Pemberian Negara
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَتْ: كُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِي أَقْطَعَهُ رَسُولُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رَأْسِي، وَهِيَ مِنِّي عَلَى ثُلُثَيْ فَرْسَخٍ
Dari Asma binti Abu Bakar ra, Ia berkata, “Aku membawa biji dari tanah Zubair yang diberikan oleh Rasulullah kepada dia di atas kepalaku. Jaraknya tiga farsakh dariku.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban).
Imam al-Bukhari menambahkan: Abu Dhamrah berkata dari Hisyam dari bapaknya (yakni ‘Urwah bin Zubair):
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْطَعَ الزُّبَيْر أَرْضًا مِنْ أَمْوَالِ بَنِي النَّضِيرِ
“Nabi saw. memberi Zubair tanah dari harta Bani Nadhir.” (HR al-Bukhari).
Diriwayatkan juga dari Amru bn Huraits ra. Ia berkata:
خَطَّ لِي رَسُولُ الله صلى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -دَارًا بِالْمَدِينَةِ بِقَوْسٍ وَقَال: أَزِيدُكَ
Rasulullah saw. menetapkan untukku rumah di Madinah dengan anak panah. Beliau bersabda, “Aku tambahi engkau.” (HR Abu Dawud).
Imam asy-Syaukani di dalam Nayl al-Awthâr mengatakan, hadis Amru bin Huraits didiamkan oleh Abu Dawud dan al-Mundziri; dinilai hasan oleh al-Hafizh (Ibnu Hajar al-‘Ashqalani).
‘Alqamah bin Wail meriwayatkan dari Wail bin Hujrin ra.:
أَنَّ النَّبي-صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّم-أَقْطَعَه أَرْضًا بِحَضْرَمَوْتَ
Nabi saw. memberi dia tanah di Hadhramaut (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, di-shahih-kan oleh Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi).
Imam as-Sindi mengatakan: ‘aqtha’a az-Zubaira yakni memberi dia tanah. Dikatakan: qatha’a al-imâm ardh[an] lahu wa aqtha’ahu iyyâha, yakni jika Imam (Khalifah) memberi dia tanah. Ini lebih umum dari pemindahan kepemilikan. Iqthâ’ itu berupa pemindahan kepemilikan dan lainnya.
Imam an-Nawawi di dalam Syarhu Shahîh Muslim menjelaskan hadis di atas—dan ini mengandung dalil—kebolehan Imam (Khalifah) memberikan tanah milik Baitul Mal. Jadi tanah itu tidak dimiliki oleh seorang pun kecuali dengan iqthâ’ oleh Imam.
Kadangkala Imam memberikan fisiknya dan memindahkan kepemilikan kepada seseorang yang dia pandang dengan pemberian itu ada kemaslahatan. Jadi dia boleh memberikannya dan memindahkan kepemilikannya. Ini sebagaimana boleh memindahkan kepemilikan apa yang dia berikan berupa dirham, dinar atau selainnya jika dia memandang di dalamnya ada kemaslahatan. Kadangkala pula Imam memberikan manfaatnya sehingga orang yang diberi berhak memanfaatkannya selama masa iqthâ’.
Imam asy-Syaukani di dalam Nayl al-Awthâr menyatakan, “Hadis-hadis bab tersebut di dalamnya ada dalil bahwa boleh bagi Nabi saw. dan para imam (khalifah) sesudah beliau untuk memberikan tanah dan mengkhususkan sebagian tanpa sebagian yang lain.”
Imam Ibnu az-Zanjawaih di dalam Al-Amwâl li Ibni az-Zanjawaih meriwayatkan hadis nomor 1012 dari Bilal bin Harits al-Muzani, “bahwa Rasulullah saw. pernah memberi dia al-‘Aqiq semuanya.”
Pada hadis nomor 1013 dari Ikrimah mawla Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Nabi saw. pernah memberi Bilal bin Harits al-Muzani tambang al-Qabaliyyah, dataran tinggi dan rendahnya, serta yang layak untuk pertanian dari Quds.”
Lalu pada nomor 1014 dari Abu Ishaq ra., ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memberi al-Furat bin Hayyan al-‘Ijliy tanah di Yamamah.”
