Telaah Kitab

Kewenangan Majelis Umat (Pasal 111 Kitab Muqaddimah ad-Dustûr)

Telaah Kitab kali ini membahas pasal 111 tentang kewenangan-kewenangan Majelis Umat. Majelis Umat memiliki lima kewenangan yaitu:

  1. Majelis Umat berwenang menyampaikan pendapat kepada Khalifah dalam aktivitas-aktivitas atau perkara-perkara praktis yang berhubungan dengan pemeliharaan urusan politik yang tidak membutuhkan kajian dan penelitian mendalam; seperti urusan pemerintahan, industri, pendidikan, dan sejenisnya. Pendapat Majelis Umat dalam urusan-urusan seperti ini bersifat mengikat Khalifah. Adapun usulan atau pendapat Majelis umat dalam perkara-perkara yang membutuhkan kajian dan penelitian mendalam dan perkara-perkara sains dan teknologi, keuangan, angkatan bersenjata dan politik luar negeri, tidak mengikat Khalifah, baik karena diminta atau tidak oleh Khalifah.
  2. Khalifah berhak menyampaikan hukum dan perundang-undangan yang hendak dilegalisasi kepada Majelis Umat. Kaum Muslim yang menjadi anggota Majelis Umat berhak mendiskusikannya dan menjelaskan kesalahan dan kebenarannya. Jika Majelis Umat berselisih pendapat dengan Khalifah dalam metode legislasi yang berupa ushul syariah yang telah dilegislasi oleh negara, maka, penyelesaian perselisihan tersebut dikembalikan kepada Mahkamah Madzalim. Pendapat Mahkamah Mazhalim dalam hal seperti ini bersifat mengikat.
  3. Majelis Umat berhak mengkritik Khalifah dalam semua urusan yang telah dilaksanakan oleh negara, baik menyangkut urusan dalam negeri, luar negeri, keuangan, angkatan bersenjata, maupun urusan-urusan lain. Pendapat Majelis Umat bersifat mengikat dalam perkara-perkara yang suara mayoritas mengikat di dalamnya. Pendapat Majelis Umat tidak mengikat dalam perkara-perkara yang suara mayoritas tidak bersifat mengikat di dalamnya. Jika Majelis Umat berselisih pendapat dengan Khalifah dalam suatu aktivitas yang sudah dilaksanakan dari aspek syar’i tidaknya aktivitas tersebut, maka hal itu dikembalikan kepada Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalimlah yang akan memutuskan syar’i-tidaknya aktivitas tersebut. Dalam hal ini, pendapat Mahkamah Mazhalim bersifat mengikat.
  4. Majelis Umat boleh menampakkan ketidaksukaannya terhadap Muawwin, Wali dan Amil. Pendapat Majelis Umat dalam masalah ini bersifat mengikat. Khalifah harus segera memberhentikan mereka, yakni Mu’awwin, wali, atau amil. Jika dalam masalah seperti ini pendapat Majelis Umat bertentangan dengan pendapat Majelis Wilayah, maka pendapat Majelis Wilayah lebih diutamakan.
  5. Kaum Muslim yang menjadi anggota Majelis Umat berhak membatasi calon khalifah dari orang-orang yang ditetapkan Mahkamah Mazhalim telah memenuhi syarat-syarat in’iqâd. Pendapat mayoritas anggota Majelis Umat dalam masalah ini bersifat mengikat. Krena itu tidak boleh dipilih kecuali calon yang dibatasi oleh Majelis Umat.

 

Adapun dalil yang mendasari kewenangan-kewenangan di atas adalah sebagai berikut:

Kewenangan pertama didasarkan perilaku Nabi saw. yang mengikuti pendapat mayoritas saat beliau memutuskan menyonsong musuh di luar Kota Madinah, pada saat Perang Uhud. Padahal beliau dan para sahabat besar memilih tetap berada di Kota Madinah dan menghadapi musuh di dalam Kota Madinah. Hanya saja, karena mayoritas kaum Muslim meminta beliau untuk menghadapi musuh di luar Kota Madinah, Nabi saw. dan para sahabat besar memutuskan pendapat berdasarkan usulan mayoritas.

