Hadis Pilihan

Menampakkan Nikmat Allah

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللهَ يُحِبَّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ»

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah suka diperlihatkan (ditampakkan) pengaruh nikmat-Nya atas hamba-Nya.” (HR at-Tirmidzi no. 2819).

 

imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis ini dari jalur Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya. Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan.”

Dalam redaksi lainnya dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya, Rasul saw. bersabda:

«كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا فِي غَيْرِ سَرَفٍ وَلَا مَخِيلَةٍ إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّ أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ»

Makanlah, minumlah dan bersedekahlah bukan pada sarafin dan ada tidak kesombongan. Sesungguhnya Allah SWT suka melihat pengaruh nikmat-Nya atas hamba-Nya (HR al-Hakim no. 7188, Abu Dawud ath-Thayalisi di dalam Musnad Abu Dâwud ath-Thayalisi no. 2375, al-Baihaqi di Syu’ab al-Îmân no. 4251 dan al-Âdâb no. 488).

 

Imam al-Hakim berkata, “Hadis ini shahîh al-isnâd.” Namun, beliau berdua tidak men-­takhrîj-nya.

Imam adz-Dzahabi di dalam Talkhîsh adz-Dzahabi juga berkomentar: “(Hadis ini) shahîh.”

Suatu kali ‘Imran bin Hushain tampil memakai pakaian yang bagus dan indah, lalu ia bertutur: Rasulullah saw. pernah bersabda:

«إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا أَنْعَمَ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً أَنْ يُرَى أَثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَيْهِ»

Sesungguhnya Allah suka, saat memberikan nikmat kepada hamba-Nya, diperlihatkan bekas nikmat-Nya kepada hambanya itu (HR al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ no. 6093, ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabîr no. 281 dan Ahmad no. 19934. Redaksi al-Baihaqi).

 

Abu al-Ahwash ‘Awf bin Malik bin Nadhlah menuturkan dari bapaknya (menurut redaksi Abu Dawud), bahwa dia datang kepada Nabi saw. dengan pakaian yang tipis. Lalu beliau bertanya, “kamu punya harta?” Ia berkata, “Benar.” Beliau bertanya, “Harta apa?” Ia berkata, “Allah telah memberi aku unta, domba kuda dan budak.” Beliau kemudian bersabda:

«فَإِذَا آتَاكَ اللهُ مَالًا فَلْيُرَ أَثَرُ نِعْمَةِ اللهِ عَلَيْكَ، وَكَرَامَتِهِ»

Jika Allah memberi kamu harta maka hendaklah ditampakkan bekas nikmat Allah kepadamu itu dan kedermawanan-Nya (HR Abu Dawud no. 4063, an-Nasai no. 5223 5234, Ahmad no. 17229, Ibnu Hibban no. 5416, ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabîr no. 608 dan al-Hakim no. 65).

 

Ali Mula al-Qari di dalam Mirqâtu al-Mafâtîh Syarh Misykâti al-Mashâbîh menjelaskan hadis Amru bin Syuaib, “InnâlLâh yuhibbu an yurâ”, yakni yubshara wa yuzhhara (diperlihatkan dan ditampakkan); “atsaru ni’matihi”, yakni kebaikan-Nya dan kedermawanan-Nya; “’alâ ‘abdihi” (atas hamba-Nya). Jadi di antara mensyukuri nikmat itu adalah dengan menampakkan nikmat tersebut. Sebaliknya, di antara pengingkarannya (kufur nikmat) adalah dengan menutupi (menyembunyikan) nikmat tersebut.

Al-Muzhhiru berkata, “Artinya, jika Allah memberi seorang hamba nikmat dari sebagian nikmat dunia maka hendaklah dia menampakkan nikmat itu pada dirinya. Di antaranya dengan memakai pakaian yang pantas (bagus) dengan keadaannya untuk menampakkan nikmat Allah atas diri. Juga agar orang-orang yang membutuhkan bisa menjumpai dia untuk meminta zakat dan sedekah. Demikian juga ulama. Mereka hendaknya menampakkan ilmu mereka agar orang-orang mengambil manfaat dari mereka.”

