Catatan Dakwah

Pindah Kubu

Pindah kubu. Inilah fenomena yang tampaknya akan makin banyak menghiasi layar politik di negeri kita ini. Apalagi jelang Pilpres. Dulu di kubu A, lawan kubu B. Sekarang berbalik. Ada di kubu B. Menjadi lawan kubu A yang dulu menjadi kawannya. Fenomena pindah-pindah kubu seakan membenarkan adagium dalam politik pragmatis: Tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang ada adalah kepentingan sendiri.

Fenomena pindah kubu juga seakan membenarkan kecenderungan para politisi menghalalkan segala cara dalam meraih tujuan. Mereka acap disebut politisi machiavelis. Dambil dari nama Niccolo Machiavelli. Dalam wacana politik, Machiavelli adalah orang paling banyak dikecam, tetapi sekaligus anjurannya paling banyak diikuti.

Machiavellilah, melalui bukunya yang terkenal Il Principe (The Prince – Sang Pangeran), yang pertama kali mendiskusikan fenomena sosial-politik tanpa merujuk pada sumber-sumber etis ataupun hukum. Inilah pendekatan pertama yang bersifat murni saintifik terhadap politik. Bagi Machiavelli, politik hanya berkaitan dengan satu hal: bagaimana memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik, menurut dia, tidaklah memiliki hubungan mendasar dengan politik. Agama dan moral hanya digunakan secara pragmatis untuk mendapat dan mempertahankan kekuasaan itu.

Dalam bukunya itu, Machiavelli menguraikan tindakan yang perlu dilakukan seseorang untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Isu utama dalam buku ini adalah bahwa semua cara bisa dilakukan untuk membangun dan melestarikan kekuasaan. Penolakan Machiavelli terhadap etika dalam politik mengakibatkan dirinya disebut anti-Kristus. Karena itu nama Machiavelli kemudian diasosiasikan dengan hal yang buruk: anjuran menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Orang yang tepat untuk memegang kekuasaan, menurut Machiavelli, adalah seseorang yang dapat melakukan berbagai tindakan dari yang baik hingga yang buruk. Bahkan Leo Strauss (1957) menyatakan Machiavelli adalah pengajar kejahatan atau immoralism dan amoralism. Sebabnya Machiavelli menghindar dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan serta cinta. Dia lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan dan penindasan.

*****

Pindah kubu dan penghalalan segala cara bukanlah fenomena baru. Itu juga terjadi pada masa Nabi 14 abad silam. Diceritakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, pada siang hari yang terik, Rasulullah saw. mengabarkan, “Sungguh di antara kalian ada seseorang laki-laki yang kelak gigi gerahamnya di neraka lebih besar dari Gunung Uhud.”

Semua Sahabat yang hadir dalam majelis kemudian diliputi kecemasan dari hari ke hari. Lalu syahidlah mereka satu persatu. Akhirnya, tinggal dua orang tersisa. Ar-Rajjal bin Unfuwah dan Abu Hurairah ra.

Waktu terus berjalan. Abu Hurairah ra. begitu ketakutan. Semua Sahabat yang pernah hadir pada majelis itu sudah wafat dalam keadaan husnul khâtimah. Abu Hurairah khawatir jika sampai dia menjadi orang yang dikabarkan oleh Rasulullah saw. tersebut.

Kemudian tibalah masa pemerintahan Khalifah Abubakar ra. Saat itu muncul nabi palsu bernama Musailamah. Dia kemudian diberi gelar sebagai al-Kadzdzâb (Sang Pendusta). Keberadaannya makin hari makin mengkhawatirkan karena pengikutnya kian hari kian bertambah banyak. Mereka punya “al-Quran baru”, membawa “Islam baru”. Dipimpin oleh seorang nabi palsu. Sebab itulah Khalifah Abu Bakar ra. memerangi mereka habis-habisan.

Ar-Rajjal bin Unfuwah adalah sahabat yang hapal al-Quran. Hidup dan berjuang bersama Rasulullah saw. Sudah beberapa kali diutus untuk mendakwahkan Islam di berbagai daerah. Akhirnya, dia meminta kepada Khalifah Abubakar agar dia dikirim untuk menemui dan mendakwahi Musailamah. Khalifah pun memberikan ijin. Berangkatlah Ar-Rajjal menemui nabi palsu ini.

