Fokus

Kisruh UU/RUU Kontroversial

Jelang akhir masa jabatan DPR RI periode 2014-2019, anggota legislatif bergerak seperti kejar tayang untuk mengesahkan beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial yang masih pro dan kontra. Beberapa RUU kontroversial, antara lain: RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kemudian disahkan menjadi UU KPK, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Penghapusan Kekerasan seksual (PKS), dan RUU Pertanahan. Dari beberapa RUU kontroversial tersebut, Pemerintah dan DPR sepakat lebih awal mengesahkan UU KPK, sementara RUU yang lain ditunda dan akan membahas pada masa jabatan DPR periode 2019-2024.

 

Pasal-Pasal Kontroversi

UU KPK ramai mendapat penolakan disebabkan beberapa pasal yang berpotensi melemahkan KPK.1 Berikut beberapa pasal yang bisa melemahkan KPK.

  1. KPK tidak lagi independen. Pasal 1 angkat 7 meyatakan: Seluruh Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara yang terdiri dari Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
  2. Pembentukan Badan Pengawas. Pasal 37A ayat (1) menyatakan: Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk Dewan Pengawas. Ayat (2) menyatakan: Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga nonstruktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri. Ayat (3) menyatakan: Anggota Dewan Pengawas berjumlah 5 (lima) orang, 1 (satu) orang di antaranya ditetapkan menjadi ketua Dewan Pengawas berdasarkan keputusan hasil rapat anggota Dewan Pengawas.
  3. Kewenangan Berlebih Dewan Pengawas. Pasal 37 B ayat (1) huruf b menyatakan: Dewan Pengawas bertugas memberikan izin penyadapan dan penyitaan.
  4. KPK dapat menghentikan penanganan perkara. Pasal 40 ayat (1) menyatakan: Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.

 

RUU KUHP juga mendapat penolakan disebabkan adanya penilaian lebih berpihak pada kepentingan penguasa ketimbang kepentingan rakyat.2

  1. Hukum Adat. Pasal 1: (1) Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Pasal 2 ayat (1) menyatakan: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini. Ayat (2) menyatakan: Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
  2. Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 218 ayat (1) menyatakan: Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
  3. Aborsi. Pasal 470 menyatakan: Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Semua bentuk aborsi adalah pidana.
  4. Perzinaan. Pasal 417 ayat (1) menyatakan: Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II.
  5. Kumpul Kebo. Pasal 418 ayat (1) menyatakan: Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
  6. Pemeliharaan Hewan. Pasal 340C menyatakan: Dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang tidak mencegah hewan yang ada dalam penjagaannya yang menyerang orang atau hewan.
  7. Penggelandangan. Pasal 431 menyatakan: Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
  8. Alat Kontrasepsi. Pasal 414 menyatakan: Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
  9. Tindak pidana terhadap agama. Pasal 304 menyatakan: Setiap Orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

RUU Pertahanan pun ramai diperdebatkan disebabkan beberapa pasal yang terdapat dalam RUU Pertanahan membuka peluang swasta dan asing menguasai sebagian besar tanah di Indonesia.

  1. Hak Milik. Pasal 25 ayat (1) menyatakan: Hak Milik tidak dibatasi jangka waktunya dan dapat menjadi induk dari Hak Atas Tanah lain.
  2. Hidupkan praktik politik agraria zaman kolonial. Pasal 36 ayat (1) menyatakan: Hak Guna Bangunan diberikan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya. Ayat (2) menyatakan: Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan: a. keputusan pemberian hak dari Pemerintah jika tanahnya berasal dari Tanah Negara atau di atas tanah Hak Pengelolaan. Pasal 36 ini mewajibkan permohonan perpanjangan lima tahun sebelum hak atas tanah berakhir. Ketika satu tanah tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya, maka otomatis menjadi milik negara.
  3. Ancaman Kriminalisasi. Pasal 89 ayat (1) menyatakan: Dalam menyelesaikan sengketa pertanahan struktural, KNuPKA berwenang: a. melakukan tindakan mitigasi untuk menghentikan dampak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi akibat sengketa Pertanahan struktural.
  4. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Lembaga Yudisial. Pasal 93 ayat (1) menyatakan: Penyelesaian sengketa Pertanahan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti kerugian, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa. Ayat (2) menyatakan: Selain putusan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu tersebut setiap hari. 3

 

Demikian pula dengan RUU PKS. Ramai diperdebatkan karena beberapa pasal menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.

