Soal Jawab

Bagaimana Menanggalkan Pragmatisme Politik di Tubuh Umat Islam?

Soal:

Pragmatisme politik di tubuh umat Islam menyebabkan umat sulit berubah dan bangkit dari keterpurukannya. Bnarkah demikian? Jika benar, lalu bagaimana caranya agar umat ini terlepas dari cara berpikir pragmatis, agar bisa menapaki jalan perubahan, hingga bangkit?

 

Jawab:

Pragmatisme politik adalah sikap politik yang didasarkan pada fakta dan realitas yang ada; mengikuti trend dan realitas kekinian dan kedisinian. Fakta dan realitas kekinian dan kedisinian itulah yang membentuk sikap. Bukan sebaliknya, bagaimana fakta dan realitas kekinian dan kedisinian itu diubah. Sikap pragmatis inilah yang membentuk pragmatisme politik di tubuh umat Islam saat ini.

Pertanyaannya, mengapa umat Islam hari ini bersikap pragmatis? Jawabannya, karena benak umat ini sekian lama kosong dari pemikiran Islam, asas dan metode berpikir Islam yang produktif. Akibatnya, mereka tidak tahu bagaimana cara merespon fakta demi fakta yang datang silih berganti  di dalam hidupnya. Karena itu solusinya, kata al-‘Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rahimahulLaah, adalah dengan menjaga pemikiran ini, asas dan metode berpikirnya yang produktif.1

Beliau menyatakan, “Umat Islam ini telah melalui fase saat metode berpikir produktifnya benar-benar berada di titik terlemah hingga nyaris hilang. Namun, alhamdulillah, umat telah melewati fakta ini selama beberapa tahun silam. Ini adalah buah dari dakwah Islam untuk mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah mereka, dengan menegakkan Khilafah Rasyidah. Umat ini mulai kembali pada Islam serta dan kembali meyakini pemikiran Islam dan hukum-hukumnya.”2 

Pertanyaan berikutnya, bukankah banyak orang yang tampak mempunyai pemikiran Islam, asas dan metode berpikir Islam, tetapi nyatanya bersikap pragmatis juga? Bahkan tidak sedikit mereka justru menggunakan ilmunya untuk menjustifikasi kondisi yang rusak, agar bisa diterima oleh umat? Di sini ada dua hal yang harus dijawab.

Pertama: Masalah kekosongan pemikiran Islam, asas dan metode berpikirnya itu pertama-tama harus diselesaikan. Caranya: pemikiran Islam, asas dan metode berpikirnya itu harus di-install terlebih dulu ke dalam benak umat. Hanya saja, meng-install pemikiran Islam, asas dan metode berpikirnya itu tidak semudah meng-install program yang ada pada benda mati. Namun, prosesnya hampir sama, yaitu pemikiran lama yang rusak harus dihapus, lalu diganti dengan pemikiran yang baru. Caranya dengan dakwah. Dakwahnya dengan edukasi. Mengedukasi pemikiran. Inilah yang dinyatakan dalam al-Quran:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ ١٢٥

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik (QS an-Nahl [16]: 125).

 

Mengajak manusia ke jalan Tuhan dengan hikmah, yakni dengan menggunakan argumentasi yang logis. Bisa dicerna dan dinalar oleh akal sehat. Dengan itu pemikiran yang didakwahkan bisa diterima dengan sukarela. Begitu juga konotasi, “Maw’izhah Hasanah” adalah menyeru pemikiran orang yang didakwahi, dengan mempengaruhi perasaannya, atau menyeru perasaannya dengan mempengaruhi pemikirannya. Adapun “Jadilhum billati Hiya Ahsan” artinya meruntuhkan semua pemikiran yang rusak, kemudian diganti dengan pemikiran yang baik dan benar.

Kedua: Pemikiran apa yang harus di-install-kan ke dalam benak umat agar tidak pragmatis? Jawabannya: pemikiran ideologis. Pemikiran ideologis itu adalah pemikiran yang paling mendasar, yang tidak dibangun dari pemikiran yang lain. Pemikiran ini tak lain adalah akidah, yaitu pemikiran yang menyeluruh: tentang alam, manusia dan kehidupan; tentang apa yang ada sebelum semuanya itu ada, yaitu adanya Allah sebagai Tuhan Yang Maha Pencipta dan Pengatur semuanya; tentang apa yang ada setelah semuanya itu, yaitu Hari Kiamat; dan tentang hubungan antara alam, manusia dan kehidupan, dengan Allah dan Hari Kiamat, yaitu adanya syariah dan hisab (proses akuntabilitas).

Dengan kata lain, pemikiran yang pertama-tama harus di-install ke dalam tubuh umat Islam ini adalah pemikiran tentang ‘Uqdah Kubra (masalah terbesar) dalam hidup mereka, yang merupakan jawaban dari tiga pertanyaan: Dari mana? Untuk apa? Mau ke mana? Setelah pemikiran ideologis ini berhasil di-install, maka pemikiran derivatifnya juga bisa dengan mudah di-install ke dalam tubuhnya. Pertama, akidah Islam, dengan seluruh rukun iman dan cabangnya (‘aqiidah wa tafshiilatihaa). Kedua, syariah yang merupakan solusi dari seluruh problem manusia (mu’aalajah li masyaakil al-insaan). Inilah yang oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani Rahimahu-Llah, disebut Fikrah.3

