Soal Jawab

Wajibkah Mengirim Pasukan Ke Wilayah Pendudukan?

Soal:

Bagaimana hukumnya mengirim pasukan perang ke wilayah pendudukan, sebagaimana yang saat ini terjadi di Palestina? Jika wajib, siapa yang paling berkewajiban untuk melakukan itu?

 

Jawab:

Palestina adalah tanah Kharajiyyah, milik seluruh kaum Muslim. Bukan milik rakyat Palestina, Syam, atau bangsa Arab. Karena itu masalah Palestina, yang terjadi akibat pendudukan entitas Yahudi di tanah tersebut, adalah masalah kaum Muslim di seluruh dunia, bukan hanya masalah bagi bangsa Palestina, Syam atau Arab.

Pendudukan, dalam bahasa Arab, disebut Ihtilaal, adalah tindakan aneksasi, atau mengerahkan kekuatan militer di tanah asing, bukan miliknya, untuk dijajah, tanpa kerelaan penduduknya.1

Menurut Dr. Muhammad Khair Haikal, apapun tujuannya, tindakan pendudukan ini merupakan bentuk serangan terhadap negeri kaum Muslim.2 Inilah yang terjadi pada Palestina, yang diduduki Entitas Yahudi, pasca kekalahan Khilafah ‘Utsmani dalam Perang Dunia I.

Para fuqaha’ kaum Muslim dari berbagai mazhab sepakat, bahwa berperang untuk melawan serangan dan pendudukan yang terjadi terhadap negeri kaum Muslim hukumnya wajib. Bahkan ini hukumnya fardhu ‘ain bagi penduduk yang diduduki. Jika mereka tidak mampu untuk melawan serangan dan pendudukan tersebut, maka hukum kefardhuan tersebut berlaku juga bagi penduduk terdekat di sekitarnya, sampai kemampuan untuk melakukan perlawanan tersebut bisa diwujudkan, sampai musuh berhasil diusir dari negeri kaum Muslim.

Dalam konteks Palestina, masalah utama bagi kaum Muslim di sana, dan di seluruh dunia, adalah adanya Entitas Yahudi di sana. Bukan masalah batas wilayah. Karena itu solusinya bukan berdamai dan hidup berdampingan, baik dengan konsep satu negara atau dua negara. Namun, solusinya adalah Izaalah al-Wujuud (menghilangkan eksistensi Entitas Yahudi) dari tanah Palestina.

Al-Kasani, dari mazhab Hanafi, menyatakan: 3

إِذَا عَمَّ النَّفِيرُ بِأَنْ هَاجَمَ الْعَدُوُّ عَلَى بَلَدٍ فَهُوَ فَرْضُ عَينٍ يَفْتَرِضُ عَلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ آحَادِ الْمُسْلِمِين مِمَنْ هُو قَادْرٌ عَلَيْهِ

Jika terjadi serangan umum, yakni musuh menyerang sebuah negeri, maka hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap individu kaum Muslim dari kalangan yang mampu untuk berperang melawannya.

 

Ibn ‘Abidin, dalam kitabnya, Radd al-Mukhtar, menyatakan: 4

كِتَابُ الْجِهَاد: هُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ اِبْتِدَاءً، وَ إِنْ لَمْ يبدؤونا …. وَفَرْضُ عَين إِنْ هَجَمَ الْعَدُوُّ، فَيَخْرُجُ الْكُلُّ، ولَوْ بِلا إِذْنٍ، ويأثم الزَّوْجُ وَبحوهُ بِالْمَنْعِ

Kitab Jihad: Hukumnya fardhu kifayah jika ofensif (mendahului menyerang) meski mereka tidak menyerang kita terlebih dulu…Hukumnya fardhu ‘ain jika musuh menyerang sehingga semuanya wajib keluar meski tanpa izin. Suami maupun yang lain berdosa jika melarang.

 

Di dalam Hasyiyah-nya dinyatakan sebagai berikut: 5

(قَوْلُه: فَرْضُ عَين) أَيْ عَلَى مَنْ يَقْرَبُ مِن الْعَدُوِّ، فَإِنْ عَجَزُوْا، أَوْ تَكَاسَلُوْا فَعَلَى مَنْ يَلِيْهِمْ حَتَّى يَفْتَرِضَ، عَلَى هَذَا التَّدْرِيْجِ، عَلَى كُلِّ الْمُسْلِمِين شَرْقًا وَغَرْبًا…

(Kalimat beliau: fardhu ‘ain) maksudnya bagi orang yang jaraknya dekat dengan musuh. Jika mereka tidak mampu, atau malas, maka bagi orang yang dekat dengan mereka wajib menunaikannya, hingga hukumnya menjadi wajib bagi seluruh kaum Muslim, di timur maupun barat, secara bertahap.

