Opini

DPR Tak Empati

Bos Garuda Indonesia mengungkapkan DPR meminta 80 jatah kursi kelas bisnis di Garuda. Hal tersebut disampaikan oleh Sekjen DPR RI, Indra Iskandar melalui rapat dengar Komisi VI dengan pihak Maskapai Garuda. Kursi kelas bisnis itu diperuntukkan anggota yang akan berhaji.

Tentu permintaan DPR ini menuai sorotan tajam. ICW menyatakan bahwa seharusnya DPR itu malu dengan masyarakat. Masyarakat harus antri bertahun-tahun untuk bisa berangkat haji. Sebaliknya, anggota DPR bisa langsung berangkat haji melalui kelas bisnis. ICW menilai bahwa DPR sudah kehilangan rasa empati terhadap masyarakat.

Tentu sangatlah tidak pantas anggota DPR selaku wakil rakyat ingin mendapat fasilitas khusus haji. Bandingkan dengan rakyat yang mereka wakili. Di Propinsi DKI Jakarta, misalnya, pendaftar haji harus menunggu 19 tahun untuk bisa berangkat haji. Propinsi Jawa Barat 20 tahun, Jawa Tengah 22 tahun, Jawa Timur 24 tahun, DIY 23 tahun dan propinsi lainnya antara 15-20 tahun. Ini merupakan antrian yang lama bagi masyarakat.

Diketahui bahwa Komisi VI DPR itu adalah mitra dari Maskapai Garuda Indonesia. Artinya, ada penggunaan kewenangan bukan untuk kepentingan umum atau kepentingan negara seperti kunker (kunjungan kerja). Menurut Peneliti Formappi, tindakan DPR ini bisa termasuk gratifikasi. Hal demikian menjadi peluang terjadinya tindakan lainnya seperti korupsi dan kolusi.

Berkaca pada kunker DPR RI pada musim haji pada tahun 2010. Waktu itu Komisi VIII melakukan kunjungan pengawasan pelaksanaan haji. Banyak anggota DPR yang membawa suami atau istrinya sekalian berhaji. Bahkan anggota DPR yang hadir tidak hanya dari Komisi VIII yang berkepentingan melakukan pengawasan. Artinya, dalam tugas kedinasan saja, bisa terjadi penyalahgunaan kewenangan. Apalagi permintaan jatah 80 kursi kelas bisnis untuk hajinya DPR jelas bukan untuk kepentingan kedinasan.

Demikianlah potret dari para wakil rakyat dalam sistem sekuler demokrasi. Mereka lebih mementingkan kepentingannya dibandingkan kepentingan rakyat. Rasa empati terhadap penderitaan rakyat terasa lenyap dari benak dan perasaannya.

Sangat berbeda dengan penguasa, pejabat dan wakil rakyat dalam sistem Islam. Mereka menyadari posisinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat. Bukankah Nabi saw. telah menyatakan, “Sayyid al-qawm khaadimuhum (Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.)”

Khalifah Umar bin Khaththab ra., tatkala terjadi masa paceklik, beliau mendapatkan hadiah roti gandum. Lantas beliau mengatakan, “Biarlah saya orang pertama yang merasakan lapar tatkala rakyat kelaparan. Biarlah saya orang terakhir yang merasakan kenyang. Asalkan semua rakyat telah kenyang.” Beliau pun rela mengkonsumsi roti keras dengan minyak samin.

Begitu pula Khalid bin Walid ra. saat menjabat sebagai wali di Syam. Beliau tidak bergelimang dengan fasilitas dan kemewahan. Justru beliau hidup sederhana dan meninggal dalam kesederhanaan.

Rasulullah saw. pernah berwasiat agar pemimpin setelahnya berbuat baik dan memperhatikan Bani Abdu Qais. Bani Abdu Qois ibarat perwakilan rakyat yang menyampaikan koreksi kepada penguasa dan pemimpin.

Penguasa, pejabat dan majelis syura di dalam Islam sangatlah memahami fungsi mereka. Mereka akan senantiasa berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada rakyatnya. [Ainul Mizan ; Peneliti LANSKAP]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − 9 =

Back to top button