Telaah Kitab

Kebijakan Perindustrian Negara Khilafah (Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 160)

(Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 160)

Telaah Kitab kali ini membahas Pasal 160 yang berkaitan dengan kewajiban Negara mengatur urusan-urusan perindustrian.  Redaksi pasal tersebut berbunyi:

تُشْرِفُ الدَّوْلَة عَلَى الشُّؤُوْنِ الصِّنَاعِيَّة بِرَمْتِهَا، وَتَتَوَلَّى مُبَاشَرَة الصِّنَاعَاتِ الَّتِيْ تَتَعَلَّقُ بِمَا هُوَ دَاخِلٌ فِي الْمِلْكِيَّةِ الْعَامَّة.

Negara mengatur semua sektor perindustrian dan menangani langsung jenis industri yang berhubungan dengan hal-hal yang termasuk ke dalam kepemilikan umum.

 

Di dalam pasal ini terkandung dua poin penting: (1) pengaturan Negara atas seluruh sektor industri; (2) Negara berkewajiban menangani secara langsung industri-industri yang berhubungan dengan hal-hal yang termasuk ke dalam kepemilikan umum.

Poin pertama: Rasulullah saw. mengakui kepemilikan individu atas industri.  Dengan kata lain, setiap industri diberi hak untuk memproduksi barang-barang industri. Sejak zaman Nabi saw., kaum Muslim telah terbiasa dengan aktivitas ini.  Ada di antara para Sahabat yang berprofesi sebagai tukang kayu, pembuat barang kerajinan, furniture dan persenjataan (seperti pedang, panah, baju, tombak dan lain sebagainya).  Mereka memiliki industri-industri tersebut.

Di dalam riwayat-riwayat shahih dituturkan bahwa Rasulullah saw. pernah membuat cincin. Diriwayatkan dari Anas ra., “Nabi saw. pernah membuat sebuah cincin.” (HR al-Bukhari).

Dari Ibnu Mas’ud dituturkan bahwa Nabi saw. pernah membuat sebuah cincin yang terbuat dari emas (HR al-Bukhari).

Beliau juga pernah meminta dibuatkan mimbar. Sahal ra. berkata: Rasulullah saw. pernah mengutus kepada seorang wanita. (Kata beliau): “Perintahkan anakmu, tukang kayu itu, untuk membuatkan sandaran tempat dudukku sehingga aku bisa duduk di atasnya.” (HR al-Bukhari).

Bahkan ada di antara mereka orang yang membuat persenjataan seperti Khubbab ra. Pabrik pedangnya sudah ada di era jahiliah dan ia tetap melanjutkan produksinya setelah keislamannya.  Kisahnya, seperti yang dituturkan di dalam Kitab Siirah Ibnu Hisyaam bersama dengan al-‘Ash bin al-Wail al-Sahmi, ketika dia (al-‘Ash) membeli sebuah pedang dari Khubbab. Ketika Khubbab mendatangi al-‘Ash untuk meminta pelunasan harga, dia berkata dengan berkelakar, “Di surga aku akan melunasimu.”

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa setiap individu diberi hak dan kewenangan membuat industri. Sama seperti halnya pertanian.  Setiap individu berhak memproduksi barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Hanya saja, Negara wajib mengatur dan mengontrol industri-industri tersebut dengan pengaturan dan kontrol yang bersifat umum, yang bisa membantu peningkatan kapasitas dan kualitas produksi, membuka pasar-pasar bagi hasil-hasil industri, menjamin ketersedian bahan baku, dan lain sebagainya.

Poin kedua: Negara berkewajiban menangani langsung. Hal ini terkait dengan kaidah:

إِنَّ الْمَصْنَعَ يَأْخُذُ حُكْمَ مَا يُنْتَجُ

Pabrik/industri mengikuti hukum apa yang ia produksi.

 

Kaidah ini di-istinbaath dari hadis mulia:

لَعَنَ اللهُ شَارِبَ الْخَمْرِ وَعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهاَ…

Allah SWT melaknat peminum khamer, pemerasnya, orang yang minta diperaskan… (HR Abu Dawud). 

 

Hadis ini merupakan bagian dari hadis riwayat Imam Abu Dawud dari Rasulullah saw. dari jalur Ibnu ‘Umar.  Larangan memeras khamer di sini bukan ditujukan pada larangan “memeras” (al-‘ashr), tetapi semata-mata ditujukan pada larangan memeras khamer. Sebabnya, memeras tidaklah haram. Yang haram adalah memeras khamer.  Memeras (al-‘ashr) dan mengambil hasil perasan (al-i’tishar) diharamkan karena pengharaman khamer. Keduanya (memeras dan mengambil hasil perasan) mengikuti hukum benda yang diperas.  Oleh karena itu, pengharaman disematkan pula pada aktivitas memeras, yakni pabrik pemerasan, sehingga disematkan pula pada alat-alat peras. Dengan demikian industri mengikuti hukum barang yang diproduksi dan pabrik mengikuti hukum sesuatu yang diproduksi.

Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa pabrik mengikuti hukum yang diproduksi.   Keharaman pabrik datang dari haramnya produk yang diproduksi.  Oleh karena itu, hadis di atas bukanlah dalil yang menunjukkan bahwa pabrik adalah kepemilikan umum. Ia hanya dalil yang menunjukkan bahwa pabrik mengikuti hukum barang yang diproduksi.

Berdasarkan kaidah tersebut, ditetapkanlah hukum sebuah pabrik.  Jika barang yang diproduksi termasuk ke dalam barang-barang yang masuk ke dalam kepemilikan individu maka pabrik tersebut menjadi kmilik individu, seperti pabrik pemintalan. Sebabnya, Rasulullah saw. telah menetapkan industri pedang, baju dan sepatu masuk ke dalam kepemilikan individu. Jika pabrik memproduksi barang-barang yang masuk dalam kepemilikan umum, seperti pabrik-pabrik eksplorasi minyak, dan pabrik-pabrik eksplorasi besi, maka pabrik-pabrik tersebut menjadi milik umum, dan tidak masuk ke dalam kepemilikan individu.  Sebabnya, Rasulullah saw. ketika melarang pabrik khamer, hal itu terkait dengan hukum barang (produk) yang diproduksi.1

Industri-industri yang berhubungan dengan hal-hal yang termasuk dalam kepemilikan umum dikelola secara langsung oleh Negara. Sebabnya, pengelolaan harta-harta milik umum ada di tangan Negara.  Negara, dalam hal ini, tidak boleh mengalihkan pengelolaannya kepada individu atau perusahaan-perusahaan swasta.  Negara wajib menangani langsung industri-industri semacam ini untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.  [Gus Syams]

 

Catatan Kaki:

1        Maksudnya Rasulullah saw memberi status haram atas pabrik disebabkan karena pabrik tersebut memproduksi khamer.  Keharaman pabrik tersebut mengikuti barang yang diproduksinya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 − three =

Back to top button