Hijrah Nabi saw. Bermotif Politik
Hijrah pertama terjadi pada bulan Rajab tahun kelima kenabian saat tekanan dan persekusi terhadap para sahabat kian menjadi-jadi. Ketika Rasulullah saw. tidak sanggup melindungi para sahabat yang teraniaya, beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya:
لَوْ خَرَجْتُمْ إلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ فَإِنَّ بِهَا مَلِكًا لَا يُظْلَمُ عِنْدَهُ أَحَدٌ وَهِيَ أَرْضُ صِدْقٍ, حَتَّى يَجْعَلَ اللَّهُ لَكُمْ فَرَجًا مِمَّا أَنْتُمْ فِيهِ
Kalau kalian pergi ke Habasyah, sungguh di sana ada seorang raja yang tidak menzalimi seorang pun. Habasyah adalah bumi kejujuran, hingga Allah memberikan kelapangan kepada kalian.1
Lalu berangkatlah 16 orang sahabat. Mereka hijrah untuk menghindari siksaan. Lari kepada Allah dengan membawa agama mereka.
Begitu juga dengan hijrah periode kedua. Dilakukan oleh sejumlah sahabat. Terdiri dari 83 lelaki dan 18 perempuan. Mereka menuju ke Habasyah.2 Juga dilakukan dalam rangka menjaga diri dan agama mereka.
Berbeda dengan itu, hijrah Nabi saw. dan para sahabat dari Makkah ke Madinah bukan sekadar untuk menyelamatkan diri dari ancaman pembunuhan. Tujuannya adalah untuk menerapkan Islam secara menyeluruh (kâffah), melalui Daulah Islam.
Hijrah Bukan Pelarian
Hijrah Nabi saw. dari Makkah ke Yatsrib (Madinah) bukanlah karena kegagalan dakwah. Bukan pula pengusiran atau makar pembunuhan yang membuat beliau ingin melarikan diri. Hijrah adalah pengorbanan yang besar dengan meninggalkan rumah, harta, kerabat dan negeri kelahiran. Pengorbanan seperti ini tidak akan sanggup dilakukan kecuali oleh orang-orang yang berjiwa besar. Yang lebih mengedepankan perjuangan daripada kenikmatan duniawi.
Hijrah Nabi saw. merupakan perintah Allah SWT. Jika Allah tidak mengizinkan, tentu beliau tidak akan meninggalkan Makkah. Ketika wahyu turun terkait hijrah ke Madinah, Rasulullah berkata kepada kaum Muslim:
أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ
Telah diperlihatkan kepadaku negeri untuk kalian berhijrah, yang memiliki banyak pohon kurma, yang terletak di antara lâbatayn.3
Lâbatayn adalah sebutan untuk dua Harrah, suatu daerah di luar Kota Madinah.
Setelah itu kaum Muslim mulai berhijrah. Nabi saw. sendiri tidak segera berhijrah. Andai memang sekadar ingin melarikan diri, tentu beliau akan lebih awal berangkat ke Madinah. Ketika sebagian besar kaum Muslim sudah hijrah, dan beliau mendapat wahyu untuk berangkat, barulah beliau berkata kepada Abu Bakar ra. sembari mengajak dia untuk berangkat, “Sungguh aku telah diizinkan untuk keluar Kota Makkah.” 4
Hijrah juga merupakan sunnatullah yang terjadi pada sebagian besar para nabi. Nuh, Ibrahim, Luth, Hud, Musa, Yunus dan Isa ‘alaihimussalâm juga meninggalkan negeri asalnya. Bukan karena lari dari amanah dakwah, namun justru dalam rangka dakwah.
Hijrah Nabi saw.: Penegakan Daulah Islam
Hijrah Rasulullah termasuk bagian dari upaya untuk mengokohkan dakwah. Meninggalkan negeri kufur dan berpindah ke masyarakat yang telah siap untuk penerapan Islam dengan tegaknya Daulah Islam di sana. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa hal. Pertama: Dakwah Rasulullah tidak sebatas mengajak masyarakat untuk beriman dan berperilaku baik saja. Beliau juga meminta nushrah dan kekuasaan untuk melindungi dakwah. Dengan itu Islam bisa ditegakkan dengan sempurna dan menyeluruh.
