Ibrah

Keutamaan Jihad

DI antara amal utama dalam Islam adalah jihad. Bahkan jihad dinilai sebagai puncak amal. Tidak aneh jika generasi Sahabat dan generasi setelah mereka sangat berambisi dan amat antusias untuk meraih syahid di medan jihad fi abilillah.

Para ulama mendefinisikan jihad secara syar‘i dengan al-qitâl (perang), yakni perang dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Bahkan itulah yang disebut dengan jihad yang sebenarnya (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/153).

Jihad adalah perintah Allah SWT (Lihat: QS at-Taubah [9]: 29; QS al-Anfal [8]: 39). Rasul saw. juga pernah bersabda, “Siapa saja yang berperang dengan tujuan menjadikan kalimat Allah menjadi yang paling tinggi, maka ia berada di jalan Allah.” (HR al-Bukhari).

Beliau pun bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengatakan Lâ Ilâha illa Allâh Muhammad Rasûlullâh (Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kewajiban jihad (perang) ini telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran di dalam banyak ayatnya (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ 4]: 95); QS at-Taubah [9]: 41; 86, 87, 88; QS ash-Shaf [61]: 4).

Bahkan jihad (perang) di jalan Allah merupakan amalan utama dan agung yang pelakunya akan meraih surga dan kenikmatan yang abadi di akhirat (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ [4]: 95; QS an-Nisa’ [4]: 95; QS at-Taubah [9]: 111; QS al-Anfal [8]: 74; QS al-Maidah [5]: 35; QS al-Hujurat [49]: 15; QS as-Shaff [61]: 11-12).

Sebaliknya, Allah SWT telah mencela dan mengancam orang-orang yang enggan berjihad (berperang) di jalan Allah (Lihat, misalnya: QS at-Taubah [9]: 38-39; QS al-Anfal [8]: 15-16; QS at-Taubah [9]: 24).

Jihad dalam pengertian perang (al-qitâl) terdiri dari dua macam: (1) Jihad defensif (difâ‘i); (2) Jihad ofensif (hujûmi).

Pertama: Jihad defensif, yakni perang untuk mempertahankan/membela diri. Jihad ini dilakukan manakala kaum Muslim atau negeri mereka diserang oleh orang-orang atau negara kafir. Contohnya adalah dalam kasus kasus Palestina yang dijajah Israel. Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT telah mewajibkan kaum Muslim untuk membalas tindakan penyerang dan mengusirnya dari tanah kaum Muslim (Lihat, antara lain: QS al-Baqarah 190).

Jihad defensif ini juga dilakukan manakala ada sekelompok komunitas Muslim yang diperangi oleh orang-orang atau negara kafir. Kaum Muslim wajib menolong mereka. Sebabnya, kaum Muslim itu bersaudara, laksana satu tubuh. Karena itu serangan atas sebagian kaum Muslim pada hakikatnya merupakan serangan terhadap seluruh kaum Muslim di seluruh dunia. Karena itu pula, upaya membela kaum Muslim di Afganistan, Irak, atau Palestina, misalnya, merupakan kewajiban kaum Muslim di seluruh dunia (Lihat, antara lain: QS al-Anfal [8]: 72).

Kedua: Jihad ofensif, yakni memulai perang. Jihad ini dilakukan manakala dakwah Islam yang dilakukan oleh Daulah Islam (Khilafah) dihadang oleh penguasa kafir dengan kekuatan fisik mereka. Dakwah adalah seruan pemikiran, non-fisik. Manakala dihalangi secara fisik, wajib kaum Muslim berjihad untuk melindungi dakwah dan menghilangkan halangan-halangan fisik yang ada di hadapannya. Inilah pula yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat setelah mereka berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka tidak pernah berhenti berjihad (berperang) dalam rangka menghilangkan halangan-halangan fisik demi penyebarluasan dakwah Islam dan demi penegakan kalimat-kalimat Allah SWT.

Dengan jihad ofensif itulah Islam tersebar ke seluruh dunia dan wilayah kekuasaan Islam pun semakin meluas, menguasai berbagai belahan dunia. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah. Bahkan jihad (perang) merupakan metode Islam dalam penyebaran dakwah Islam oleh negara (Daulah Islam). Rasulullah saw. bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu keliru jika ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa jihad di dalam Islam adalah perang defensif (untuk mempertahankan/membela diri), bukan perang ofensif (memulai peperangan).

Pendapat tersebut keliru karena beberapa sebab berikut: Pertama, dalil tentang jihad, seperti apa yang telah diuraikan, merupakan dalil yang berbentuk umum dan mutlak, mencakup perang defensif maupun perang ofensif, yakni memulai perang terhadap musuh. Oleh karena itu, pengkhususan dan pembatasannya hanya sebatas perang defensif membutuhkan nas yang men-takhsîs-nya (mengkhususkan)-nya ataupun membatasinya. Dalam hal ini, tidak ada nas yang mengkhususkan ataupun membatasinya, baik dalam al-Quran maupun as-Sunnah.

Kedua, selain nas-nas yang telah dipaparkan sebelumnya, yang menunjukkan jihad sebagai perang ofensif, terdapat juga nas-nas yang menunjukkan makna yang sama, terutama ayat-ayat yang ada dalam QS at-Taubah. Sebabnya, surat ini termasuk surat-surat al-Quran yang terakhir turun berkaitan dengan tema jihad sehingga tidak ada tempat lagi bagi suara-suara yang mengatakan perihal takhsîs (pengkhususan), taqyîd (pembatasan) ataupun naskh (penghapusan)-nya. Contohnya dapat ditemukan dalam QS at-Taubah [9]: 29; QS at-Taubah [9]: 73; QS at-Taubah [9]: 123.

Ayat-ayat ini datang dengan seruan perang dalam bentuk yang umum dan mutlak. Artinya, ia mencakup perang defensif maupun perang ofensif. Karena ayat-ayat ini turun paling akhir, jelas ia tidak bisa di-takhshîsh, di-taqyîd, ataupun di-naskh oleh ayat-ayat mengenai jihad defensif—sebagaimana yang disebutkan di atas—yang turun lebih awal. (Lihat: Muhammad as-Suwaiki, Al-Khalâsh wa Ikhtilâf an-Nâs, hlm. 200).

Saat ini, terutama di negeri ini, kaum Muslim memang belum memiliki kesempatan untuk melakukan perang (jihad) fi sabilillah. Baik jihad defensive maupun jihad ofensif. Namun demikian, ada amalan yang bukan jihad, tetapi pahalanya setara dengan pahala jihad. Rasulullah saw., misalnya, bersabda, “Jihad yang paling utama adalah ucapan yang haq di hadapan penguasa yang lalim.” (HR at-Tirmidzi).

Beliau pun bersabda, “Ibadah haji merupakan jihad bagi mereka yang lemah.” (HR Ibn Majah dan Ahmad).

Rasul saw. juga pernah bersabda, “Yang bernama mujahid adalah mereka yang memerangi dirinya.” (HR at-Tirmidzi).

Semoga kita pada saatnya bisa meraih keutamaan jihad sekaligus meraih pahala yang setara dengan pahala jihad.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. [Arief B. Iskandar]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − 2 =

Check Also
Close
Back to top button