 

Dalam kitab Al-Minhaj, dan Syarh Mughni al-Muhtaaj, dinyatakan: 6

كَانَ الْجِهَادُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ فَرْضُ كِفَايَةٍ، وَ قِيْلَ فَرْضُ عَيْنٍ؛ وَأَمَّا بَعْدَه فَلِلْكُفَّارِ حَالاَن: أَحَدُهُمَا، يَكُوْنُوْنَ بِبِلاَدِهِمْ فَفَرْضُ كِفَايَةٍ، إِذَا فَعَلَهُ مَنْ فِيْهِمْ الْكِفَايَةُ سَقَطَ الْحَرَجُ عَنِ الْبَاقِين… الثَّانِي،يَدْخُلُوْنَ بَلْدَةً لَنَا فَيَلْزَمُ أَهْلُهَا الدَّفْعَ بِالمُمْكِنِ، فَإِنْ أَمْكَنَ تَأْهب لِقِتَالٍ وَجَبَ الْمُمْكِنُ حَتَّى عَلَى فَقِيْرٍ، وَوَلَدٍ، وَمَدِيْنٍ، وَعَبْدٍ بِلاَ إِذْنٍ، وَ قِيْلَ إِنْ حَصَلَتْ مُقَاوَمَةُ بِأَحْرَارٍ اُشْتُرِطَ إِذْنُ سَيِّدِهِ… وَمَنْ عَلَى الْمَسَافَةِ يَلْزَمُهُمْ الْمُوَافَقَةَ بِقَدْرِ الْكِفَايَةِ إِنْ لَمْ يَكْفِ أَهْلُهَا وَمَنْ يَلِيْهِم.

Jihad pada zaman Nabi saw. adalah fardhu kifayah. Ada yang mengatakan fardhu ‘ain. Adapun pada zaman setelahnya, maka bagi kaum kafir ada dua kondisi. Pertama, mereka berada di negeri mereka, maka hukumnya fardhu kifayah (bagi kaum Muslim berperang melawan mereka, red.). Jika telah dilakukan oleh orang yang cukup, maka telah gugur dosa bagi yang lain. Kedua, mereka memasuki negeri kita, maka penduduknya wajib untuk melawan dengan siapa saja yang mungkin. Jika memungkinkan bersiap-siap untuk berperang, maka wajib yang mungkin, termasuk bagi yang miskin, anak, orang yang mempunyai hutang, budak tanpa izin (tari tuannya). Ada yang mengatakan, jika perlawanan bisa dilakukan dengan orang-orang merdeka (bukan budak), maka bagi budak disyaratkan ada izin dari tuannya.. Bagi orang yang dalam jarak masafah qashar shalat, harus mau, sesuai dengan kadar kecukupan. Jika penduduknya tidak cukup, maka penduduk daerah berikutnya.”

 

Inilah pandangan para fuqaha’ dari berbagai mazhab. Mereka berpendapat bahwa fardhu ‘ain melakukan perlawanan terhadap pasukan pendudukan atau penjajah, yang menduduki dan menjajah negeri kaum Muslim. Dalam kasus Palestina, lepasnya wilayah ini ke tangan Entitas Yahudi bukan semata karena para penguasa kaum Muslim di sekitarnya tidak melakukan perlawanan terhadap penjajah Israel, tetapi mereka juga mengkhianati Palestina dan pendudukanya, dengan melakukan normalisasi hubungan dengan Entitas Yahudi, yang nota bene adalah penjajah.

Ini jelas dosa besar. Pertama, karena mereka meninggalkan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain. Kedua, mengkhinati Palestina, yang merupakan tanah dan kiblat pertama kaum Muslim. Ketiga, melakukan normalisasi hubungan dengan Entitas Yahudi, penjajah dan pembunuh saudara mereka. Padahal umat Islam adalah satu. Darah mereka sama. Darah kaum Muslim di Palestina yang ditumpahkan itu adalah darah mereka.

