Hiwar

Chandra Purna Irawan, S.H.: Dengan Hukum Syariah, “Markus” Mudah Diberangus

Pengantar:

Dunia peradilan dan penegakan hukum di Indonesia telah lama didera banyak kasus. Salah satunya adalah fenomena kemunculan “markus” alias “makelar kasus”. Markus melibatkan hampir semua yang terlibat di dunia peradilan dan penegakan hukum. Mulai dari polisi, jaksa, hakim, bahkan hingga pengacara. Akibatnya jelas. Hukum seperti dipermainkan. Pihak yang kuat bisa mengalahkan pihak yang lemah. Keadilan seolah hanya milik penguasa, pejabat atau orang kaya. Sebaliknya, rakyat kecil acapkali sulit untuk mendapatkan keadilan.

Pertanyaannya: Mengapa semua ini bisa terjadi? Apa akar penyebabnya? Bagaimana pula solusinya secara mendasar dan tuntas? Bagaimana pula Islam mengatasi ragam persoalan di dunia peradilan dan penegakan hukum yang makin kompleks saat ini?

Itulah di antara pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada Ketua LBH PELITA UMAT, Chandra Purna Irawan, S.H. Berikut wawancara lengkapnya.

 

Bung Chandra, kembali marak terungkap “makelar kasus”. Mengapa ini terjadi?

Makelar kasus (markus) pada hakikatnya mencerminkan pengertian intervensi terhadap suatu proses administrasi, dalam hal ini proses penegakan hukum. Saya perlu meluruskan makelar kasus tidak identik dengan pengadilan saja. Potensi makelar kasus dapat saja terjadi dari mulai lawyer, polisi, KPK, jaksa dan pengadilan. Dari 5 (lima) penegak hukum, yang memiliki kewenangan untuk menetapkan tersangka, menangkap dan menahan adalah polisi, KPK dan jaksa. Sebaliknya, hakim dan lawyer tidak memiliki kewenangan tersebut. Seandainya terjadi makelar kasus di Kepolisian dan Kejaksaan, yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang menindak?

 

Apa yang menyebabkan “makelar kasus” seperti benang kusut yang susah diberantas?

Karena kita menerapkan “civil law system” dan “common law system”. Pada sistem ini alur proses penegakan hukum yang begitu panjang, misalnya proses penyelidikan dan penyidikan pada tahap Kepolisian, dapat memakan waktu berbulan-bulan. Kadang bisa sampai satu tahun. Bergantung pada tingkat kesulitan. Kemudian pada tahap di Kejaksaan, ditambah lagi pada proses pengadilan, dapat memakan waktu bertahun-tahun. Alur yang panjang tersebut dapat memungkinkan terjadinya proses transaksional.

 

Bagaimana modus-modus makelar kasus yang selama ini marak terjadi?

Modus itu beragam. Bergantung pada alur proses hukum. Misalnya, pada tahap penyelidikan dan penyidikan, pelimpahan di Kejaksaan dan Pengadilan. Misalnya mengurangi alat bukti (jenis/jumlah barang bukti/saksi), “mengatur”saksi ahli, merekayasa berkas berita acara (hingga seolah-olah dipersalahkan, tetapi karena pembuktian lemah dapat dipastikan akan dibebaskan oleh hakim), meringankan/mengurangi pasal yang dituduhkan, menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan)/SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan) dan mempetieskan perkara. Pada tahap terakhir, target yang dituju adalah hukuman bebas/ringan, memenangkan perkara (perdata) yang salah, penuntut umum tidak melakukan banding/kasasi, dan lain-lain.

 

Siapa saja yang terlibat? Siapa yang diuntungkan? Siapa pula yang dirugikan dengan adanya markus ini?

Keterlibatannya bergantung pada alur proses hukum. Ada yang menyatakan markus tidak selalu membela yang salah, tetapi juga membela yang benar (korban), misalnya korban penipuan, pemerkosaan dll. Mengapa yang benar menggunakan markus? Karena dikhawatirkan benar (korban) menjadi salah.

