Simbol
Dalam Wikipedia (Indonesia), istilah simbol berasal dari kata dalam bahasa Yunani symballo. Artinya melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau gagasan objek yang kelihatan. Simbol dapat mengantarkan seseorang ke gagasan masa depan maupun masa lalu. Simbol diwujudkan dalam gambar, bentuk, gerakan, atau benda yang mewakili suatu gagasan.
Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, ia sangat diperlukan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang ia wakili. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja. Misalnya untuk ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan.
Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasatmata, namun juga bisa berupa gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol. Karena itu simbol paling umum ialah tulisan, yang merupakan simbol dari kata-kata dan suara.
Selain simbol, juga ada lambang. Lambang adalah simbol yang tergambar. Lambang dapat berupa benda sesungguhnya, seperti salib (lambang Kristen) dan tongkat (yang melambangkan kekayaan dan kekuasaan). Lambang dapat berupa warna atau pola. Lambang sering digunakan dalam puisi dan jenis sastra lain, kebanyakan digunakan sebagai metafora atau perumpamaan. Lambang nasional adalah simbol untuk negara tertentu.
++++
Dalam Islam, dikenal juga sesuatu yang dianggap sebagai simbol. Misalnya bendera, khususnya yang bertuliskan kalimat tauhid.
Bendera tauhid atau bendera dengan kalimat tauhid itu memang tidak otomatis mencerminkan bobot ketauhidan kita. Namun, sebagai sebuah simbol, ia jelas bukan tanpa makna dan tanpa nilai. Menurut Imam Abdul Hayy al-Kattani, sebagai simbol, bendera dengan tulisan kalimat tauhid mencerminkan persamaan pendapat kaum Muslim (ijtimâ’u kalimah Muslimîn) dan kesatuan hati mereka (ittihâdu qulûbihim). Dalam hal apa? Pertama, dalam keyakinan atau aqidah. Sebagai Muslim kita memiliki keyakinan yang sama. Inti dari keyakinan itu adalah pada kalimat tauhid itu. Kedua, simbol persatuan umat. Sesama Muslim itu bersaudara. Persaudaraan itu terjadi karena kesamaan tauhid. Ketiga, simbol perjuangan. Inti perjuangan Islam tak lain adalah untuk meninggikan kalimat tauhid itu.
Oleh karena itu, sebagai simbol, bendera tauhid itu memiliki makna yang sangat dalam dan nilai yang sangat tinggi sehingga semestinya ia dijaga dan dihormati.
Penghormatan terhadap bendera tauhid yang sangat dramatis tampak dalam Perang Mu’tah—daerah di wilayah Syam (Yordania sekarang). Sebuah peperangan https://nabilmufti.files.wordpress.com/2011/04/peranguhud.jpg yang sangat heroik di era awal perkembangan Islam. Terjadi pada 8 H atau tahun 629 M. Pasukan Islam yang hanya berjumlah 3.000 orang harus melawan 200.000 pasukan Romawi, negara adidaya ketika itu.
Menghadapi peperangan itu, Rasulullah saw. secara khusus berpesan, “Pasukan ini dipimpin oleh Zaid bin Haritsah. Bila ia gugur, komando dipegang oleh Ja’far bin Abu Thalib. Bila gugur pula, panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah—saat itu beliau meneteskan air mata—selanjutnya bendera itu dipegang oleh seorang ‘pedang Allah’.” Akhirnya, Allah Subhânahu wata‘âlâ memberikan kemenangan (HR al-Bukhari).
Ini kali pertama Rasulullah saw. mengangkat tiga panglima sekaligus untuk satu peperangan. Mungkin karena tahu beratnya lawan yang bakal dihadapi. Rasulullah saw. juga turut mengantarkan mereka sampai ke Tsaniatul Wada’, di luar Kota Madinah dengan pesan, “Jangan membunuh wanita, bayi, orang-orang buta atau anak-anak. Jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon-pohon.”
Ketika mendengar kekuatan musuh yang begitu besar, pasukan Islam sempat berhenti selama dua malam di daerah Ma’an, wilayah Syam. Ketika mereka berembug tentang langkah apa yang akan diambil, beberapa orang berpendapat, “Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah, melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi, atau memerintahkan sesuatu yang harus kita lakukan.”