  1. Pelecehan Seksual. Pasal 12 ayat (1) menyatakan: Pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan. Rumusan pasal ini tidak jelas dan bisa berekses pada tafsir sepihak dan untuk mengkriminalisasi kritik moral masyarakat atas perilaku menyimpang. Kritik bertujuan untuk menjaga moralitas generasi bangsa sesuai nilai-nilai agama.
  2. Pemaksaan Aborsi. Pasal 15 menyatakan: Pemaksaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan. Dari definisi ini, aborsi boleh selama tidak ada unsur memaksa orang lain. Tingkat aborsi di luar nikah sangat tinggi, antara lain sebagai ekses perilaku seks bebas/seks di luar nikah.
  3. Pemaksaan Perkawinan. Pasal 17 menyatakan: Pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk menyalahgunakan kekuasaan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya sehingga seseorang tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan. Rumusan pasal ini memungkinkan seorang anak mengkriminalisasi orangtua yang menurut persepsinya memaksakan pernikahan. Padahal permintaan orangtua demi kebaikan anaknya.
  4. Pemaksaan Pelacuran. Pasal 18 menyatakan: Pemaksaan pelacuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf g adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain. Rumusan ini ditafsirkan bahwa pelacuran atas alasan apapun bertentangan dengan agama.
  5. Perbudakan Seksual. Pasal 19 menyatakan: Perbudakan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf h adalah Kekerasan Seksual yang dilakukan dalam bentuk membatasi ruang gerak atau mencabut kebebasan seseorang, dengan tujuan menempatkan orang tersebut melayani kebutuhan seksual dirinya sendiri atau orang lain dalam jangka waktu tertentu. Rumusan pasal ini harus diperjelas agar tidak merusak lembaga perkawinan yang memiliki norma tersendiri secara agama, terutama dalam hal kewajiban serta adab-adab hubungan seksual suami-istri yang sah.4

 

Konflik Kepentingan

Mudah dibaca adanya konflik kepentingan di balik kisruh UU/RUU kontroversial tersebut. Pengesahan UU KPK lebih dominan kepentingan politik ketimbang hukum. Analisis ini didasari kuatnya keinginan Pemerintah dan DPR untuk mengesahkan UU KPK. Pemerintah kompak mendorong pengesahan UU KPK. Setelah Presiden, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mendorong pengesahan UU KPK. Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko turut mendorong pengesahan UU KPK. Menurut Moeldoko,  Pemerintah setuju pengesahan UU KPK setelah melihat survei Kompas 44,9 persen masyarakat menyetujui revisi UU KPK. Apalagi keberadaan lembaga KPK bisa menghambat upaya investasi.5

Pemerintah dan DPR satu barisan mendorong pengesahan UU KPK. Sebaliknya, publik tidak setuju pengesahan UU KPK. Presiden dan DPR berkepentingan melemahkan KPK disebabkan ada beberapa menteri di era pemerintahan Jokowi telah terjerat masalah hukum, seperti: Idrus Marham (Menteri Sosial), Imam Nahrowi (Menteri Pemuda dan Olah Raga), dan lain-lain. DPR juga berkepentingan melemahkan KPK disebabkan sebagian anggota DPR dan Ketua Partai Politik telah terjerat masalah hukum, seperti Setya Novanto (Ketua partai Golkar), Muhammad Romahurmuziy (Ketua PPP), dan lain-lain. Getolnya Pemerintah dan DPR mengesahkan UU KPK bisa jadi karena banyak Pejabat Negara dan Petinggi Partai Politik yang telah menjadi pesakitan KPK. Pengesahan UU KPK tersebut berdampak positif bagi Pejabat Negara dan Petinggi Partai Politik, namun berdampak negatif bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pembahasan RUU KUHP juga telah menimbulkan pro dan kontra. Banyak kalangan menilai RUU KUHP berpihak pada kepentingan penguasa ketimbang kepentingan rakyat. Penilaian ini didasarkan pada rumusan beberapa pasal yang terdapat dalam RUU KUHP, seperti penghinaan presiden, makar, pidana dan denda terhadap gelandangan, kebebasan pers, krimininalisasi terhadap jurnalis, dan lain-lain. Pada bagian lain, RUU KUHP berupaya mengakomodir norma agama Islam dalam rumusan pasal dalam RUU KUHP, seperti penistaan agama, perzinahan, aborsi, larangan peragaan alat kontrasepsi didepan anak, kumpul kebo, dan lain-lain. Kelompok liberalis dan sekularis sepakat menolak norma agama Islam masuk dalam RUU KUHP. Mereka terus menolak pengesahan RUU KUHP. Majelis Ulama Indonesia dari Komisi Hukum, Ikhsan Abdullah setuju pengesahan RUU KUHP. Menurut Ikhsan Abdullah, urusan moral bukan hanya masalah pribadi, tetapi urusan Negara dan Pemerintah. Apabila tidak ada nilai-nilai moral maka masyarakat akan memiliki pemikiran liberal.6