Pasca Khadijah ra. dan Abu Thalib wafat, Allah SWT memerintahkan beliau untuk menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah Arab. Beliau lalu keluar bersama Ali dan Abu Bakar ra. untuk melobi majelis-majelis orang Arab. Kepada para pembesar kabilah, beliau mengatakan:
لاَ أكره أحدًا مِنْكُمْ عَلَى شَيْءٍ, مَنْ رَضِيَ مِنْكُمْ بِالَّذِي أَدْعُوْهُ إِلَيْهِ فَذَلِكَ, وَمَنْ كَرِهَ لَمْ أُكْرِهْهُ, إِنَّمَا أُرِيْدُ أَنْ تحرزوني فِيْمَا يُرَاد لِي مِنَ الْقَتْلِ حَتَّى أُبَلِّغُ رِسَالَتَ رَبِّي وَحَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِي وَلِمَنْ صَحِبَنِي بِمَا شَاءَ
“Aku tidak memaksa seorang pun atas sesuatu. Siapa saja yang senang dengan apa yang kuserukan maka demikianlah selayaknya. Siapa saja yang tidak suka, aku tidak memaksa. Aku menginginkan kalian melindungiku dari orang-orang yang ingin memerangiku agar aku bisa menyampaikan risalah Tuhanku, hingga Allah memberikan keputusan untukku dan sahabat-sahabatku dengan apa yang Dia kehendaki.”5
Sebagian besar mereka langsung menolak tawaran Rasulullah saw. Ada pula yang mencari keuntungan seperti Bani ‘Amr bin Sha’sha’ah yang menginginkan agar merekalah yang berkuasa setelah Nabi saw.. Dengan tegas beliau menjawab keinginan mereka:
اَلْأَمْرُ إِلَى اللَّهِ يَضَعُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
“Perkara (kekuasaan) itu (urusannya) kembali kepada Allah, Dia meletakkan kekuasaan itu kepada siapa yang Dia kehendaki.”6
Akhirnya, mereka pun menolak tawaran Nabi saw. Meski mendapat penolakan yang buruk, beliau tetap mencari dan tidak berhenti untuk mencari kabilah yang mau menjadikan kekuasaan mereka untuk melindungi dakwah. Tak kurang dari 15 kabilah/marga yang beliau lobi. Semua berakhir dengan penolakan.7
Jika saja yang beliau inginkan hanya sekadar agar mereka masuk Islam, tidak terkait dengan kekuasaan dan pemerintahan, tentu tidak masalah beliau menerima keinginan Bani Amir tersebut.
Kedua: Hijrah terjadi setelah masyarakat yang ditujua menerima kepemimpinan Rasulullah saw. Kekuasaan yang beliau kehendaki adalah kekuasaan dalam rangka melindungi dan menegakkan Islam. Oleh karena itu beliau menolak setiap syarat yang bertentangan dengan Islam. Hal ini tergambar dari jawaban As’ad bin Zurarah, yang bertindak sebagai pemimpin Suku Khazraj, “Engkau telah meminta kepada kami (untuk menyerahkan kekuasaan kami dalam rangka melindungi dan menegakkan Islam). Kami adalah suatu kelompok masyarakat yang hidup di negeri yang mulia dan kuat. Tidak ada seorang pun dari mereka rela dipimpin oleh orang dari luar suku kami. Yang telah diasingkan kaumnya dan paman-pamannya tidak memberikan perlindungan kepada dia. (Terus terang) permintaan tersebut adalah suatu hal yang sukar sekali. (Namun) kami (telah bersepakat untuk) memenuhi permintaanmu itu…”8
Jawaban ini menunjukkan bahwa mereka paham apa yang diminta Rasulullah saw., yakni bukan sekadar agar mereka masuk Islam, namun menuntut agar kepemimpinan dan kekuasaan mereka diberikan untuk Islam. Ini bisa difahami dari ungkapan, “…Tidak ada seorangpun dari mereka rela dipimpin oleh orang dari luar suku kami…”
Ini menggambarkan bahwa tradisi mereka memang tidak ingin dipimpin oleh orang lain suku. Akan tetapi, jika dipimpin oleh Nabi saw., mereka mau. Karena itu mereka siap memberikan kepemimpinan dan kekuasaannya kepada Nabi saw.
Ketiga: Ikrar (baiat) Aqabah II tidak terjadi kecuali setelah mereka siap dengan segala konsekuensi yang akan mereka hadapi saat kekuasaan dan kekuatan mereka digunakan untuk melindungi dan menjaga Islam.
Sebelum Baiat terjadi, ‘Abbas bin ‘Ubadah bin Nadhlah ra. memastikan kesiapan orang-orang Anshar dengan berkata: “… Jika kalian merasa bahwa jika harta benda kalian habis binasa dan pemuka masyarakat kalian terbunuh akan menyebabkan kalian menyerahkan dia/Muhammad (kepada musuh), maka (lebih baik) dari sekarang tinggalkan saja dia. Karena jika itu yang kalian lakukan, ini adalah suatu kehinaan dunia-akhirat. Sebaliknya, jika kalian merasa dapat menepati janji seperti yang kalian berikan kepada dia itu, sekalipun harta-benda kalian akan habis dan pemuka masyarakat kalian akan terbunuh, maka silakan saja kalian terima dia. Demi Allah, itulah sebaik-baik dunia dan akhirat.”
Mereka menjawab sekaligus bertanya, “Akan kami lakukan Ikrar tersebut sekalipun konsekuensinya adalah musibah harta dan para pemuka masyarakat terbunuh. Lalu apakah balasan bagi kami, wahai Rasulullah, jika kami menepati semua ini?”