Lalu apa yang kemudian terjadi? Alih-alih mendakwahi Musailamah, Ar-Rajjal justru menjadi bimbang. Dia melihat jumlah pengikut Musailamah sangat banyak. Di sana dia mendapat tawaran menggiurkan disertai argumen Musailamah yang dirasa masuk akal. Ar-Rajjal goyah. Akhirnya, dia mengkhianati kepercayaan Khalifah. Dia membelot. Mulai saat itu Ar-Rajjal berpindah kubu. Menjadi pengikut Musailamah al-Kadzdzâb.

Bergabungnya Ar-Rajjal semakin memberikan semangat kepada pasukan nabi palsu itu. Mereka semakin mantap. Lihatlah, Ar-Rajjal, sahabat Nabi saw., hafizh Quran dan pernah berjuang bersama beliau pun sekarang berada di barisan Musailamah. Pengikut Musailamah semakin banyak dan rasa percaya diri mereka semakin meninggi. Mereka seakan mendapatkan angin segar dengan bergabungnya seorang tokoh utama dari kalangan sahabat.

Di sisi lain, Abu Hurairah merasa lega. Sebabnya, sekarang sudah jelas siapa yang dimaksud oleh Rasulullah saw. yang gigi gerahamnya di neraka sebesar Gunung Uhud. Umat Islam pada waktu itu juga semakin bersemangat. Mereka makin yakin bahwa mereka di kubu yang benar berdasarkan hadis yang dibawa dari Abu Hurairah tadi.

Semakin panaslah suasana antara dua kubu: kubu kebenaran dan kubu kebatilan. Masing-masing memiliki kekuatan yang besar. Namun, tentu umat Islam memiliki kekuatan yang jauh lebih besar yang tidak dimiliki oleh pasukan Musailamah, yakni pertolongan dari Allah Yang Mahakuat.

Sungguh fitnah Ar-Rajjal lebih besar daripada fitnah yang ditimbulkan oleh Musailimah.” Ini diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari gurunya, dari Abu Hurairah. Perkataan Abu Hurairah yang mengatakan bahwa fitnah Ar-Rajjal bin Unfuwah lebih besar daripada Musailamah ini disebabkan oleh akibat yang ditimbulkan sangatlah besar. Mengapa? Karena sejak Ar-Rajjal bin Unfuwah membela Musailamah, pengikut nabi palsu ini semakin yakin kepada Musailamah dan semakin bertambah banyak jumlahnya. Di sinilah fitnah terbesarnya itu.

Akhirnya, ketika perang berkecamuk antara pasukan kaum Muslim dan pasukan Musailamah, Ar-Rajjal berhasil dibunuh oleh Zaid bin al-Khaththab ra. (kakak tertua Umar bin al-Khaththab ra.).

*****

Begitulah. Dalam perjuangan selalu saja ada hal-hal yang tidak terduga terjadi. Ada masanya kita berjuang bersama sahabat kita, namun di kemudian hari ia berpindah kubu dan menjelma menjadi lawan yang sangat nyata. Tidak usah risau jika sahabat juang kita berpindah kubu. Pasti Allah SWT akan selalu menghadirkan kepada kita sahabat juang yang baru.

Karena itu, dalam berjuang kita harus menyadari dan meyakini betul, untuk apa dan dengan landasan apa kita berjuang. Dari sekian ragam perjuangan, tetap saja pilihannya tinggal hanya ada dua: lilLâh (demi Allah) dan li ghayrilLâh (untuk selain Allah). Yakinkan diri, bahwa kita memang benar-benar berjuang lilLâh, bukan li ghayrilLâh. Bila kita sudah yakin bahwa perjuangan ini lilLâh, mengapa pula kemudian harus menggunakan cara-cara Machiavellis, apalagi sampai pindah ke kubu li ghayrilLâh? Enggaklah…

Alhasil, Politisasi Islam No, Islamisasi Politik Yes! [H.M. Ismail Yusanto]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

11 − six =

Check Also
Close
Back to top button