Dalam konteks yang terakhir, adanya serangan Entitas Yahudi penjajah terhadap Gaza, dengan menggunakan berbagai persenjataan canggih, dan mereka pun dengan jelas membutuhkan pertolongan, bahkan telah menjerit meminta tolong, maka negeri-negeri kaum Muslim terdekat dengan mereka wajib menolong mereka. Ini sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT:

وَمَا لَكُمۡ لَا تُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ مِنَ ٱلرِّجَالِ وَٱلنِّسَآءِ وَٱلۡوِلۡدَٰنِ ٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَخۡرِجۡنَا مِنۡ هَٰذِهِ ٱلۡقَرۡيَةِ ٱلظَّالِمِ أَهۡلُهَا وَٱجۡعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيّٗا وَٱجۡعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيرًا  ٧٥

Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Duhai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!” (QS an-Nisa’ [4]: 75).

 

Menurut ath-Thabari, mengutip penjelasan Mujahid, melalui ayat ini Allah memerintahkan kepada orang Mukmin untuk berperang membela kaum Mukmin yang lemah, yang masih tinggal di Makkah (belum ikut hijrah ke Madinah).7

Menurut Dr. Muhammad Khair Haikal, usluub (gaya bahasa) Istifhaam yang digunakan di sini bertujuan untuk mendorong agar mau menolong mereka, atau celaan atas sikap berdiam diri. Karena itu hukumnya wajib bagi kaum Muslim untuk menolong mereka dan haram membiarkan mereka dalam kondisi tertindas.8

Allah SWT juga berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱلَّذِينَ ءَاوَواْ وَّنَصَرُوٓاْ أُوْلَٰٓئِكَ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَلَمۡ يُهَاجِرُواْ مَا لَكُم مِّن وَلَٰيَتِهِم مِّن شَيۡءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُواْۚ وَإِنِ ٱسۡتَنصَرُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ فَعَلَيۡكُمُ ٱلنَّصۡرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوۡمِۢ بَيۡنَكُمۡ وَبَيۡنَهُم مِّيثَٰقٞۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ  ٧٢ وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍۚ إِلَّا تَفۡعَلُوهُ تَكُن فِتۡنَةٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَفَسَادٞ كَبِيرٞ  ٧٣

Sungguh orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. (Terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atas kalian melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dan mereka. Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan. Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kalian (hai kaum Muslim) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar (QS al-Anfal [8]: 72-73).

 

Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum Muslim yang menetap di Makkah tidak ada hubungan sebagai warga negara, tetapi ketika mereka meminta pertolongan kepada kaum Muslim di Madinah, yang ketika itu merupakan Negara Islam. Lalu kaum Muslim di Madinah wajib bangkit menolong saudara-saudara mereka, meski di luar wilayahnya. Bahkan Allah mengancam, jika mereka berdiam diri, hal itu akan mengundang fitnah dan musibah yang akan mengintai kaum Muslim, serta terjadinya kerusakan yang akan merajalela di muka bumi.9

Dari sini bisa disimpulkan bahwa hukum menolong kaum Muslim dan membebaskan Palestina dari pendudukan Zionis Israel menjadi fardhu ‘ain bagi kaum Muslim, khususnya penguasa dan tentara negeri-negeri yang ada di sekitarnya. Mulai dari Yordania, Suriah, Mesir, Yaman, Saudi, Bahrain, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab, Kuwait, dan lain-lain. Diamnya penguasa dan tentara memberikan pertolongan kepada mereka tidak hanya berdosa besar, tetapi juga diancam oleh Allah dengan fitnah, musibah dan kerusakan yang akan merajalela di wilayah mereka.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Ahmad ‘Athiyyatu-Llah, al-Qamus as-Siyasi, hal. 22. Lihat juga, Dr. Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, Cet. III, 1417 H/1996 M, Juz I, hal. 632.

2        Haikal, al-Jihad wa al-Qital, Juz I, hal. 632.

3        Al-Kasani, Bada’i’ as-Shana’i’, Juz VIII, hal. 9; Haikal, al-Jihad wa al-Qital, Juz I, hal. 637.

4        Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar, Juz III, hal. 334; Haikal, al-Jihad wa al-Qital, Juz I, hal. 637.

5        Ibn ‘Abidin, Radd al-Mukhtar, Juz III, hal. 334; Haikal, al-Jihad wa al-Qital, Juz I, hal. 637.

6        Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Minhaj at-Tahlibin wa ‘Umdatu al-Muftin, Dar Ibn Hazm, Beirut, Cet. I,  1432 H/2011 M, hal. 334.

7        At-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Juz V, hal. 107.

8        Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, Juz I, hal. 653,

9        Haikal, Al-Jihad wa al-Qital, Juz I, hal. 654,

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

10 − seven =

Back to top button