Aspek Politik Haji Yang Hilang
Kewajiban haji telah dinyatakan oleh Allah SWT dalam al-Quran: Menger-jakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (TQS Ali Imran [03]: 97). Kewajiban ini tanpa disertai alasan (‘illat), dengan waktu, tempat dan tatacara yang telah ditetapkan.
Meskipun demikian, di dalam nas yang lain, Allah SWT menyebutkan hikmah di balik pelaksanaan ibadah ini. Allah menyatakan (yang artinya): Serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka (TQS al-Hajj [22]: 27).
Salah satu aspek politik penting yang merupakan hikmah tak terpisahkan dari ibadah haji adalah persatuan umat. Ibadah haji menyatukan umat Islam dari berbagai penjuru dunia tanpa melihat negara, ras, bangsa, atau warna kulitnya. Mereka dipersatukan oleh dasar yang sama yaitu akidah Islam. Mereka juga diatur dengan aturan yang satu yaitu syariah Islam.
Dari ibadah haji kita bisa belajar bahwa sesungguhnya umat Islam bisa bersatu. Ini memupus keraguan yang kerap diopinikan oleh musuh-musuh Islam seolah umat Islam tidak bisa bersatu. Dalam ibadah haji, terbukti umat Islam bisa bersatu karena didasarkan pada aqidah yang satu dan aturan yang satu.
Masalahnya, umat Islam sekarang membatasi persatuan dan ketaatan itu hanya saat ibadah. Paham sekularisme dan sistem nation-state yang dipaksakan oleh Barat atas umat Islam telah memecah-belah umat Islam. Sekularisme telah menyebabkan Islam hanya diadopsi dalam masalah ibadah mahdhah. Adapun aspek politik, sosial dan pemerintahan Islam dicampakkan. Karena itu, untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia, akidah Islam tidak boleh dibatasi hanya sebagai asas dalam ibadah, menjadi sekadar aqidah ritual (al-‘aqiidah ar-ruuhiyyah). Aqidah Islam sejatinya juga merupakan akidah yang bersifat politik (‘aqiidah siyaasiyyah) yang menjadi landasan dalam aspek ekonomi, politik, sosial, pendidikan, bahkan bernegara.
Syariah Islam yang terbukti menyatukan saat ibadah haji juga harus menjadi aturan yang mengatur ekonomi, politik, hingga bernegara. Inilah yang akan mewujudkan persatuan yang hakiki dalam segala aspek kehidupan.
Rasulullah saw. telah mengingatkan hal ini dalam pidato politisnya saat Haji Wada’. Ini adalah khutbah penting yang membuat kaum Muslim bersedih karena Rasulullah saw. seolah menunjukkan bahwa tak lama lagi akan meninggalkan umatnya. Rasulullah Saw. mengawali salah satu khutbahnya dengan bersabda: “Wahai manusia, dengarlah apa yang akan aku katakan. Sebab sungguh, aku tidak tahu, apakah aku bisa berjumpa lagi dengan kalian setelah tahun ini, di tempat ini.” (HR al-Baihaqi, ath-Thabari dan Abu Awanah).
Masih dalam rangkaian Haji Wada’, Rasulullah saw. mengingatkan pentingnya persatuan umat Islam berdasarkan akidah Islam ini. Rasulullah bersabda, “Wahai manusia, ingatlah, Tuhan kalian satu. Bapak kalian juga satu. Ingatlah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab; bagi orang non-Arab atas orang Arab; bagi orang berkulit merah atas kulit hitam; dan bagi orang berkulit hitam atas kulit merah, kecuali ketakwaannya.” (HR Ahmad).