Selain Fikrah, ada pemikiran yang tak kalah pentingnya untuk di-install di dalam tubuh umat, agar umat ini tidak berpikir pragmatis, yaitu jenis pemikiran yang terkait dengan Thariiqah (metode). Baik yang terkait dengan metode untuk menerapkan Fikrah, mempertahankan maupun mengemban Fikrah kepada bangsa dan umat lain. Jenis pemikiran ini sama pentingnya dengan jenis pemikiran yang pertama. Justru karena umat tidak mempunyai pemikiran jenis kedua ini, akibatnya mereka tidak tahu, bagaimana caranya menerapkan, mempertahankan dan mengemban Fikrah-nya kepada bangsa dan umat lain.4

Kedua pemikiran ini, Fikrah dan Thariiqah ini, merupakan bagian dari pemikiran ideologis yang harus di-install ke dalam tubuh umat ini, agar isi kepalanya tidak diisi dengan pemikiran lain. Dua-duanya sudah dijelaskan oleh nas dengan terang benderang. Allah SWT berfirman:

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ  ١٠٨

Katakanlah, “Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah. Aku tidak termasuk bagian dari kaum musyrik.” (QS Yusuf [12]: 108).

 

Mengajak kepada Allah ‘ala Bashiirah maksudnya adalah  mengajak pada sesuatu yang terang-benderang. Tidak ada yang kabur, apalagi tidak jelas, baik Fikrah maupun Thariiqah-nya. Ini karena memang Islam semuanya sudah jelas, terang-benderang. Inilah yang juga dinyatakan oleh Nabi saw.:

تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلِهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا بَعْدِيْ إِلاَّ هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اِخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِيْنَ

Aku telah meninggalkan kalian dalam keadaan yang terang-benderang. Malamnya sama dengan siangnya. Tidak akan tersesat darinya, setelahku, kecuali orang yang celaka. Siapa saja di antara kalian yang masih hidup, lalu melihat banyak sekali perselisihan, maka kalian wajib memegang teguh apa yang telah kalian ketahui, yaitu tuntunanku dan tuntunan para Khalifah Rasyidin yang mendapatkan petunjuk (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).

 

Ketiga: Harus ada jamaah, kelompok atau partai politik yang terus-menerus mengedukasi umat Islam dengan berbagai pemikiran Islam ideologis di atas. Termasuk terus-menerus membangun keyakinan terhadap ideologi Islam. Pada saat yang sama, mereka harus melakukan counter-attack (serangan balik) terhadap semua bentuk pemikiran yang rusak, yang telah mengakar dan bercokol di tengah-tengah umat seperti Nasionalisme, Sekularisme, Demokrasi, Kapitalisme, Sosialisme, dan pemikiran merusak yang lainnya. Pemikiran-pemikiran ini harus dibersihkan dari tubuh umat.

Jika ada jamaah, kelompok atau partai politik yang bergerak di tengah-tengah umat melakukan edukasi kepada mereka dengan berbagai pemikiran Islam, asas dan metodenya, termasuk pemikiran ideologis, maka persoalan berikutnya adalah bagaimana caranya meningkatkan level berpikir umat, agar mereka mempunyai pemikiran yang tinggi dan cemerlang?

‘Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani rahimahulLaah dalam kitab At-Tafkiir menjelaskan bahwa mustahil mengikis cara berpikir umat yang rendah (sathhi). Yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan pemikiran yang tinggi dan cemerlang secara terus-menerus sehingga mereka terbiasa dengan pemikiran yang tinggi dan cemerlang itu. Karena itu para pengemban dakwah tidak boleh menurunkan level pemikiran yang hendak disampaikan kepada umat agar bisa diterima. Sebaliknya, mereka harus tetap mempertahankan level pemikiran yang hendak disampaikan kepada umat dan menuntun mereka agar bisa memahami dan menjangkau pemikiran tersebut. Itulah satu-satunya cara agar pemikiran umat ini menjadi tinggi dan cemerlang.5

Dengan begitu, umat ini akan mempunyai sikap yang tidak lagi pragmatis dalam hidup mereka, baik dalam aspek politik, maupun yang lain. Sebaliknya, sikap dan tindakan mereka akan tampak idealis, tinggi dan cemerlang. Inilah proses pemberdayaan umat, yang dilakukan melalui proses edukasi oleh kekuatan politik yang bergerak di tengah-tengah umat secara terus-menerus.

WalLaahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Iqtishadi fi al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, Cet. VI (Thab’ah Mu’tamadah), 1425 H/2004 M, h. 13.

2        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nidzam al-Iqtishadi, h. 14.

3        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nidzam al-Islam, Dar al-Ummah, Beirut, Cet. VI (Thab’ah Mu’tamadah), 1422 H/2001 M, h. 26.

4        Jenis pemikiran ideologis yang berbentuk Fikrah, meliputi akidah, yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat, Qadha’ dan Qadar, dan lain-lain. Selain akidah, jenis pemikiran ideologis yang berbentuk Fikrah juga meliputi mu’alajah masyakil al-insan (solusi atas berbagai problem kehidupan manusia), seperti sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik luar negeri. Adapun jenis pemikiran ideologis yang berbentuk Thariqah ini, ada yang terkait dengan metode untuk menerapkan Fikrah, yaitu Khilafah; metode mempertahankan Fikrah, yaitu sistem sanksi hukum (uqubat), dan Khilafah; juga metode untuk mengemban Fikrah kepada bangsa dan umat lain, yaitu dakwah, jihad dan Khilafah. Lihat, Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam Politik dan Spiritual, Al-Azhar Press, Bogor.

5        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, At-Tafkir, Dar al-Ummah, Beirut, Cet. I, 1394 H/1973 M, h. 108-109.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − 10 =

Back to top button