Bukan Generasi “Ramadhani”
ALHAMDULILLLAH. Ramadhan baru saja berlalu. Puasanya telah selesai kita lakukan. Shalat tarawihnya pun sudah usai kita laksanakan.
Di satu sisi tentu kita bergembira. Di sisi lain kita bersedih. Gembira karena merayakan “Hari Kemenangan”. Idul Fitri. Sedih karena kita meninggalkan Ramadhan sebagai bulan yang penuh dengan keberkahan, ampunan dan rahmat Allah SWT.
Pertanyaannya: Bagaimana agar kegembiraan kita terus berlanjut? Tidak berganti dengan kesedihan? Jawabannya tidak lain dengan melanjutkan ketakwaan kita. Tak hanya selama bulan Ramadhan kita takwa. Takwa harus terus berlanjut pasca Ramadhan, yaitu pada bulan-bulan yang tentu lebih panjang (11 bulan). Bukan malah kembali berkubang dalam dosa.
Puasa Ramadhan sudah seharusnya berbekas dalam diri. Kembali suci saat tiba Idul Fitri. Kembali tunduk dan patuh kepada Ilahi. Bukan kembali mengotori diri dan ingkar kembali.
Sebagian ulama menyebut Hari Raya Idul Fitri sebagai Hari Kemenangan. Menang melawan hawa nafsu. Menang melawan setan. Menang melawan setiap kecenderungan dan perilaku menyimpang. Inilah yang sepantasnya dirayakan oleh orang yang berpuasa.
Karena itu Hari Raya bukanlah diperuntukkan bagi mereka yang memiliki segala hal yang serba baru. Baju baru, perhiasan baru, kendaraan baru, atau rumah baru. Hari Raya hanya layak dipersembahkan kepada mereka yang ketaatannya ‘baru’ (bertambah). Dalam bahasa sebagian ulama dinyatakan:
لَيْسَ الْعَيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُه تَزِيْدُ
Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang ketaatannya bertambah.
Dengan kata lain, pasca puasa seorang Muslim selayaknya menyandang predikat takwa. La’allakum tattaquun (QS al-Baqarah [2]: 183). Tentu bukan takwa yang pura-pura. Sekadar demi citra. Demi meraih tahta dan kuasa. Namun, takwa yang bertambah sempurna. Takwa yang makin paripurna. Takwa yang sebenarnya (haqqa tuqatih) (QS Ali Imran [3]: 102).
Mereka inilah yang layak bergembira di Hari Raya. Demikian sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ulama:
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ تَقْوَاهُ يَزِيْدُ
Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang ketakwaannya bertambah.
Salah satu definisi takwa yang sebenarnya dinyatakan oleh Imam al-Hasan. Kata Imam al-Hasan, sebagaimana dikutip oleh Imam ath-Thabari di dalam tafsirnya, kaum yang bertakwa adalah mereka yang senantiasa takut terjerumus pada apa saja yang telah Allah haramkan atas mereka dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan kepada mereka (Ath-Thabari, Jaami’ al-Bayaan fii Ta’wiil al-Qur’aan, 1/232).
Orang yang bertakwa tentu selalu berhati-hati dalam hidupnya. Sebabnya, ia khawatir bahkan takut akan terjatuh pada segala perkara yang haram. Tentu karena setiap keharaman yang dilakukan pasti menuai dosa. Setiap dosa bakal mengundang ancaman Allah SWT di akhirat berupa azab-Nya. Inilah yang ditakutkan orang yang bertakwa.
Jika pasca puasa Ramadhan rasa takut terhadap ancaman-Nya ini selalu melekat dalam diri seorang Muslim, maka dia layak bergembira di Hari Raya. Sebabnya, sebagaimana kata sebagian ulama:
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ إِنَّماَ الْعِيْدُ لِمَنِ اتَّقَى الْوَعِيْدَ
Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang takut terhadap ancaman-Nya.
Selain itu, orang yang layak bergembira pada Hari Raya sejatinya bukanlah orang yang berpakaian serba halus (mahal seperti sutra), tetapi mereka yang memahami jalan meraih ridha-Nya. Demikian sebagaimana kata sebagian ulama:
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الرَّقِيْقَ إِنَّمَا الْعِيْدُ لِمَنْ عَرَفَ الطَّرِيْقِ
Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan pakaian yang serba halus (mahal). Hari Raya hanyalah untuk orang yang memahami jalan (untuk meraih ridha-Nya).
Satu-satunya jalan untuk meraih ridha-Nya tidak lain adalah takwa. Muslim yang bertakwa tentu Muslim yang senantiasa taat kepada Allah SWT dan menjauhi maksiat kepada-Nya. Saat setiap hari seorang Muslim mampu untuk selalu taat dan menjauhi maksiat, saat itulah hari rayanya yang sesungguhnya. Demikian sebagaimana kata Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullLaah:
كُلُّ يَوْمٍ لاَ يُعْصَى اللهُ فِيْهِ فَهُوَ عِيْدٌ
Setiap hari yang di dalamnya kita tidak bermaksiat kepada Allah, itulah hari raya (Al-Kattaani, Musalsal al-‘Iidayn, hlm. 47).
Karena itu marilah kita berhari raya. Bukan setiap tahun sekali. Pada setiap Idul Fitri. Namun, setiap hari. Tentu saat kita di dalamnya sanggup tak banyak bermaksiat kepada Allah SWT. Karena itu penting kita merenungkan sejenak kata-kata Bisyr al-Hafi rahimahulLaah berikut:
بِئْسَ الْقَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ الله حَقَّا إِلاَّ في شَهْرِ رَمَضَانَ، إِنَّ الصَّالِحَ الَّذِيْ يَتَعَبَّدُ وَيَجْتَهِدُ السَّنَةَ كُلَّهَا
Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal hak Allah, kecuali hanya pada bulan Ramadhan saja. Sungguh seorang yang benar-benar shalih itu adalah orang yang istiqamah beribadah dan bersungguh-sungguh (taat kepada Allah SWT) sepanjang tahun (Ibnu Rajab, Lathaa’if al-Ma’aarif, hlm. 222).
Alhasil, semoga kita tidak sekadar menjadi bagian dari Generasi “Ramadhani”, yakni generasi yang bertakwa hanya saat Bulan Ramadhan saja. Namun, kita benar-benar menjadi bagian dari Generasi “Rabbani”. Itulah generasi yang senantiasa bertakwa kepada Allah SWT sepanjang hayat.
Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. [Arief B. Iskandar]