Fikih

Duta Dalam Islam

Soal:

Pertanyaan terkait Masyrû’u ad-Dustûr (Draft Konstitusi) Hizbut Tahrir. Pada Pasal 7 ayat e dinyatakan: “Negara akan melaksanakan hukum-hukum syariah dan semua perkara syariah, seperti muamalah, sanksi, kesaksian, sistem pemerintahan, sistem ekonomi dan lainnya terhadap Muslim dan non Muslim. Negara juga akan menerapkan hukum-hukum syariah secara sama terhadap semua orang mu’aahad dan musta’min serta semua orang yang hidup di bawah kekuasaan Islam sebagaimana diterapkan terhadap seluruh rakyat; kecuali duta, konsul dan semisalnya karena mereka memiliki kekebalan diplomatik.”

Pertanyaannya terkait duta. Realitanya, kadang ada duta yang bersifat temporer yang hanya tinggal sementara waktu kemudian kembali ke negara mereka, dan kadang ada duta yang tinggal di dalam wilayah Khilafah secara permanen. Apakah pasal ini berlaku terhadap kedua tipe duta tersebut?

Lalu jika salah seorang dari duta itu melakukan tindakan kriminal atau melakukan tindakan ilegal di luar wewenangnya sebagai duta, apakah dia akan diadili dan dihukum oleh Khilafah? Atau duta yang temporer dan duta permanen diperlakukan berbeda dalam masalah ini?

 

Jawab:

Berkaitan dengan pertanyaan Anda seputar duta permanen dan dua temporer, maka tidak ada perbedaan dari aspek syar’i di antara keduanya. Selama seseorang itu berlaku atas dirinya madluul (makna) kata rasûl (duta) maka dia memiliki kekebalan diplomatik selama dia tinggal di dalam Negara Khilafah tanpa ada perbedaan.

Dulu pada zaman Nabi saw., para Sahabat dan era berikutnya, belum ada duta permanen yang tinggal terus-menerus. Yang ada adalah duta-duta yang diutus untuk menyampaikan pesan, kemudian kembali ke negeri mereka. Artinya, mereka, menurut ungkapan Anda, adalah duta temporer. Kemudian muncullah duta permanen dan duta-duta di dunia akibat kompleksnya hubungan dan perlunya komunikasi kontinu di antara negara-negara serta adanya rakyat negaranya duta itu. Jadilah negara-negara itu menerima dibukanya kedutaan-kedutaan permanen milik negara-negara lain di dalam wilayahnya dan menerima penggunaan duta permanen yang bermukim di negara-negara itu.

Adapun sebelum itu maka dua atau utusan itu pergi sekali untuk menunaikan misi tertentu. Inilah yang dipahami dari hadis yang mulia terkait utusan. Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra. yang berkata:

جَاءَ ابْنُ النَّوَّاحَةِ وَابْنُ أُثَالٍ، رَسُولاَ مُسَيْلِمَة إِلَى النَّبي صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ لَهُمَا: أَتَشْهَدَانِ أَنِيّ رَسُولُ اللهِ؟ قَالاَ : نَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللهِ، فَقَالَ النَّبي صلى الله عليه وسلم: آمَنْتُ بالله وَرُسُلِهِ، لَوْ كُنْتُ قَاتِلا رَسُولا لَقَتَلْتُكُمَا، قَالَ عَبْدُ الله: قَالَ: فَمَضَتِ السُّنَّة أَنَّ الرُّسُلَ لاَ تُقْتَلُ

Ibnu an-Nawahah dan Ibnu Utsal, dua orang utusan Musailamah, pernah datang kepada Nabi saw. Lalu beliau bersabda kepada keduanya, “Apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” Keduanya berkata, “Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah rasulullah.” Lalu Nabi saw. bersabda. “Aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Andai aku boleh membunuh utusan, niscaya aku bunuh kalian berdua.” Abdullah berkata: Dia berkata, “Karena itu berlaku sunnah (ketetapan) bahwa para utusan itu tidak boleh dibunuh.” (HR Ahmad. Hadis ini dinilai hasan oleh al-Haitsami).

 

Jelas dari hadis ini bahwa pembicaraan itu adalah seputar dua orang utusan yang diutus oleh Musailamah al-Kadzdzab untuk sekali saja.