Namun, Abdullah bin Rawahah menolak pendapat itu. Ia bahkan mengobarkan semangat pasukan dengan mengatakan, “Demi Allah. Sungguh apa yang kalian tidak sukai ini adalah sesuatu yang kalian keluar untuk kalian cari, yaitu syahid (gugur di medan perang). Kita tidak berperang karena jumlah pasukan atau besarnya kekuatan. Kita berjuang semata-mata untuk agama ini, yang dengan itulah Allah telah memuliakan kita. Majulah! Hanya ada salah satu dari dua kebaikan; menang atau gugur (syahid) di medan perang.”
Lalu mereka mengatakan, “Demi Allah, Ibnu Rawahah berkata benar.”
Zaid bertempur dengan gagah berani sampai sebuah tombak lawan menancap di tubuhnya. Melihat Zaid jatuh, Ja’far bin Abu Thalib segera melompat dari punggung kudanya, kemudian menyambar bendera ar-Rayah dari tangan Zaid. Ja’far bertempur dengan gagah berani sambil tangan kanannya memegang bendera. Akhirnya lawan berhasil menebas tangan kanannya hingga putus. Lalu bendera dipegang dengan tangan kirinya. Tangan kirinya pun akhirnya ditebas juga oleh lawan hingga putus. Kini Ja’far kehilangan dua tangannya. Yang tersisa hanyalah sedikit lengan bagian atas. Meski demikian, Ja’far tetap berusaha mempertahankan bendera dengan cara memeluknya sampai tewas. Tubuh Ja’far terbelah menjadi dua. Terdapat tidak kurang 90 luka di tubuh Ja’far. Akhirnya, bendera dibawa oleh panglima berikutnya, Abdullah bin Rawahah, hingga syahid.
Lihatlah bagaimana para sahabat yang mulia itu dengan taruhan nyawanya berusaha agar ar-Rayah tetap terus tegak berdiri. Rasulullah saw. sangat memuliakan mereka. Terhadap Ja’far bin Abi Thalib yang putus kedua tangannya karena mempertahankan ar-Rayah, Rasulullah saw. menjuluki dia dengan ath-Thayyar (penerbang) atau Dzul-Janahain (orang yang memiliki dua sayap) sebab Allah menganugerahi dia dua sayap di surge. Dengan sayap itu ia bisa terbang di surga.
Perang Mu’tah, menurut Ibnu Ishaq, akhirnya dimenangkan oleh pasukan Islam setelah pasukan Romawi mundur dari gelanggang. Dalam peperangan itu hanya 8 orang yang syahid. Sebaliknya, pasukan Romawi tercatat ada sekitar 20.000 orang tewas.
++++
Karena itu pembakaran bendera tauhid yang baru lalu terjadi jelas amat melukai hati kita. Luka itu makin dalam ketika peristiwa itu oleh induk organisasinya bukan diakui sebagai sebuah kesalahan, tetapi malah dicari-cari dalih pembenaran.
Menyaksikan itu semua kita nyaris kehilangan kata-kata. Kesombongan dan arogansi kekuasaan nyata-nyata telah menutup hati dan pikiran sebagian umat ini dari kebenaran.
Dari peristiwa itu, juga yang sebelumnya, kita juga dibukakan oleh kenyataan, ketika pemimpin tertinggi di negeri ini tidak menjalankan fungsi yang semestinya sebagai seorang pemimpin, yakni hirâsah ad-dîn (menjaga agama), maka penistaan agama makin menjadi-jadi. Ketika terjadi penistaan agama, alih-alih bertindak tegas, yang ia lakukan justru mendukung orang atau kelompok yang menista agama itu. Akibatnya, orang makin berani menghina. Sudah begitu, aparat juga tidak bertindak semestinya. Maka dari itu, lihatkan sekarang bertebaran di medsos, misalnya, orang dengan sangat keji menghina al-Quran, Ka’bah, Nabi Muhammad, bahkan Allah, Zat Yang Mahamulia, dengan sebutan-sebutan yang tak senonoh. Semua itu dibiarkan, tanpa penindakan yang berarti.
Namun ingat, makin banyak penistaan terhadap agama, yang membela juga makin semangat. Dari sisi ini, ada berkah terselubung (blessing indisguise). Mereka telah memberikan amunisi yang sangat besar bagi para pembela agama untuk lebih berani, lebih aktif, lebih keras serta lebih bersemangat berjuang hingga Islam tegak dan rezim pendukung penista agama itu tumbang. Insya Allah. [HM Ismail Yusanto]