Khutbah perpisahan Rosulullah ini seharusnya sudah cukup untuk merontokkan ikatan-ikatan semu, termporer dan lemah yang selama ini membelenggu umat Islam. Bukankah Ikatan nasionalisme selama ini terbukti telah memecah-belah umat Islam. Melemahkan umat Islam untuk membela saudaranya sendiri yang ditindas. Bahkan menjadi legitimasi kemalasan dan pengkhianatan penguasa negeri-negeri Islam untuk menggerakan angkatan perang dan persenjataan di negeri-negeri Islam untuk membela kepentingan umat Islam. Cukup dengan alasan ‘bukan kepentingan nasional kita’, para penguasa negeri Islam telah melakukan kejahatan besar, membiarkan umat Islam ditindas dan Islam dihina dan dilecehkan.
Masih dalam Haji Wada’ ini, Rasulullah saw. mengingatkan kita tentang betapa berharganya darah dan harta kaum Muslim; harus dijaga, tidak boleh ditumpahkan dan tidak boleh dinodai. Di Arafah, tepatnya di tempat yang kini berdiri kokoh Masjid Namirah beliau bersabda, “Wahai seluruh umat manusia, sungguh darah dan harta kalian hukumnya haram bagi kalian untuk dinodai, sebagaimana menodai keharaman hari, bulan dan negeri ini.”
Nabi saw. pun telah membatalkan seluruh praktik dan tradisi jahiliyah, mengharamkan riba dan sebagainya (Lihat: As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsuur, I/534).
Masih dalam Haji Wada’ Rasulullah juga mengingatkan agar umat Islam berpegang teguh pada al-Qur’an dan as-Sunnah, menjadikan keduanya sebagai pedoman hidup dalam segala aspek kehidupan.
Pidato ini tentu sangat politis karena terkait dengan sumber hukum apa yang layak untuk mengatur kaum Muslim. Bukan sumber hukum yang berasal dari hawa nafsu manusia. Apapun kemasannya dan namanya. Bukan sekularisme, bukan demokrasi dan bukan HAM. Semuanya merupakan produk pemikiran Barat yang bertentangan dengan syariah Islam. Sudah cukup bagi kaum Muslim yang beriman pada Allah dan Rasul-Nya untuk mencampakkan segala hukum yang bukan bersumber dari Allah SWT. Hanya terikat pada syariah Islam, yang dipastikan akan menyelamatkan umat Islam dari kesesatan selamanya.
Persatuan umat Islam itu tentu saja membutuhkan pemimpin dan negara yang satu. Pasalnya, persatuan sangat bergantung pada kesatuan kepemimpinan dan yang paling tinggi adalah pada level negara. Di sinilah mengapa umat Islam harus benar-benar bisa bersatu. Ini membutuhkan negara yang satu dengan pemimpin yang satu. Itulah Khilafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah.
Perlu ditegaskan kembali kewajiban mengangkat khalifah ini adalah kewajiban syar’i, bukan sekadar kebutuhan umat. Faktor inilah yang saat ini hilang di tengah umat. Ketiadaan Khilafah ‘alaa minhaaj an-nubuwwah telah membuat umat Islam terpecah-belah tanpa ada yang serius untuk mengurus mereka. Bagaikan anak ayam kehilangan induk.
Akibat ketidaan Khilafah saat ini, aspek politik dari ibadah haji pun tereduksi. Padahal pada masa Khilafah Islam, pada musim haji, umat Islam bukan hanya bertemu dengan kepala negara mereka, namun mereka juga dapat menyampaikan pengaduan dan koreksi (muhaasabah). Sebaliknya, para khalifah juga bertanya kepada mereka tentang hal ihwal para wali yang dia angkat secara langsung dari masyarakaatnya. Khalifah Umar bin al-Khatthab ra. menggunakan momentum haji untuk bertanya kepada para delegasi haji ihwal walinya yang diangkat untuk melayani kepentingan mereka. Mereka pun bisa mengadukan apa saja yang hendak mereka adukan kepada sang Khalifah. Khalifah Umar pun biasa mengumpulkan para walinya dari berbagai wilayah pada musim haji (Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhaam al-Hukm fii al-Islaam, hml. 180).
AlLaahu Akbar! [Farid Wadjdi]