Kewenangan di atas juga didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada Sahabat Abu Bakar dan ’Umar ra.:

لَوِ اجْتَمَعْتُمَا فِي مَشُورَةٍ مَا خَالَفْتُكُمَا

Seandainya kalian berdua sepakat dalam perkara yang dimusyawarahkan (al-masyûrah), niscaya aku tidak akan menyelesihi kalian berdua (HR Ahmad).

 

Hadis ini mengisahkan tentang musyawarah yang dilakukan Nabi saw. dengan Abu Bakar dan ’Umar ra mengenai perlakuan terhadap tawanan perang. Abu Bakar ra, mengusulkan agar tawanan Perang Badar dibebaskan dengan tebusan. Adapun ’Umar ra. berpendapat agar mereka dihukum mati. Nabi saw. kemudian bersabda dengan sabda di atas. Dituturkan dalam riwayat, Nabi saw. memilih pendapat Abu Bakar ra., yakni membebaskan tawanan perang dengan tebusan. Saat itu juga Nabi saw ditegur Allah SWT dengan firman-Nya:

مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُۥٓ أَسۡرَىٰ حَتَّىٰ يُثۡخِنَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ تُرِيدُونَ عَرَضَ ٱلدُّنۡيَا وَٱللَّهُ يُرِيدُ ٱلۡأٓخِرَةَۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٦٧

Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kalian menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian). Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS al-Anfal [8]: 67).

 

Wajhu al-istidlâl-nya, sekiranya Abu Bakar dan Umar ra. bersepakat dalam al-masyûrah, niscaya Nabi saw. tidak akan menyelisihi pendapat keduanya. Hanya saja, Abu Bakar dan ‘Umar ra. berselisih hingga Nabi saw memilih salah satunya. Riwayat ini menunjukkan bahwa pendapat mayoritas ahlu asy-syura mengikat Khalifah.

Alasan lainnya, dalam mengatur urusan-urusan dan aktivitas-aktivitas yang bersifat praktis dan tidak membutuhkan kajian dan keahlian, kepentingan dan pendapat masyarakat banyak tentu harus didahulukan agar urusan dan aktivitas itu berjalan secara sempurna, dan mampu menciptakan ketenangan dan ketentraman masyarakat. Pendapat Majelis Umat dalam masalah seperti mengikat Khalifah.

Adapun dalam urusan-urusan yang membutuhkan kajian dan penelitian mendalam dan perkara-perkara sains dan teknologi, keuangan, angkatan bersenjata dan politik luar negeri, pendapat Majelis Umat tidak mengikat Khalifah, baik karena diminta atau tidak oleh Khalifah. Khalifah merujuk pada pendapat ahli dan ilmuwan yang benar-benar kompeten di bidangnya. Dalilnya adalah perilaku Rasulullah saw. yang merujuk pendapat Hubab bin al-Mundzir dalam urusan penentuan tempat bertahan di medan Badar. Nabi saw. meninggalkan pendapat beliau dan mengikuti pendapat Hubab bin al-Mundzir karena ia adalah orang yang paling paham medan Badar. Selain itu, karena urusan tersebut terkait dengan taktik perang, maka ia harus dikembalikan pada orang yang ahli di bidangnya. Pendapat mayoritas tidak bernilai sama sekali dalam urusan semacam ini.

