Hadis Pilihan

Upah Harus Jelas

وَمَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَلْيُعْلِمْه أَجْرَه

Siapa saja yang mempekerjakan seorang pekerja, hendaklah memberitahu dia upahnya. (HR al-Baihaqi, Abu Hanifah).

Hadis ini diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ dari jalur Abdullah bin al-Mubarak, dari Abu Hanifah. Selanjutnya Abu Hanifah dari Hammad, dari Ibrahim an-Nakha’i, dari al-Aswad, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw.

Juga diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudzri ra.:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَن اسْتِئْجَارِ الْأَجِيرِ، يَعْنِي حَتَّى يُبَيِّنَ لَه أَجْرَه

Nabi saw. melarang mempekerjakan seorang pekerja sampai dia menjelaskan kepada dia upahnya (HR Ahmad, Abu Dawud di dalam al-Marâsil dan al-Baihaqi di Sunan al-Kubrâ).

 

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Ibrahim an-Nakha’I, dari Abu Said al-Khudzri. Imam al-Baihaqi mengatakan, ini termasuk mursal sebab Ibrahim an-Nakha’i tidak berjumpa dengan Abu Said al-Khudzri.

‘Abdurrazaq meriwayatkan di dalam Mushannaf-nya dari Ma’mar dan ats-Tsawri, dari Hammad, dari Ibrahim an-Nakha’i, dari Abu Hurairah ra. dan Abu Said al-Khudzri ra., atau salah satunya bahwa Nabi saw. bersabda:

مَنْ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا، فَلْيُسَمِّ لَهُ أُجْرَتَه

Siapa saja yang mempekerjakan pekerja, hendaklah dia sebutkan upah untuk dirinya (HR Abdurrazaq).

 

Riwayat ini, sebagaimana penjelasan para ulama, termasuk riwayat mursal pada selain Sahabat. Pasalnya, Ibrahim an-Nakha’i tidak berjumpa dengan Abu Hurairah ra. dan Abu Said al-Khudzri ra.

Ibnu Abi Hatim menyatakan di dalam Al-‘Ilal bahwa Abu Zur’ah menilai riwayat Hammad bin Abiy Sulaiman dari Ibrahim an-Nakha’I, dari Abu Said al-Khudzri, yang benar adalah mawquf pada Abu Said al-Khudzri.

Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan hadis ini  dari Abu Hurairah ra. dan Abu Said al-Khudzri ra. secara mawquf. Namun, ada riwayat lainnya bersifat marfu’ sampai kepada Nabi saw. Hanya saja, pada kebanyakan riwayatnya secara mursal pada selain Sahabat atau munqathi’. Pasalnya, Ibrahim an-Nakha’i tidak berjumpa Abu Hurairah ra. dan Abu Said al-Khudzri ra. Namun, dalam riwayat al-Baihaqi dan Abu Hanifah, hadis tersebut diriwayatkan secara bersambung (muttashil); Ibrahim meriwayatkan hadis tersebut dari al-Aswad, dari Abu Hurairah ra.

Rasul saw. juga bersabda:

أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ، قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُه

Berilah ajir upahnya sebelum kering keringatnya (HR Ibnu Majah, al-Baihaqi, ath-Thabarani, Ibnu Zanjawayh, al-Qudha’iy, al-Hakim at-Tirmidzi, Tamam bin Muhammad).

 

Hadis ini diriwayatkan dari banyak jalur yang tidak kosong dari perawi dha’if atau layin. Namun, riwayat-riwayat itu dapat dinilai saling menjadi syahid dan tabi’. Dengan demikian makna hadis ini dapat diterima sebagai hujjah. Apalagi riwayat ini maknanya dinyatakan dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda:

قَالَ الله تَعَالَى: ثَلاَثَةٌ أنا خَصْمُهُمْ يَوْمَ القِيَامَة، رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ، وَرَجُلٌ باع حرا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفىَ مِنْهُ وَلمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

Allah SWT berfirman: Ada tiga golongan yang Aku perkarakan pada Hari Kiamat: seseorang yang memberi (perjanjian atau sumpah) karenaku, lalu dia melanggar; seseorang yang menjual orang merdeka dan dia memakan harganya; seseorang yang mempekerjakan seorang  pekerja dan pekerja itu telah menunaikan pekerjaannya, tetapi dia tidak memberinya upahnya (HR al-Bukhari).