 

Ada yang bilang bahwa sistem hukum sekarang (warisan kolonial Belanda) sudah baik. Yang salah adalah oknumnya. Benarkah demikian?

Belanda memaksa untuk menggunakan sistem hukum yang dipraktikan adalah “civil law system”. Pada dasarnya “civil law system” dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental yang berdasarkan atas hukum Romawi. Hukum Romawi bersumber pada ”Corpus Iuris Civils” karya dari Kaisar Lustinianus, bersumber pada “digesta/pandecta” dan Gereja Katholik Roma, yaitu “Hukum Kanonik”. Sistem hukum yang dipraktikan ini membuka celah terjadinya markus. Lalu muncullah banyak oknum karena terdapat celah pada sistem dan terdapat adanya saling membutuhkan.

 

Apa dampak buruk adanya markus bagi masyarakat?

Dampak buruknya, jika yang benar (korban) menjadi salah, maka dikhawatirkan pada masyarakat akan muncul ketidakpercayaan, kemudian berubah menjadi pembangkangan publik (dis­obedience) secara massif dan masal.

 

Benarkah kurangnya ketakwaan, materialisme dan keserakahan individu aparat penegak hukum menjadi faktor utama terjadinya markus?

Saya tidak bisa menyalahkan aparat penegak hukum, karena peluang tersebut dapat terjadi karena saling menguntungkan.

 

Benarkah proses birokrasi yang berbelit-belit juga memberi andil dalam peluang munculnya markus?

Ya, sebagaimana telah disebutkan, alur proses penegakan hukum yang begitu panjang, misalnya, proses penyelidikan dan penyidikan pada tahap Kepolisian dapat memakan waktu berbulan-bulan. Kadang bisa sampai satu tahun. Bergantung pada tingkat kesulitan. Kemudian pada tahap di Kejaksaan. Ditambah lagi pada proses di Pengadilan yang dapat memakan waktu bertahun-tahun seperti di Pengadilan Negeri, banding pada tingkat Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung (kasasi dan peninjauan kembali). Alur yang panjang tersebut dapat memungkinkan terjadinya proses transaksional.

 

Ada yang mengatakan bahwa kekuatan pemilik modal dan aparat bergaji rendah juga memicu munculnya markus. Benarkah?

Penegak hukum itu seperti gula. Siapa saja akan mencoba mendekat. Oleh karena itu kesejahteraan menjadi faktor penting untuk diperhatikan agar penegak hukum tidak tergoda dengan kekuatan pemilik modal.

 

Bisakah syariah Islam memberantas markus? Bagaimana caranya?

Sangat bisa, dengan cara alur proses hukum dipersingkat. Lalu pada tahap pengadilan tidak dikenal banding dan kasasi.

 

Hal-hal apa saja yang dibangun oleh sistem hukum Islam sehingga membuat ekosistem hukum yang adil bagi semua kalangan dan menutup praktik markus?

Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, ditetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karena itu ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela.

Ditambah lagi keimanan yang kokoh akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (QS al-Fajr [89]: 14; QS al-Hadid [57]: 4).

Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanaa’ah dengan pemberian Allah SWT, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Bukan dunia tujuannya, tetapi ridha Allah dan pahala menjadi standarnya. Mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanya sarana untuk ‘izzul Islaam wa al-Muslimiin. Bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.

 

Apa yang harus dilakukan oleh umat Islam agar sistem hukum Islam bisa tegak dengan sempurna?

Siapapun dengan hati ikhlas dan akal yang waras merindukan kehidupan Islam. Karena itu perubahan menuju ke arah Islam dan solusi Islam harus segera dilaksanakan. Upaya inilah yang membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang akan menerapkan syariah secara kaaffah. Insya Allah. []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twenty − five =

Back to top button