Adapun terkait hukuman terhadap duta dan utusan maka jawabannya ada dalam penjelasan Pasal 7 ayat e di dalam Muqaddimah ad-Dustûr. Berikut teksnya:

 

Adapun ayat e maka berkaitan dengan penerapan semua hukum Islam, dalilnya adalah apa yang sudah dijelaskan bahwa orang kafir dibebani dengan perkara pokok (al-ushûl), juga dibebani dengan perkara cabang (al-furû’), dan dituntut dengan semua hukum Islam. Ini bersifat umum mencakup kafir dzimmi dan selain kafir dzimmi, orang yang hidup di bawah kekuasaan Islam. Semua orang kafir yang masuk ke Darul-Islam baik dzimmi, mu’aahad atau musta’min, wajib diterapkan atas mereka hukum-hukum Islam, kecuali akidah dan semua perbuatan yang dinilai bagian dari akidah, dan semua perbuatan yang disetujui oleh Rasul saw atasnya. Hanya saja, dikecualikan dari hal itu duta dan orang yang termasuk duta. Hukum-hukum sanksi tidak diterapkan terhadap mereka. Mereka diberi apa yang disebut kekebalan diplomatik. Hal itu karena apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Mas’ud ra. yang berkata:

جَاءَ ابْنُ النَّوَّاحَةِ وَابْنُ أثالٍ، رَسُولاَ مُسَيْلِمَة إِلَى النَّبي صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ لَهُمَا: أَتَشْهَدَانِ أَنِيّ رَسُولُ اللهِ؟ قَالاَ: نَشْهَدُ أَنَّ مُسَيْلِمَةَ رَسُولُ اللهِ، فَقَالَ النَّبي صلى الله عليه وسلم: آمَنْتُ بالله وَرُسُلِهِ، لَوْ كُنْتُ قَاتِلا رَسُولاً لَقَتَلْتُكُمَا، قَالَ عَبْدُ اللهِ: قَالَ: فَمَضَتِ السُّنَّة أَنَّ الرُّسُلَ لا تُقْتَلُ

Ibnu an-Nawahah dan Ibnu Utsal, dua orang utusan Musailamah, pernah datang kepada Nabi saw. Lalu beliau bersabda kepada keduanya, “Apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” Keduanya berkata, “Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah rasulullah.” Lalu Nabi saw. bersabda. “Aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Andai aku boleh membunuh utusan, niscaya aku bunuh kalian berdua.” Abdullah berkata: Dia berkata, “Karena itu berlaku sunnah (ketetapan) bahwa para utusan itu tidak boleh dibunuh.” (HR Ahmad. Hadis ini dinilai hasan oleh al-Haitsami).

 

Hadis ini menunjukkan keharaman membunuh duta yang datang dari orang-orang kafir. Yang semisal pembunuhan itu adalah seluruh sanksi. Hanya saja, ini untuk orang yang pada dirinya berlaku sifat duta, seperti duta, dan pelaksana tugas dan orang yang sejenisnya. Adapun orang yang pada dirinya tidak berlaku sifat duta seperti konsul, wakil dagang dan semacamnya maka dia tidak memilki kekebalan semisal duta, karena padanya tidak berlaku sifat duta.

Hal itu merujuk pada konvensi (‘urf) internasional. Sebabnya, hal itu merupakan lafal istilahi yang realitanya merujuk pada ‘urf dan itu bagian dari bab tahqîq al-manâth, yakni penelusuran apakah ini dinilai termasuk duta atau tidak.

 

Jadi tidak adanya hukuman bunuh dan semua hukuman itu berlaku terhadap duta permanen dan duta serta utusan temporer selama realita ar-rasûl (duta/utusan) terpenuhi pada keduanya. Tidak ada perbedaan dalam topik tidak adanya hukuman di antara duta permanen dan duta temporer, karena keduanya adalah duta dan terhadapnya berlaku hukum-hukum duta dalam masalah sanksi.

Adapun tentang jika salah seorang dari duta itu melakukan tindakan kriminal atau melakukan tindakan ilegal di luar wewenangnya sebagai duta, apakah dia akan diadili dan dihukum oleh Khilafah? Atau duta yang temporer dan duta permanen diperlakukan berbeda dalam masalah ini?. Sungguh kami belum merinci realita sanksi-sanksi yang masuk dalam kekebalan dan sanksi-sanksi yang tidak masuk. Kami akan merinci ini dalam peraturan pelaksanaan untuk pasal-pasal konstitusi yang kami mulai. Kami memohon pertolongan Allah dalam menyempurnakan itu dalam waktu yang tepat, insya Allah.

Semoga dalam hal ini ada kecukupan. WalLâh a’lam wa ahkam. []

 

[Dikutip dari Jawab-Soal Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah tanggal  06 Shafar 1445 H – 22 Agustus 2023 M]

 

Sumber:

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/90511.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/849472483406789

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eleven + 5 =

Back to top button