Hadis Pilihan

Syubhat Kebolehan Kanz al-Maal

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، قَالَتْ: كُنْتُ أَلْبَسُ أَوْضَاحًا مِنْ ذَهَبٍ، فَقُلْت: يا رَسُولَ الله، أَكَنْزٌ هُوَ؟ فَقَالَ: مَا بَلَغَ أَنْ تُؤَدَّى زَكَاتُهُ، فَزُكِّيَ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ

Dari Ummu Salamah ra., ia berkata, “aku memakai perhiasan emas. Lalu aku berkata, “Ya Rasulullah, apakah ini termasuk al-kanzu?” Beliau menjawab, “Apa yang sampai (kadar) untuk ditunaikan zakatnya lalu dizakati maka bukan al-kanzu.”  (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi).

 

Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud di dalam Sunan Abî Dâwud no. 1564; Imam al-Baihaqi di dalam Sunan ash-Shaghîr no. 1201, Sunan al-Kubrâ no. 7550 dan Ma’rifah as-Sunan wa al-آtsâr no. 8295.

Dalam riwayat lainnya, redaksi jawaban Rasul saw. adalah:

إِذَا أَدَّيْتِ زَكَاتَهُ فَلَيْسَ بِكَنْزٍ

Jika engkau menunaikan zakatnya maka bukan al-kanzu (HR al-Hakim di dalam al-Mustadrak no. 1438, ad-Daraquthni di dalam Sunan ad-Daraquthni no. 1950, ath-Thabarani di  dalam Mu’jam al-Kabîr no. 613 dan Musnad asy-Syâmiyîn no. 2287, al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ no. 7234).

 

Imam al-Hakim berkomentar, “Hadis ini shahih menurut syarat al-Bukhari, tetapi keduanya tidak mengeluarkannya.”

Dalam semua riwayat tersebut, salah satu perawinya adalah Tsabit bin ‘Ajlan. Ada perbedaan pendapat tentang status sosok ini. Tsabit bin ‘Ajlan termasuk rijal Shahih al-Bukhari dan Muslim. Al-Hafizh adz-Dzahabi (w. 748 H) di dalam Mizân al-I’tidâl fî Naqdi ar-Rijâl menggambarkan, bahwa ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Ma’in dan an-Nasa’i.

Imam Ahmad berkata, “Saya tawaquf tentang dia.”

Abu Hatim berkata, “Ini shâlih al-hadîts.” Ibnu ‘Adi menyebutkan dia dan tiga hadis yang ghariib (asing) dari dirinya. Ad-Duhaim berkata. “Laysa bihi ba`s[un] (tidak ada masalah dengan dia).”

Namun, al-‘Uqaili menyebutkan dia di dalam bukunya Adh-Dhu’afâ`, “Lâ yutâba’u fî hadîtsihi (Tidak diikuti hadisnya). Di antara yang diingkari adalah hadis ‘Attab bin Basyir (hadis di atas).”

Al-Hafizh ‘Abdul Haqq berkata, “Tsâbit lâ yuhtaju bihi (Tsabit, tidak ber-hujjah dengan dia).”

Abu al-Hasan bin al-Qathan mengomentari pendapat al-‘Uqaili: “Ucapan al-‘Uqaili tentang dia berlebihan. Tidak lain, bisa disentuh dengan (penilaian) ini orang yang tidak dikenal dengan tsiqah. Adapun orang yang dikenal dengan tsiqah, meski sendirian, tidak membahayakan.” Aku (adz-Dahabi) berkata, “Orang yang dikenal dengan tsiqah, benar. Adapun orang yang di-tsiqah-kan, tetapi Imam Ahmad menggambarkan dia dengan tawaquf dan Abu Hatim menggambarkan dia shâlih al-hadîts, maka kami tidak menaikkan dia ke derajat tsiqah. Dengan demikian, ia dinilai mungkar. Jadi lebih raajih ucapan al-‘Uqaili dan Abdul Haqq.”