Begitu pula dalam urusan keuangan, pendapat mayoritas tidak bernilai dan tidak diperhatikan di dalamnya. Alasannya, urusan keuangan, baik berkaitan dengan harta apa saja yang ditarik negara, perhitungan dan pengalokasiannya, serta kapan negara boleh menarik pajak, semua sudah ditetapkan oleh syariah. Khalifah tinggal melaksanakan mandat syariah dalam urusan keuangan. Atas dasar itu, pendapat mayoritas tidak diperhatikan. Ketentuan semacam ini juga berlaku dalam urusan tentara. Syariah telah menetapkan bahwa pengaturan urusan ketentaraan ada di tangan Khalifah.

Adapun kewenangan kedua, dalilnya adalah Firman Allah SWT:

إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِۖ يَقُصُّ ٱلۡحَقَّۖ وَهُوَ خَيۡرُ ٱلۡفَٰصِلِينَ ٥٧

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (QS al An’am [6]: 57).

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا ٦٥

Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS al-Nisa’ [4]: 65).

ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ ٣١

Mereka menjadikan para ulama dan para rahib mereka sebagai tuhan selain Allah (QS at-Taubah [9]: 31).

 

Adiy bin Hatim menyatakan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak menyembah para rahib dan para pendeta mereka. Akan tetapi, mereka menyembah kepada Allah. Pernyataan ini ditangkis oleh Rasulullah saw. dengan pernyataan beliau, “Akan tetapi para rahib dan pendeta itu telah menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan, kemudian mereka mengikutinya.”1

Ini menunjukkan bahwa sekadar menyakini Allah SWT dari sisi ketuhanan (rubûbiyyah) dan Nama dan Shifat (Asma’ wa Shifat) tidak menyelamatkan seseorang dari kekafiran, sampai ia mengesakan Allah dalam hal penyembahan (tauhid ulûhiyyah) dengan jalan menyakini bahwa hukum Allah adalah satu-satunya hukum yang berhak ditaati dan diikuti.

Nas-nas di atas menunjukkan bahwa urusan-urusan yang terkait dengan tasyrî’ (penetapan hukum) wajib diputuskan berdasarkan Kitabullah, Sunnah Nabi saw., dan apa yang ditunjuk oleh keduanya, yakni Ijmak dan Qiyas. Hukum syariah tidak boleh ditetapkan berdasarkan pendapat atau kesepakatan masyarakat. Rasulullah saw. menolak usulan dan pendapat mayoritas Sahabat pada saat Perjanjian Hudaibiyah. Sebab, Perjanjian Hudaibiyah merupakan wahyu dari Allah SWT. Berdasarkan prinsip ini, maka hak tabanni (adopsi) hukum, yakni menetapkan hukum yang akan diberlakukan di tengah-tengah masyarakat, ada di tangan Khalifah semata. Semua ketetapan hukum wajib digali dari nas-nas syariah, baik hukum tersebut merupakan ijtihad Khalifah sendiri, atau berasal dari mujtahid lain.

Hanya saja, tatkala Khalifah hendak men-tabanni sebuah hukum syariah, hendaknya ia menyodorkannya di hadapan Majelis Umat, untuk mengetahui pendapat mereka. Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. biasa meminta pendapat masyarakat atas sejumlah hukum syariah yang hendak beliau berlakukan di tengah-tengah mereka. Para Sahabat tidak mengingkari tindakan beliau. Atas dasar itu, hal ini merupakan Ijmak Sahabat atas kebolehan Khalifah meminta pendapat masyarakat atas hukum-hukum syariah yang hendak diberlakukan. Di dalam riwayat dituturkan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab ra. pernah terlibat diskusi dengan para Sahabat terkait dengan perlakuan terhadap tanah-tanah yang sudah ditaklukkan pasukan Islam di Irak. Mayoritas berpendapat agar tanah itu dibagi-bagikan kepada kaum Muslim yang turut berperang menaklukkan Iraq. Adapun ‘Umar bin al-Khaththab ra. berpandangan tanah-tanah tersebut dibiarkan tetap menjadi milik penduduk Irak dengan kewajiban membayar kharaj dan jizyah perorang. Dalam diskusi itu, Umar berhasil menyakinkan para Sahabat atas pendapatnya. Khalifah ‘Umar menyandarkan pendapatnya pada firman Allah SWT:

مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنۡ أَهۡلِ ٱلۡقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ ٧

Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk suatu negeri, maka (harta benda itu) untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil; juga agar supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (QS al-Hasyr [59]: 7).

