Ibrah

Petunjuk Ilahi

ALHAMDULILLAH, di sela-sela menunaikan ibadah umrah beberapa waktu lalu, saya berkesempatan berkunjung ke tempat-tempat bersejarah Islam. Salah satunya adalah Gua Hira.

Sebagaimana diketahui, Gua Hira berada di atas puncak Jabal Nur. Lokasinya terletak sekira 6 kilometer sebelah utara Masjid al-Haram. Jabal Nur memiliki tinggi sekitar 642 meter. Tingkat kemiringannya 60-70 derajat. Cukup curam. Ada kurang-lebih 1000-an anak tangga yang harus dilewati untuk menuju puncak bukit hingga mencapai Gua Hira. Wajar jika waktu tempuh pendakian untuk mencapai Gua Hira bisa 1-2 jam. Cukup melelahkan. Membuat napas acapkali tersengal-sengal.  Menjadikan lutut terasa sakit dan kaki pegal-pegal. Pendakian pun sering terjeda karena seringnya istirahat beberapa jenak di tengah-tengah pendakian. Itulah yang saya rasakan dan mungkin sebagian jamaah yang lain. Terutama yang usia sudah di atas 50 tahun.

Segera saya membayangkan bagaimana dulu Muhammad saw.—sebelum menerima wahyu—berjalan mendaki bukit yang curam itu dengan menapaki bebatuan bercadas. Jika tak hati-hati, kemungkinan terpeleset dan jatuh terpelanting ke bawah cukup besar. Tentu karena saat itu belum dibuatkan anak tangga seperti sekarang, yang jauh lebih memudahkan pendakian.

Yang luar biasa, pendakian bukit yang terjal dan berbahaya tersebut dilakukan oleh Muhammad saw. tak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Bolak-balik naik-turun. Setiap kali beliau sampai di Gua Hira, beliau tinggal di dalamnya beberapa hari, bahkan bisa sampai sebulan, dengan bekal alakadarnya.

Begitulah yang dilakukan Muhammad saw. Tujuannya, sebagaimana disinggung dalam Kitab Ar-Rahiiq Al-Makhtuum karya Syaikh Saifur Rahman al-Mubarakduri, adalah dalam rangka mencari petunjuk Ilahi. Ini karena saat itu Muhammad saw.—sebelum menerima wahyu Allah SWT—mengalami semacam “kegelisahan spiritual”. Pasalnya, beliau menyaksikan kondisi masyarakatnya yang sudah lama dipenuhi dengan kesyirikan dan dekadensi moral. Di antaranya pemujaan terhadap berhala; merebaknya riba,  zina/pelacuran dan perjudian; kebiasaan mengurangi timbangan; bahkan tradisi membunuh bayi-bayi perempuan yang baru dilahirkan.

Karena itu boleh jadi kepergian Muhammad saw. saat itu ke Gua Hira berkali-kali untuk menyepi, berkontemplasi dan mencari petunjuk Ilahi itu dimaksudkan agar beliau tak terbawa arus destruktif masyarakatnya, sekaligus demi mencari solusi bagaimana cara memperbaiki kondisi masyarakatnya yang rusak tersebut.

*****

 

Apa ibrah di balik aktivitas Muhammad saw.—sebelum menerima wahyu Allah SWT—untuk pergi bersusah-payah melakukan pendakian ke Gua Hira?

Pertama: Menunjukkan betapa kerasnya perjuangan Muhammad saw. untuk mencari petunjuk Ilahi di tengah-tengah masyarakatnya yang rusak.

Kedua: Sejak Muhammad saw. menerima wahyu Allah SWT yang pertama kali di Gua Hira (QS al-’Alaq: 1-5), lalu berturut-turut wahyu berikutnya turun kepada beliau selama berangsur-angsur selama 23 tahun di Makkah dan Madinah, maka lengkaplah petunjuk Allah SWT kepada Rasulullah saw.—tentu juga untuk umat beliau—dalam wujud al-Quran yang kita baca hari ini.

Dengan demikian, sebagai umat Rasulullah saw. sebetulnya kita sudah sangat enak. Tak butuh perjuangan keras untuk mencari petunjuk Ilahi sebagaimana beliau dulu. Al-Quran sebagai hud[an] (petunjuk) sudah tersedia di hadapan kita. Tinggal ambil, baca, amalkan isinya, tegakkan semua aturannya dan berlakukan seluruh syariahnya untuk mengatur semua aspek kehidupan kita. Niscaya kehidupan kita  bakal beres, menjadi baik dan pasti mendatangkan keberkahan. Itulah yang namanya rahmat.  Allah SWT berfirman (yang artinya): Sungguh, Kami telah mendatangkan Kitab (al-Quran) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum Mukmin (TQS al-A’raf [7]: 52).

Sayangnya, tak semua orang berpikir demikian. Faktanya, saat ini banyak orang, khususnya umat Islam, malah mencari petunjuk selain al-Quran untuk mengatur kehidupan mereka. Buktinya, hari ini petunjuk Ilahi—yakni al-Quran, juga as-Sunnah—mereka abaikan. Hukum-hukumnya tak ditegakkan. Syariahnya tak diberlakukan untuk mengatur kehidupan. Umat Islam hari ini lebih memilih aturan kehidupannya dari ideologi Kapitalisme maupun Sosialisme. Bukan dari ideologi Islam yang bersumber dari al-Quran.

Di bidang ekonomi, misalnya, jelas mereka lebih memilih sistem ekonomi kapitalis berbasis riba. Bukan sistem ekonomi Islam. Di bidang politik/pemerintahan, mereka lebih memilih sistem demokrasi. Bukan sistem politik/pemerintahan Islam, yakni sistem Khilafah, yang diwariskan Baginda Rasulullah saw.

Demikian pula di bidang pendidikan, sosial, hukum, dll. Mereka lebih memilih sistem pendidikan, sosial, hukum, dll yang sekuler. Bukan pendidikan, sosial, hukum, dll yang berasal dari Islam.

Jika demikian keadaannya, sangat wajar jika Baginda Rasulullah saw.—yang kepada beliaulah al-Quran turun—mengadukan kepada Allah SWT umat beliau yang tega-teganya mencampakkan al-Quran yang beliau bawa. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh al-Quran sendiri (yang artinya): Berkatalah Rasul, “Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikan al-Quran ini suatu yang diabaikan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).

Menurut Imam Ibnu Katsir di antara sikap mengabaikan al-Quran itu—selain jarang membaca dan men-tadabburi-nya—adalah tidak mengamalkan isinya dan tidak mau mengambil hukum-hukum yang ada di dalamnya (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 2/631).

Karena itu sungguh aneh ada manusia  yang sudah diberi petunjuk  (yakni al-Quran) oleh Pencipta mereka untuk mengatur kehidupan mereka, tetapi mereka malah mengambil aturan lain buatan makhluk (ciptaan)-Nya. Yang lebih aneh lagi ada umat Islam yang membenci syariah Islam—yang  berarti membenci al-Quran—untuk diterapkan dalam mengatur kehidupan mereka. Padahal jelas firman Allah SWT dalam al-Quran (yang artinya): Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sungguh bagi dia penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).

Sayangnya, kesempitan hidup sesungguhnya sudah lama kita rasakan. Khususnya di negeri ini. Semua ini adalah akibat kita berpaling dari al-Quran.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. [Arief B. Iskandar]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 + 14 =

Check Also
Close
Back to top button