Bahkan Rasulullah saw. pernah memberikan tanah yang belum di-futuhat. Diriwayatkan oleh Ibnu Saad di dalam Thabaqât al-Kubrâ dan Abu Ubaid di al-Amwal, bahwa Nabi saw. pernah memberikan Baitu Ibrahim (tanah di Palestina) kepada Tamim ad-Dari. Beliau menuliskan pemberian itu dalam dokumen. Ketika Palestina di-futuhat pada masa Umar bin al-Khaththab ra., pemberian itu baru terlaksana secara riil berdasarkan dokumen pemberian Rasul saw. kepada Tamim ad-Dari itu. Tanah itu terus berada di tangan anak keturunan Tamim ad-Dari.
Imam Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf Ibni Abi Syaybah meriwayatkan hadis nomor 33025 dari Urwah bin az-Zubair bahwa: “Nabi saw. pernah memberi Zubair sebagian tanah Bani Nadhir yang ada pohon kurmanya. Abu Bakar memberi Zubair al-Jarfa dan Umar memberi dia al-‘Aqiq semuanya.”
Di dalam hadis nomor 33028 dari Musa bin Thalhah dinyatakan bahwa: “Utsman pernah memberi tanah kepada Ibnu Mas’ud, Sa’ad, Zubair, Khabab dan Usamah bin Zaid.”
Di dalam hadis nomor 33029 dinyatakan bahwa: “Umar pernah memberi Ali ra. Yanba’ dan menambahinya dengan yang lain.”
Hadis nomor 33032 juga menyatakan bahwa: “Nabi saw. pernah memberi Ali al-Qafizain dan itu tanah lapang dan pohon.”
Masih banyak riwayat bahwa Nabi saw. pernah memberi tanah kepada orang-orang. Begitu juga Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab dan Utsman bin ‘Affan.
Nabi saw. juga pernah memberikan harta lain milik Baitul Mal, selain harta zakat, kepada orang-orang baik berupa uang Dinar dan Dirham atau harta lainnya. Begitu juga Khulafaur Rasyidun sesudah beliau. Khalifah Umar ra., misalnya, pernah memberi para petani di Irak harta untuk menanami tanah mereka, dan memenuhi kebutuhan mereka tanpa memintanya kembali.
Abu Bakar ra., ketika menjadi khalifah, pernah memberikan pemberian (al-‘athâ`) semacam tunjangan tahunan kepada rakyat. Khalifah Abu Bakar memberi mereka secara sama. Ketika Umar bin al-Khaththab menjabat khalifah, ia melanjutkan pemberian di masa Abu Bakar itu, namun tidak secara sama jumlahnya, melainkan secara tidak sama dengan memperhatikan beberapa faktor. Bahkan Khalifah Umar kemudian menuliskan daftar pemberian itu di dalam Diwân. Pemberian dan pencatatan di dalam Diwân ini terus berlanjut pada masa-masa sesudahnya.
Hanya saja para ulama menggunakan istilah al-iqthâ’ hanya untuk pemberian berupa tanah atau properti. Untuk pemberian berupa harta selain tanah digunakan istilah al-‘athâ’, atau al-i’thâ`u, atau i’thâ`u al-Imâm, yakni i’thâ`u ad-dawlah.
Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm menyatakan, apa yang diberikan oleh negara kepada individu ini menjadi miliknya dengan pemberian (al-iqthâ’) ini. Sebabnya, jamaah memerlukan kepemilikan ini untuk dimanfaatkan dan memudahkan individu untuk pemanfaatan ini dan menggunakan aktivitas pikiran atau fisik untuk jamaah, disebabkan kepemilikan ini. Penggunaan lafal al-iqthâ’ di sini adalah penggunaan secara bahasa dan fikih.
Tampak jelas bahwa dengan pemberian oleh negara dari harta milik Baitul Mal, baik dalam bentuk harta tanah atau properti (al-iqthâ’u) atau selain tanah atau properti (al-i’thâ‘u), membuat harta yang diberikan itu menjadi milik individu yang diberi.
Dengan demikian pemberian negara itu menjadi salah satu sebab kepemilikan harta bagi individu yang diberi, baik Muslim maupun non-Muslim.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]