28; QS ash-Shaff [61]: 9; QS at-Taubah [9]: 33). Janji ini telah dipenuhi oleh Allah ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup. Ketika Islam dimenangkan atas seluruh agama, baik Yahudi, Nasrani, Paganisme, maupun yang lain. Ketika itu ideologi belum lahir. Setelah ideologi Kapitalisme dan Sosialisme lahir, Islam secara politik dikalahkan, khususnya setelah Khilafah Islam dihancurkan oleh konspirasi kaum Kafir, 3 Maret 1924 M.
Karena itu, ketiga ayat di atas juga merupakan janji Allah kepada kita dan umat ini, bahwa Islam akan Dia menangkan terhadap seluruh ideologi yang ada di dunia. Janji itu belum terwujud hingga kini.
Keenam: Allah SWT berjanji akan memberikan kembali Kekhilafahan-Nya kepada orang Mukmin dan orang-orang yang melakukan amal shalih. Ketaatan mereka totalitas, dan tidak menyekutukan Allah dengan yang lain, sedikit pun (QS an-Nur [24]: 55).
Ini diperkuat dengan Hadis Nabi saw. tentang lima fase, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nu’man bin Basyir.
Ketujuh: Harus ditanamkan ke dalam hati kita dan umat ini keyakinan kepada yang gaib, khususnya tentang janji Allah [wa’dulLah] dan kabar gembira Rasulullah [Busyra RasulilLah]. Semua yang Allah janjikan dan Rasulullah kabarkan itu benar dan pasti terjadi. Meski berbagai peristiwa dan keadaan di dunia hari ini bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengannya, semuanya itu tidak boleh membuat kita dan umat ini silau sehingga tidak yakin dengan janji-Nya (QS Fathir [35]: 5).
Kedelapan: Harus ditanamkan ke dalam hati kita dan umat ini bahwa menegakkan Islam dalam kehidupan Islam ini hukumnya wajib. Bagaimana caranya?
Karena ini merupakan titah Allah, maka Allah pun memberikan tuntunan, dengan mengutus Nabi-Nya. Nabi saw. ditugaskan untuk menegakkan Islam, mulai dari Makkah, selama 13 tahun, hingga di Madinah, selama 10 tahun. Semuanya itu merupakan tuntunan bagi siapapun yang hendak menegakkan kembali Islam (QS Yusuf [12]: 1080
Secara umum bisa dijelaskan bahwa Islam adalah ideologi. Sebagai ideologi, Islam mempunyai fikrah [konsep] dan thariqah [metode]. Konsep dan metodenya pun lengkap. Pendek kata, Islam mempunyai peradaban, yang merupakan majmu’atu al-mafahim ‘an al-hayat [kumpulan pemahaman tentang kehidupan]. Mulai dari sistem pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum, dan sebagainya. Dalam konteks kekinian, ini merupakan master plan kita dan umat. Tidak hanya master plan, Nabi saw. juga memberikan road map [khutthah ath-thariq].
Nabi saw. juga mengajarkan bahwa perjuangan yang beliau lakukan tidak sendiri, tetapi berjamaah (QS Ali ‘Imran [3]: 104). Karena itu Nabi saw. membentuk Hizbu ar-Rasul. Nabi saw. juga menyiapkan Rijal. Mereka dididik ‘aqliyyah dan nafsiyyah-nya hingga terbentuk kepribadian Islam yang kokoh, dan siap mengarungi getir-pahitnya perjuangan untuk memenangkan Islam. Akhirnya, setelah 13 tahun perjuangan di Makkah, mereka dimenangkan oleh Allah. Di Madinah, kekuasaan yang bisa menolong Islam itu tegak. Selama 10 tahun Nabi saw. memimpin. Setelah itu dilanjutkan oleh para sahabat hingga runtuh 3 Maret 1924.
Kesembilan: Harus ditanamkan ke dalam hati kita dan umat ini bahwa setelah semua upaya terbaik sudah dilakukan, maka berikutnya adalah urusan Allah SWT.
Dalam konteks ini, yang harus dibangun adalah dua sikap: Pertama, meyakini bahwa Allah pasti akan menyampaikan urusan-Nya (QS ath-Thalaq [65]: 3). Kedua, tawakal kepada Allah dan terus melakukan ikhtiar yang terbaik. Inilah yang menjadi hujah kita di hadapan-Nya kelak.
WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat, Ibn Jarir at-Thabari, Tafsir at-Thabari, Q.s. Yusuf: 87.
2 Lihat, al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Q.s. Yusuf: 87
3 Lihat, al-Qurthubi, Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Q.s. Yusuf: 87