RUU Pertanahan yang telah menimbulkan masalah besar karena rumusan materi pasalnya dinilai lebih berpihak pada pengusaha besar, bukan pada kepentingan rakyat kecil. Banyak kalangan berpendapat korporasi bermain dalam penyusunan RUU Pertanahan. Pakar Kehutanan UGM Yogyakarta, San Afri Awang mengemukakan bahwa pengusaha besar diuntungkan jika RUU Pertanahan segera disahkan. Misalnya, kawasan hutan yang sudah berubah menjadi kebun sawit dan belum beres perizinannya, akan diputihkan atau dilegalkan. San Afri Awang menambahkan, pembahasan RUU Pertanahan terkesan tertutup. Buktinya, banyak pihak yang terkait langsung belum dimintai pemikirannya, bahkan terkesan diabaikan. Model penyusunan rancangan undang-undang seperti ini tidak relevan lagi dengan era keterbukaan yang menginginkan segalanya transparan dan mengutamakan kepentingan rakyat.7

RUU Pertanahan lebih mengakomodasi kepentingan bisnis dan investasi perkebunan skala besar. Gusti Hardiansyah menambahkan bahwa monopoli swasta, perampasan tanah, penggusuran, termasuk impunitas bagi para pengusaha perkebunan skala besar banyak diatur dalam RUU Pertanahan ini tercermin kuat melalui hak pengelolaan instansi Pemerintah dan rencana bank tanah. Keberadaan kawasan hutan menjadi titik masuk dari proses pemutihan atas usaha perkebunan dan lainnya masuk ke dalam kawasan hutan, yang berpotensi menjadi penyebab berkurangnya kawasan hutan.8

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Dewi Kartika turut menilai RUU Pertanahan tidak berpihak kepada masyarakat kecil sesuai nilai agraria. RUU Pertanahan lebih berpihak kepada kapitalis karena lebih menguntungkan investor atau korporasi. Menurut Dewi Kartika, banyak pasal dalam RUU Pertanahan yang sangat merugikan petani dan masyarakat kecil, misalnya pada bab hak guna usaha, bab hak pengelolaan, dan bab reforma agraria.9

Pada bagian lain, Dewi Kartika menilai Pemerintah menganggap RUU Pertanahan sebagai program penataan aset dan akses. Padahal, banyak permasalahan yang tidak dijamin untuk diselesaikan dalam RUU Pertanahan. Berbagai rumusan baru mengenai hak atas tanah, pendaftaran tanah, bank tanah dan semacamnya tidak menjamin reforma agraria dan sangat parsial. Menurut Dewi Kartika, tidak adanya upaya Pemerintah melindungi hak masyarakat adat dan pembentukan bank tanah tidak sejalan dengan agenda reformasi agraria. Bahkan RUU Pertanahan jelas berwatak kapitalisme neoliberal.10

Pembahasan RUU PKS pun telah menimbulkan pro dan kontra karena rumusan materi pasalnya dinilai sarat dengan konsep Barat yang liberal. Analisis ini terkonfirmasi dari pernyataan Ketua DPR Bambang Soesatyo bahwa DPR mendapat tekanan dari negara-negara Eropa saat membahas pasal-pasal yang akan mengatur soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Negara-negara Eropa menghendaki agar pasal yang melarang LGBT dicabut. Bahkan negara-negara Eropa sampai mendatangi DPR untuk menolak pasal-pasal mengenai LGBT. Namun, DPR tetap mempertahankan pasal-pasal mengenai LGBT karena bertentangan dengan ajaran Islam. DPR tidak ingin negeri ini kehidupan bebas yang bertentangan dengan ajaran Islam.11

