Cara Memiliki Tanah
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu (menjadi) miliknya. Tidak ada hak sedikit pun bagi penyerobot tanah orang lain secara zalim. (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan an-Nasa’i).
Hadis ini dikeluarkan dari riwayat Said bin Zaid oleh Imam at-Tirmidzi di dalam Jâmi’u al-Kabîr atau Sunan at-Tirmidzi hadis no. 1378; Imam Abu Dawud di dalam Sunan Abu Dâwud hadis no. 3073; dan Imam an-Nasai di dalam Sunan al-Kubrâ li an-Nasâ’i hadis no. 5729.
Imam at-Tirmidzi mengomentari: “Hadis ini hasan gharîb. Sebagian mereka meriwayatkan hadis ini dari Hisyam bin ‘Urwah, dari bapaknya, dari Nabi saw. secara mursal.”
Riwayat secara mursal ini dikeluarkan oleh Imam Malik di dalam Al-Muwatha’ hadis no. 26; Imam Syafii di dalam Musnad asy-Syafi’iy; Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf Ibni Abiy Syaybah hadis no. 22382; Ibnu Zanzawayh di dalam Al-Amwâl li Ibni Zanzawayh hadis no. 1053 dan 1054; an-Nasa’i di dalam Sunan al-Kubrâ li an-Nasâ’i hadis no. 5730; al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ hadis no. 11539, dan yang lainnya.
Muhammad bin Ishaq mengatakan: al-‘irqu azh-zhâlim engkau mendatangi tanah orang lain dan engkau menanam di situ.
Imam at-Tirmidzi mengatakan, Abu Musa Muhammad bin al-Mutsanna berkata: Aku bertanya kepada Abu al-Walid ath-Thayalisi tentang sabda Nabi, “Wa laysa li ‘irqin zhâlimin haqqun.” Ia lalu menjawab, “Al-‘Irqu adalah orang zalim yang menggasab, mengambil apa yang bukan miliknya.” Aku katakan, “Itu adalah laki-laki yang menanam di tanah orang lain?” Dia berkata, “Itu dia.”
Jadi, al-‘irqu azh-zhâlim adalah orang yang menanam sesuatu di tanah milik orang atau pihak lain secara zalim, yaitu tanpa izin pemiliknya. Termasuk di dalamnya, orang yang membangun, memanfaatkan atau menduduki dan semacamnya terhadap tanah milik orang atau pihak lain tanpa izin pemiliknya.
Hadis yang serupa dengan riwayat Said bin Zaid juga diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi saw. telah bersabda:
مَنْ أَحْيَى أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR Tirmidzi dan Abu Dawud).
Ummul Mukminin Aisyah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
مَنْ عَمَّرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ؛ فَهُوَ أَحَقٌّ بِهَا
Siapa saja yang memakmurkan tanah yang bukan milik siapapun maka dia lebih berhak atas tanah itu (HR al-Bukhari, Ahmad dan an-Nasa’i).
Juga diriwayatkan dari jalur al-Hasan al-Bashri, dari Samurah ra., bahwa Rasul saw. bersabda:
مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ
Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya (HR Ahmad, Abu Dawud, al-Baihaqi dan ath-Thabarani).
Riwayat ini diperselisihkan karena al-Hasan al-Bashri diragukan mendengar hadis ini dari Samurah. Karena itu sebagian ulama hadis menilai hadis ini lemah. Namun, riwayat ini menjadi hasan li ghayrihi karena dikuatkan oleh syâhid berupa riwayat dengan redaksi yang sama, yang dikeluarkan oleh Abdu bin Humaid di dalam Al-Muntakhab min Musnad Abdu bin Humaid hadis no. 1095, dari Muhammad bin Bisyrin al-‘Abdiy, dari Sa’id bin Abiy ‘Arubah, dari Qatadah, dari Sulaiman al-Yasykuri, dari Jabir bin Abdullah, dari Nabi saw.
Hadis-hadis ini menunjukkan hukum tentang cara memiliki tanah, yaitu bahwa orang yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya.
Imam at-Tirmidzi mengatakan setelah menyatakan riwayat Said bin Zaid di atas: “Amal berdasarkan hadis ini menurut sebagian ahlul ‘ilmi, yaitu pendapat Ahmad dan Ishaq. Mereka mengatakan, boleh menghidupkan tanah mati tanpa izin penguasa. Sebagian yang lain mengatakan, tidak boleh menghidupkan tanah mati kecuali dengan izin penguasa.” At-Tirmidzi berkata, “Pendapat pertama lebih shahih.”
Al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Ahwâdzi dan Syamsu al-Haqq al-‘Azhim Abu at-Thayib di dalam ‘Awn al-Ma’bûd mengutip al-Hafizh al-’Iraqi bahwa tanah mati adalah tanah yang tidak dihidupkan. Tanah itu disebut mati diserupakan dengan bangkai yang tidak dimanfaatkan. Hal itu karena tidak adanya pemanfaatan atas tanah tersebut (oleh seseorang) baik melalui aktivitas pertanian, berkebun, didirikan bangunan di atasnya atau yang semisal.
Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam an-Nizhâm al-Iqtishâdî menjelaskan, tanah mati (al-mawât) adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Menghidupkan tanah mati adalah dengan menanami tanah tersebut untuk tanaman pertanian atau perkebunan, yakni menggunakan tanah tersebut dalam bentuk penggunaan yang bisa menghidupkan tanah itu.
Ketentuan ini bersifat umum untuk tanah mati baik di wilayah tanah ’usyriyah maupun kharajiyah, baik yang menghidupkan tanah itu seorang Muslim atau kafir dzimmi. Hal itu karena hadis-hadis di atas bersifat umum dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Di dalam kitab Muqaddimah ad-Dustûr Jilid 2 Pasal 134 dijelaskan: Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa tanah mati, jika dihidupkan oleh seseorang atau dia pagari, yakni dengan menempatkan batu, tali/kawat atau pagar di sekitarnya maka dia memiliki tanah itu. Mafhuum-nya, jika bukan tanah mati maka tidak bisa dimiliki dengan menghidupkan atau memagarinya meskipun tidak ditanami atau tanah itu tidak layak untuk ditanami kecuali setelah diolah, juga meskipun tidak ada pemiliknya yang dikenal. Tanah itu, jika bukan tanah mati, maka tidak dapat dimiliki kecuali dengan sebab kepemilikan (jual beli, hibah, waris, dsb) jika ada pemiliknya yang dikenal; jika tidak ada pemilik yang diketahui maka tidak dapat dimiliki kecuali dengan pemberian oleh khalifah (negara). Adapun jika tanah mati maka dapat dimiliki dengan menghidupkan atau menguasainya meski bukan menghidupkannya. Tanah mati adalah tanah yang padanya tidak tampak pengaruh sesuatu berupa pagar, tanaman, bangunan atau lainnya, dan tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Inilah tanah mati. Selain itu bukan merupakan tanah mati meskipun tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun.
Di antara cara menghidupkan tanah mati itu adalah diawali dengan memagarinya. Siapa yang memagari tanah mati maka tanah mati itu menjadi miliknya. Hanya saja, dalam hal memagari tanah ini ada perbedaan pendapat di antara fukaha.
Aktivitas menghidupkan tanah mati itu adalah dengan memanfaatkannya. Hal itu bisa dilakukan dengan menggunakannya untuk bercocok tanam atau berkebun. Bisa juga dengan mendirikan bangunan di atasnya baik untuk tempat tinggal atau untuk keperluan yang lain.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]