 

Hadis di atas memerintahkan agar upah itu diberitahukan atau disebutkan kepada pekerja sebelum dia mulai pekerjaannya. Artinya, upah itu diperintahkan agar jelas pada saat dilakukan akad kerja.

Dalam satu riwayat, Nabi saw. melarang mempekerjakan seorang pekerja sampai upahnya jelas. Namun, larangan ini tidak berkonsekuensi pada batilnya akad ijarah jika upahnya tidak jelas atau tidak disebutkan pada saat akad. Sebaliknya, akad ijarah-nya tetap sah.

Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdî menyatakan, “Hanya saja jika upah tidak jelas, ijarah tetap terakadkan dan sah. Ketika ada perselisihan dalam kadar upah maka kembali pada upah yang semisal (ajru al-mitsliy). Jadi jika tidak disebutkan upah ketika akad ijarah atau berbeda pendapat antara majikan dan pekerja tentang upah yang disebutkan, maka kembali pada upah yang semisal. Hal itu di-qiyas-kan pada mahar. Ketika mahar tidak disebutkan atau berbeda pendapat atas mahar yang disebutkan maka kembali pada mahar yang semisal (mahru al-mitsliy). Hal itu karena apa yang diriwayatkan oleh an-Nasai dan at-Tirmidzi dan ia berkata hasan shahih dari Ibnu Mas’ud bahwa: Ia pernah ditanya tentang laki-laki yang menikahi seorang perempuan dan belum menetapkan mahar untuk dirinya, sementara dia belum berhubungan dengan dirinya sampai dia meninggal. Ibnu Mas’ud berkata, “Untuk perempuan itu mahar yang semisal mahar perempuan lainnya, tidak lebih tidak kurang, dan dia wajib ‘iddah dan berhak atas waris.” Lalu Ma’qil bin Sinan al-Asyja’i berdiri dan berkata, “Rasulullah saw. memutuskan untuk Birwa’a binti Wasyiq, seorang perempuan dari kami, semisal yang engkau putuskan.”  Ibnu Mas’ud gembira karenanya (HR an-Nasa’i dan at-Tirmidzi).

Makna “untuk dirinya shadâq nisâ`ihâ” adalah mahar yang semisal dengan mahar perempuan lainnya. Jadi asy-Syari’ mewajibkan mahar yang semisal untuk orang yang belum disebutkan mahar untuk dirinya. Semisal itu pula jika berbeda pendapat tentang mahar yang disebutkan.

Karena mahar merupakan imbalan yang lazim (wajib) yang menjadi konsekuensi akad nikah, maka di-qiyas-kan padanya setiap imbalan yang wajib (lâzim) yang menjadi konsekuensi suatu akad tanpa memperhatikan tentang kompensasi imbalan ini apakah berupa harta seperti jual-beli, atau manfaat atau tenaga seperti ijarah, atau nihlah seperti dalam akad nikah.  Atas dasar itu maka diputuskan padanya dengan imbalan yang semisal dalam kondisi imbalan itu tidak disebutkan di dalam akad atau ada perselisihan tentang imbalan yang disebutkan.

Dengan demikian, jika upah tidak disebutkan di dalam akad atau tidak jelas maka akad ijarah itu tetap sah. Dalam hal itu atau jika terjadi perbedaan tentang upah yang disebutkan (disepakati) maka kembali pada upah yang semisal/sepadan. Upah yang semisal/sepadan itu ditetapkan oleh ahli dengan memperhatikan pekerjaannya, pekerjanya, waktu dan tempat.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × 3 =

Back to top button