Kaum feminis terus mendorong pengesahan RUU PKS dengan alasan bukan hanya memberi rasa aman pada perempuan, tetapi juga bagian dari kapitalisasi. Memang, setiap kali usulan aturan bernuansa gender, maka tidak bisa dilepaskan dari kepentingan liberalisasi. Malangnya, kalangan penggemar ide gender terlalu menyederhanakan masalah yang berkaitan dengan perempuan. Kaum feminis berpandangan diskriminatif bila membahas soal kekerasan seksual. Kaum feminis menganggap kekerasan seksual terjadi karena ketimpangan relasi kuasa. Kaum feminis berambisi untuk mengubah paradigma patriarki dalam konstruksi sosial masyarakat Indonesia.12

 

Khatimah

Sesungguhnya kisruh UU/RUU kontroversial tersebut bisa diselesaikan apbila berbagai kalangan memahami akar permasalahannya. Ketidakjelasan landasan filosofis dan ideologis merupakan akar permasalahan suatu produk hukum sehingga menjadi kontroversial. Selama ini pembentukan suatu produk hukum masih berpusat pada kemampuan berpikir manusia yang lemah dan terbatas. Seharusnya pembentukan suatu produk hukum berpusat pada syariah Islam, aturan yang berasal dari Allah SWT. Apabila pembentukan suatu produk hukum berlandaskan filosofi dan ideologi Islam, maka tidak sulit untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan manusia. [Dr. Ardiansyah Syahab, SH, MH]

 

Catatan kaki:

1        5 Poin Revisi UU KPK yang Diduga Bakal Lemahkan Pemberantasan Korupsi, https://nasional.kompas.com/read/2019/09/06/06312461/5-poin-revisi-uu-kpk-yang-diduga-bakal-lemahkan-pemberantasan-korupsi?page=all.

2        11 Pasal Kontroversial RUU KUHP yang Picu Mahasiswa Bergerak, https://news.detik.com/berita/d-4719445/11-pasal-kontroversial-ruu-kuhp-yang-picu-mahasiswa-bergerak.

3        Lima Poin Kontroversial dalam RUU Pertanahan yang Akan Disahkan DPR, https://katadata.co.id/berita/2019/09/20/lima-poin-kontroversial-dalam-ruu-pertanahan-yang-akan-disahkan-dpr.

4        Jalan Pikiran PKS yang Menolak RUU PKS,  https://www.asumsi.co/post/jalan-pikiran-pks-yang-menolak-ruu-pks.

5        Alasan Pemerintah Tak Tunda Pengesahan Revisi UU KPK,  https://www.liputan6.com/news/read/4069799/alasan-pemerintah-tak-tunda-pengesahan-revisi-uu-kpk.

6        MUI Setuju dengan RUU KUHP tentang Perzinaan, https://nasional.republika.co.id/berita/py7crf354/mui-setuju-dengan-ruu-kuhp-tentang-perzinaan.

7        RUU Pertanahan Disebut Berpihak ke Kepentingan Pengusaha, https://ekbis.sindonews.com/read/1420829/34/ruu-pertanahan-disebut-berpihak-ke-kepentingan-pengusaha– 1563269100.

8        Pakar: RUU Pertanahan Sarat Kepentingan Bisnis dan Investasi, https://poskotanews.com/2019/08/06/pakar-ruu-pertanahan-sarat-kepentingan-bisnis-dan-investasi/.

9        KPA: RUU Pertanahan Cenderung Kapitalis, http://www.harnas.co/2019/09/03/kpa-ruu-pertanahan-cenderung-kapitalis.

10      KPA Sebut Banyak Masalah pada RUU Pertanahan, Apa saja? https://nasional.kompas.com/read/2019/09/09/17234231/kpa-sebut-banyak-masalah-pada-ruu-pertanahan-apa-saja.

11      Bamsoet Sebut DPR Dapat Tekanan Asing Soal Pasal LGBT di RUU KUHP, https://news.detik.com/berita/d-4714591/bamsoet-sebut-dpr-dapat-tekanan-asing-soal-pasal-lgbt-di-ruu-kuhp.

12      Pereempuan Tak Butuh UU PKS, https://alwaie.net/nisa/perempuan-tak-butuh-uu-pks/.

 

.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 − sixteen =

Check Also
Close
Back to top button