Demikianlah, keshahihan hadis ini diperselisihkan. Al-‘Uqaili, Ibnu ‘Adi dan al-Hafizh Abdul Haqq menilai hadis ini lemah. Al-Hafizh adz-Dzahabi di dalam Mizân al-I’tidâl me-raajih-kan penilaian ini. Ibnu Abdil Barr menilai, dalam sanadnya ada masalah. Imam al-Hakim dan Ibnu al-Qathan menilai hadis ini shahih. Ibnu Daqiq al-‘Ayd menguatkannya. Abu Dawud tidak mengomentari hadis ini. Ini mengisyaratkan statusnya hasan. Mulla Ali al-Qari di dalam Mirqâtu al-Mafâtîh Syarhu Misykâti al-Mashâbîh menilai hadis ini shahih. Al-Mubarakfuri di dalam Mir’âtu al-Mafâtîh Syarhu Misykâti al-Mashâbîh menilai hadis ini minimal hasan, dan bahkan shahih.

Kata Awdhâh, di dalam an-Nihâyah disebutkan awdhâh, bentuk jamak dari wadhah, yaitu satu jenis perhiasan terbuat dari perak. Disebut demikian karena putihnya. Menurut Badruddin al-‘Ayni di dalam Syarhu al-bukhârî li al-‘Ayni, lantas juga digunakan menyebut perhiasan dari emas.

Terlepas dari perbedaan penilaian statusnya, hadis ini bukan dalil bahwa boleh kanzul-mal (menimbun harta) selama dizakati adalah boleh. Hal itu karena dua alasan. Pertama, hadis ini dinyatakan sebagai jawaban pertanyaan tentang topik tertentu. Artinya, ia harus dibatasi pada topik pertanyaan yang untuk itu jawaban dalam hadis ini dinyatakan. Hadis ini tidak bersifat umum, mencakup apa saja.  Sebabnya, lafalnya berkaitan dengan pertanyaan, yakni topik pertanyaan itu, dan ditujukan untuk topik itu. Dengan demikian hadis ini bersifat khusus dan terbatas untuk topik itu saja. Tidak mencakup yang lain. Topik pertanyaannya adalah perhiasan yang dipakai wanita. Karena itu, hadis ini  meski bersifat umum, ia terbatas pada topik perhiasan yang dipakai wanita. Jadi berlaku secara umum mencakup perhiasan emas atau perak apapun bentuk dan jenisnya dan wanita siapapun yang memakainya.

Kedua, ayat al-kanzu umum untuk semua kanzu; emas, perak dan uang apapun bentuk dan jenisnya. Hadis ini khusus pada perhiasan wanita. Jadi hadis ini mengkhususkan ayat tersebut, bahwa al-kanzu yang haram adalah pada selain perhiasan wanita (al-hulliy). Adapun perhiasan maka tidak ada halangan untuk al-kanzu jika dikeluarkan zakatnya. Hadis ini tidak mungkin bersifat umum untuk semua bentuk al-kanzu. Sebabnya, jika demikian maka dia me-nasakh ayat al-kanzu yang juga bersifat umum. Padahal hadis ini bersifat zhanni, sementara ayat al-kanzu bersifat qath’i tsubuut. Hadis yang zhanni tidak bisa me-nasakh ayat al-Quran.

Dengan demikian, hadis ini hanya khusus dengan perhiasan yang dipakai wanita. Menyimpan perhiasan wanita yang terbuat dari emas atau perak tidak dinilai al-kanzu jika ditunaikan zakatnya. Jadi ini merupakan takhshiish untuk keumuman ayat bahwa kanzu emas, perak dan uang adalah haram, kecuali perhiasan (al-hulliy); ia boleh disimpan jika dikeluarkan zakatnya.

Adapun riwayat bahwa “mâ udiyat zakâtuhu fallaysa bi kanzin (apa yang dikeluarkan zakatnya maka bukan al-kanzu)”, yang raajih pernyataan itu merupakan ucapan Abdullah bin Umar, Ibnu Abbas atau Jabir. Ucapan Sahabat bukan dalil syariah sehingga tidak dapat menkhususkan ayat al-kanzu.

Atas dasar semua itu, menimbun (kanz) emas atau perak, selain dalam bentuk perhiasan wanita, dan menimbun uang adalah haram, sekalipun dikeluarkan zakatnya. Pengeluaran zakat sendiri tidak ada hubungannya dengan kanzul-mal. Adapun menyimpan perhiasan emas dan perak, selama dikeluarkan zakatnya jika sudah memenuhi nishab dan haulnya, maka bukan al-kanzu, dan hal itu dikecualikan dari ketentuan hukum ayat al-kanzu.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × five =

Back to top button