Beliau menjawab, “Surga.” Lalu beliau diminta mengulurkan tangan beliau dan mereka membaiat beliau.9
Keempat: Orang-orang Quraisy sebenarnya mentoleransi banyaknya agama dan kebebasan berkeyakinan. Asalkan tidak mengarah pada kekuasaan (negara) yang akan menggerogoti rezim saat itu. Waraqah bin Naufal bisa hidup tenang di tengah Quraisy sebagai ahlul kitab. Muhammad saw., walaupun mereka tahu bahwa beliau tidak pernah mau bersujud kepada berhala, selama empat puluh tahun bisa hidup dengan tenang. Mereka memposisikan beliau sebagai orang terpercaya (al-Amîn). Bahkan mereka menjadikan beliau hakim untuk memutus perkara yang mereka perselisihkan. Mereka pun bisa mentoleransi ibadah kaum Muslim jika dilakukan diam-diam. Demikian sebagaimana kasus Abu Bakar ra. dan Ibnu Daghannah ra. Namun, mereka secara keras menghalangi dakwah Rasulullah saw. ketika mereka paham bahwa beliau akan membentuk kekuasaan dalam rangka menerapkan Islam.
Dr. Imaduddin Khalil menyatakan bahwa Islam datang untuk diwujudkan dalam tiga cakupan yang saling terkait: manusia, negara dan peradaban (hadhârah). Cakupan sebagai manusia (individual) telah tersampaikan di Makkah. Adapun terkait siyâsah (politik), sosial kemasyarakatan dan perekonomian tidak bisa terwujudkan tanpa negara (dawlah). Karena itulah Rasulullah saw. berjuang dalam rangka hijrah setelah memahami bahwa Makkah tidak layak dijadikan sebuah daulah.10
Pada akhir Rasul saw. mendapat nushrah (pertolongan) dari penduduk Madinah. Itu terjadi setelah Baiat Aqabah II. Baiat ini dikenal sebagai baiat atas pemerintahan. Sejak itu Madinah menjadi Dâr al-Islam secara de jure. Setelah itu barulah hijrah ke Madinah dilakukan. Ini jelas berbeda dengan hijrah ke Habasyah sebelumnya.
Saat menyuruh para sahabat hijrah ke Habasyah, beliau berkata, “Sungguh di sana (Habasyah) ada seorang raja yang tidak menzalimi seorang pun.” 11
Namun, saat menyuruh para sahabat berhijrah ke Madinah, beliau menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ جَعَلَ لَكُمْ إخْوَانًا وَدَارًا تَأْمَنُوْنَ بِهَا
“Sungguh Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan untuk kalian para saudara dan tempat kediaman (negara) yang akan menjadikan kalian aman.”12
Ini semua menjelaskan bahwa hijrah ke Madinah ini adalah hijrah menuju Negara Islam yang telah diperjuangkan Rasulullah sebelumnya. Oleh karena itu, terkait hijrah ke Madinah ini, Imam Ibnul Arabi mendefinisikan:
Hijrah adalah keluar atau berpindah dari negara yang diperangi/negara kufur ke Negara Islam.13
Para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw. telah berubah dari sekedar sebuah kota menjadi Negara Islam. Jika hanya dikatakan sebuah kampung, adakah kepala kampung yang memiliki pasukan, mengangkat petugas zakat, mengikat perjanjian dengan negara lain, mengangkat penguasa daerah, menegakkan hukum hudûd dan jinayat serta aktivitas lain yang terkait dengan kenegaraan? Tentu yang berpikiran jernih tidak akan mengatakan yang demikian.
Apakah negara tersebut terbentuk secara kebetulan saja ataukah diupayakan Nabi saw.? Dengan mencermati berbagai riwayat, terutama terkait lobi-lobi yang dilakukan Nabi saw. kepada 15 kepala/pembesar suku di Arab dan jawaban mereka, kita bisa melihat bahwa itu memang diupayakan. Bukan kebetulan. AlLâhu a’lam. [M. Taufik NT]
Catatan kaki:
1 Ibnu Hisyam, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah (Mesir: Musthafa Al Bâbi, 1955), 1/321.
2 Safiyurrahman al-Mubarakfuri, Al-Rahîq al-Makhtûm (Beirut: Dar al-Basyir, 1994), h.111.
3 Aal-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Dar Tuq al-Najah, 1422), 5/58.
4 Ibid.
5 Ibnu Katsir, As-Sîrah al-Nabawiyyah (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1976), 2/158.
6 Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah, 1/424.
7 Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqât Al-Kubrâ (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 1/168.
8 Abu Nu’aim al-Ashbahani, Dalâil Al-Nubuwwah (Beirut: Dar al-Nafais, 1986), 1/264.
9 Ibnu Hisyam, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, 1/446.
10 Imad al-Din Khalil, Dirâsah Fi Al-Sîrah (Beirut: Dar al-Nafais, 1425), h.106-107.
11 Ibnu Hisyam, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, 1/321.
12 Ibid., 1/468.
13 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ Li Ahkâm Al-Qur’ân (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), 5/349.