Ibnu ‘Alan (w. 1057 H) di dalam Dalîl al-Fâlihîn li Turuq Riyâdh ash-Shâlihîn menjelaskan hadis Amru bin Syuaib, bahwa menampakkan keindahan dalam pakaian, sebagai tahaduts dengan nikmat Allah SWT, bukan untuk meninggikan diri (tarafu’) atas orang lain, juga bukan sebagai bentuk kesombongan, yaitu dengan memperluas amal kebaikan berupa hubungan kerabat, memberi makan orang yang lapar, menghilangkan kesulitan orang yang kesulitan dan selain itu.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani (w. 852 H) di dalam Fathu al-Bârî mengomentari hadis Abu al-Ahwash, “Artinya, dengan memakai pakaian yang pantas dengan keadaannya, yang berharga dan bersih, agar orang-orang yang membutuhkan mengenali dia untuk meminta dari dirinya. Tentu dengan tetap memperhatikan maksud dan meninggalkan al-isrâf. Ini sebagai pertemuan di antara dalil-dalil.”

Imam asy-Syawkani (w. 1250 H) menjelaskan di dalam Nayl al-Awthâr, “Di dalamnya bahwa disukai (mustahab) untuk orang kaya memakai pakaian yang pantas agar dengan itu dia menampakkan nikmat Allah atas dirinya. Sebabnya, pakaian merupakan penampilan yang paling membedakan antara orang kaya dan orang fakir. Siapa saja orang kaya yang memakai pakaian orang-orang fakir sehingga menjadi seperti mereka, maka ini bisa menjadi rancu bagi orang yang melihat dirinya. Akibatnya, dia dianggap termasuk orang fakir. Hal itu boleh jadi merupakan kufur nikmat-Nya atas dirinya. Zuhud dan tawadhu’ bukanlah pada tindakan memakai pakaian kefakiran dan kemiskinan. Sebabnya, Allah SWT menghalalkan yang baik-baik untuk hamba-Nya. Allah SWT tidak menciptakan untuk mereka pakaian yang baik kecuali untuk dipakai selama tidak ada nas yang mengharamkannya. Di antara faedah menampakkan atsar kekayaan adalah agar orang-orang yang punya kebutuhan mengetahui dia sehingga mereka akan menjumpai dirinya untuk memenuhi kebutuhan mereka.”

Hanya saja, tawadhu’ karena Allah dalam penampilan, yakni tidak menampakkan kemewahan, meski mampu, adalah mandûb. Muadz bin Anas al-Juhani menuturkan dari bapaknya, bahwa Rasul saw. pernah bersabda:

«مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللهُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا»

Siapa saja yang meninggalkan pakaian (bagus) sebagai ketawadhuan karena Allah, sementara dia mampu untuk itu, Allah akan memanggil dia pada Hari Kiamat di atas kepala para makhluk sampai Allah memberi dia pilihan dari pakaian iman yang ingin dia pakai (HR at-Tirmidzi no. 2481, Ahmad no. 15631, al-Hakim no. 7372, al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ no. 6101).

 

Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan.” Al-Hakim berkata, “Hadis ini shahîh al-isnâd.” Namun, keduanya (al-Bukhari dan Muslim) tidak men-takhrîj- hadis tersebut.

Adz-Dzahabi di dalam Talkhîsh adz-Dzahabi berkomentar: “(Hadis ini) shahîh.

Alhasil, disyariatkan untuk menampakkan nikmat Allah dalam hal penampilan (pakaian dan sejenisnya) termasuk makanan dan minuman, dengan memperhatikan kepantasan sesuai dengan keadaan dan lingkungan sekitar, tanpa bermaksud riya’, sombong dan membanggakan diri; juga tanpa dibuat-buat dan memaksakan diri (takalluf). Disyariatkan pula menampakkan nikmat itu secara maksimal melalui berbagai aktivitas kebaikan.

 

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fourteen + thirteen =

Back to top button