Ibrah

Bekal Perjalanan

Banyak Muslim pernah melakukan perjalanan jauh. Seperti melakukan safar ke luar negeri. Misalnya saja, untuk melakukan haji atau umrah. Apa yang biasa mereka lakukan sebelum benar-benar berangkat safar? Tentu mempersiapkan bekal. Kadang jauh-jauh hari. Bahkan untuk perjalanan ibadah haji yang rata-rata cuma sebulan saja, persiapannya bisa berbulan-bulan. Bahkan persiapan tersebut bisa bertahun-tahun kalau memperhitungkan faktor lain. Misalnya, karena harus menabung selama bertahun-tahun sampai bisa memenuhi segala biaya/ongkos perjalanan ke Tanah Suci.

Saking tak ingin ada yang ketinggalan, sebelum safar, sering setiap item perbekalan dicatat dan dicek ulang. Tak terbayangkan, misalnya, kalau pas berangkat untuk menunaikan haji atau umrah, pas sudah sampai di bandara, paspor atau visa ternyata tertinggal di rumah. Mana rumahnya jauh di luar kota, sementara waktu pun sudah sangat sempit. Tak akan cukup untuk mengambil surat yang sangat penting tersebut. Alhasil, rencana perjalanan haji pun gagal. Yang ada tinggal penyesalan yang amat dalam. Bayangan bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci dan memandang Ka’bah secara langsung pun kandas.

Karena itu sudah pasti setiap calon jemaah haji atau umrah akan memastikan—bahkan berkali-kali—hal-hal penting untuk dibawa. Jangan sampai ada satu pun yang tertinggal. Demikianlah, setiap orang yang akan melakukan safar/perjalanan jauh—seperti ibadah haji atau umrah—benar-benar akan mempersiapkan bekal secara sungguh-sungguh dan optimal.

*****

 

Demikianlah. Itu hanya berkaitan dengan perjalanan/safar di dunia, seperti ibadah haji atau umrah, yang sangat singkat. Segala perbekalan benar-benar dipersiapkan dengan sungguh-sungguh dan optimal.

Pertanyaannya: Pernahkah kita membayangkan, bagaimana dengan “perjalanan” yang sangat jauh, yakni perjalanan di akhirat? Sebuah perjalanan pasca kematian? Apakah setiap Muslim benar-benar dan sungguh-sungguh mempersiapkan bekal secara optimal untuk melakukan perjalanan menuju Allah SWT di akhirat kelak? Rasa-rasanya tidak semuanya. Bahkan mungkin hanya sebagian kecil yang benar-benar mempersiapkan bekal untuk perjalanan akhiratnya. Apa bekal untuk perjalanan akhirat? Tidak lain adalah takwa. Bahkan takwa adalah satu-satunya bekal terbaik (khayr zaad) dalam perjalanan panjang menuju Allah SWT. Allah SWT berfirman: Wa tazawwaduu fa inna khayr az-zaad at-taqwaa (Berbekallah kalian karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa) (QS al-Baqarah [2]: 197).

Ya, satu-satunya bekal menuju surga-Nya di akhirat adalah takwa. Bukan harta, kecuali yang disedekahkan/diinfakkan atau diwakafkan. Bukan jabatan, kecuali yang digunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Bukan kekuasaan, kecuali yang diemban dengan amanah untuk melayani segala urusan/kepentingan umat, menegakkan syariah-Nya, menolong agama-Nya, serta mengemban dakwah dan jihad fi sabillah.

Di sinilah masalahnya. Banyak orang yang ternyata tidak benar-benar mempersiapkan bekal untuk menuju surga-Nya. Mau dan sangat ingin masuk surga, tetapi “tiket” untuk bisa masuk surga tidak dibawa. Apa “tiket” untuk dapat masuk surga? Tidak lain adalah takwa. Saat seseorang di akhirat nanti tidak membawa takwa (karena di dunia hanya sedikit melakukan amal-amal shalih dan malah melakukan banyak dosa), alamat dia akan gagal masuk surga. Saat itulah, banyak orang—yang telah mati—akan benar-benar menyesal. Sebabnya, saat mati, ia baru benar-benar menyadari, amal-amal yang dia lakukan saat di dunia amat sedikit, sementara dosa-dosa yang dia perbuat begitu banyak.

Saat demikian, ia benar-benar berangan-angan ingin kembali ke dunia. Ingin hidup kembali meski hanya sesaat. Untuk apa? Tentu untuk bisa bertobat sekaligus bersungguh-sungguh taat. Demikian sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali: “Sungguh orang-orang yang telah mati berangan-angan bisa hidup kembali meski hanya sesaat saja. Tidak lain agar mereka bisa bertobat dan bersungguh-sungguh melakukan ketaatan. Padahal hal demikian adalah mustahil bagi mereka.” (Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaa’if al-Ma’aarif, hlm. 727).

Mengapa tobat? Sebabnya, surga tentu hanya akan dimasuki oleh orang-orang yang  suci dari dosa. Karena itu kata-kata Imam Ibnu al-Jauzi rahimahullLaah patut kita renungkan. Kata beliau, “Wahai engkau yang mengejar surga, sungguh Bapak kalian, Adam as., dulu dikeluarkan dari surga hanya karena satu dosa. Lalu pantaskah engkau berambisi masuk surga dengan membawa banyak dosa yang tidak segera engkau tobati?” (Ibnu al-Jauzi, At-Tabshirah, 1/326).

Karena itu orang yang bertakwa akan banyak bertobat. Ia pun tak pernah menunda-nunda tobat. Sebabnya, ia menyadari kematian datang selalu tiba-tiba. Tak pernah menunggu-nunggu orang untuk bertobat lebih dulu. Karena itu benar apa yang dinasihatkan oleh Lukmanul Hakim kepada putranya, “Nak, janganlah engkau menunda-nunda tobat karena sungguh kematian itu dating tiba-tiba.” (Al-Baihaqi, Tahdziib az-Zuhd al-Kabiir, hlm. 137).

Karena itulah, kata Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, “Menunda-nunda tobat di usia muda itu sangat buruk. Jauh lebih buruk lagi menunda-nunda tonbat saat usia sudah tua.” (Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaa’if al-Ma’aarif, hlm. 737).

Setelah tobat, berikutnya adalah berusaha selalu taat. Mengapa? Tidak lain karena hanya orang yang taat—dengan melakukan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya—yang pantas masuk surga. Karena itu benar apa yang dinyatakan oleh Malik bin Dinar ra. “Jadikanlah ketaatan kepada Allah sebagai ‘perniagaan (bisnis)’ yang mendatangkan laba/keuntungan (di akhirat kelak) tanpa (harus menjual) barang dagangan.” (Ibnu Hibban, Rawdhah al-‘Uqalaa, hlm. 63).

Banyak bertobat dan selalu berusaha taat kepada Allah SWT itulah ciri orang yang bertakwa. Tinggal bagaimana agar takwa itu selalu dibawa—di manapun, kapan pun dan dalam keadaan bagaimana pun—hingga ajal menjemput setiap manusia.

Semoga saja kita diberi taufik oleh Allah SWT untuk selalu bersungguh-sungguh dan bekerja keras mempersiapkan bekal takwa, demi sebuah perjalanan panjang di akhirat kelak. Sebabnya, hanya dengan bekal takwalah kita akan bisa memasuki surga-Nya.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. [Arief B. Iskandar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × four =

Check Also
Close
Back to top button