 

Berdasarkan ayat ini, beliau tidak membagi-bagikan tanah-tanah subur di Irak, Syam dan Mesir meskipun didesak oleh para Sahabat. Bilal dan beberapa orang Sahabat bersikeras meminta agar tanah-tanah tersebut dibagi-bagikan kepada pasukan kaum Muslim. Mereka berkata kepada Khalifah ’Umar, “Apakah engkau akan memberikan harta rampasan yang telah diberikan Allah kepada kami melalui pedang-pedang kami, kepada satu kaum yang tidak hadir dan tidak juga menyaksikan, kemudian digunakan untuk membangun kaum tersebut, dan untuk membangun rumah-rumah mereka padahal mereka tidak hadir?”

Setelah melalui diskusi panjang, Khalifah Umar berhasil menyakinkan kaum Muslim, dan berkata, “Aku telah memutuskan untuk menahan tanah rampasan perang dengan penduduknya, kemudian menetapkan kharaj atas mereka (penduduknya) dari tanah tersebut, serta jizyah untuk budak-budak mereka, dan menjadikannya sebagai harta fa’i’ bagi kaum Muslim, untuk tentara dan keturunannya serta untuk orang-orang yang datang setelah mereka.” (HR al-Bukhari).

Semua harta fa’i’ dan harta-harta yang mengikutinya, seperti kharaj, jizyah, ’usyr dan lain-lain merupakan harta yang boleh diambil manfaatnya oleh kaum Muslim, disimpan di Baitul Mal dan dibelanjakan untuk mewujudkan kemaslahatan mereka. Di dalam harta tersebut terdapat hak bagi setiap muslim, bukan hanya sekelompok kaum Muslim. Setelah menetapkan kharaj atas tanah Irak, Syam dan Mesir, Khalifah Umar ra. berkata, “Tidak seorangpun dari kaum Muslim kecuali berhak mendapatkan bagian dalam harta ini.” Lalu Umar membacakan ayat “Apa saja dari harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk suatu negeri” hingga sampai “dan orang-orang yang datang setelah mereka” (QS al-Hasyr: 10). Kemudian Umar berkata, “Harta ini akan aku ambil semuanya untuk (kepentingan) seluruh kaum Muslim, dan sungguh, jika aku menahannya, niscaya akan datang seorang penguasa dengan sarwi Himyar dan meminta bagian dari harta tersebut dengan kening tanpa mengeluarkan keringat sedikitpun.” (HR Ibnu Qudamah dalam Kitab Al-Mughni).

Adapun jika Majelis Umat berbeda pendapat dengan Khalifah, apakah undang-undang yang hendak diberlakukan di masyarakat sejalan dengan pokok-pokok istinbath yang diadopsi oleh negara, maka kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan itu ada di tangan Mahkamah Madzalim. Mahkamah Madzalim merupakan pihak yang berwenang memutuskan apakah dalil atau metode istinbâth yang digunakan Khalifah sejalan dengan metode instibâth yang termaktub dalam Konstitusi. Alasannya, kewenangan menyelesaikan perselisihan apakah undang-undang yang diberlakukan Khalifah termasuk hukum syariah atau tidak, benar atau tidak, ada di tangan Qadliy Madzalim. Pendapat Qadhi Madhalim dalam masalah ini mengikat kedua belah pihak.

WalLâhu al-Musta’ân wa Huwa Waliyyu at-Tawfîq. [Gus Syam]

 

Catatan kaki:

1              Lihat: Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsîr, QS al-Taubah (9): 31.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

8 + 15 =

Back to top button