Nisa

Membabat Sindikat Perdagangan Orang

Di Myawaddy, Myanmar, Noviana Indah Susanti seakan telah merasakan segala bentuk kesengsaraan; dari dimaki, dihajar dengan pipa besi, disetrum, hingga disekap berhari-hari. Ia hanyalah satu dari lebih 4.000 warga negara Indonesia yang jadi korban perdagangan orang pada periode 2021-2023.

Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terus meningkat dari tahun ke tahun. Padahal Pemerintah telah memerintahkan otoritas terkait untuk memberantas secara tuntas “dari hulunya sampai ke hilir”.

Indonesia sebenarnya sudah masuk dalam situasi bahaya terkait TPPO setidaknya sejak 2017. Ketika itu Bank Dunia mempublikasikan data, yang menurut Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani, seharusnya sudah menjadi alarm pengingat.

World Bank tahun 2017 merilis bahwa ada 9 juta orang Indonesia yang bekerja di luar negeri. Padahal pada tahun 2017 itu hanya 3,6 juta orang Indonesia yang tercatat bekerja secara resmi. Berdasar data itu, Benny meyakini tahun 2017 sudah ada 5,4 juta Pekerja Migran Indonesia (PMI) berangkat secara tidak resmi (non prosedural). PMI non prosedural rentan menjadi mangsa sindikat kejahatan perdagangan orang.

Hingga kini otoritas tampak belum bisa secara efektif mengatasi kasus perdagangan orang yang melibatkan warga Indonesia. Menurut data Kementerian Luar Negeri, jumlah kasus TPPO terus meningkat dari 361 pada 2021 menjadi 752 pada 2022 dan 798 pada 2023.

Data Polri juga menunjukkan tren kenaikan jumlah kasus TPPO meski dengan angka berbeda. Menurut Polri, ada 122 kasus pada 2021 yang melibatkan 298 korban. Pada 2022, angkanya meningkat jadi 145 kasus dengan 668 korban. Pada 2023, angkanya kembali melonjak menjadi 982 kasus dengan 3.208 korban. Itu berarti, ada peningkatan jumlah kasus sebesar 577% dibandingkan dengan tahun 2022. Untuk tahun ini, belum ada data resmi yang bisa dijadikan acuan. Namun, pejabat terkait mengatakan “ada indikasi [kasusnya] meningkat”.

 

Pejabat dan Aparat Terlibat

Dengan tren kasus TPPO yang terus meningkat, harapan memberikan perlindungan kepada pekerja migran perempuan semakin kecil. Mengapa praktik perdagangan orang begitu sulit diberantas?

Yanu Endar Prasetyo, peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN, memberikan analisisnya yang dimuat di Kumparan (20 Juni 2024), bahwa ada beberapa penyebab sulitnya memberantas praktik perdagangan orang, yakni:

Pertama, modus operandi pelaku terus berkembang dan beradaptasi dengan situasi.

Kedua, faktor geografis menjadi salah satu penyebab sulitnya memberantas perdagangan manusia.

Ketiga, faktor desakan ekonomi menjadi salah satu pendorong terjadinya praktik perdagangan manusia.

Keempat, minimnya alat bukti menjadi salah satu kendala dalam upaya memberantas jaringan perdagangan manusia.

Kelima, faktor sosial-budaya; menjadi pekerja migran di luar negeri dianggap sebagai hal yang biasa dan sebagai korban kejahatan di luar negeri dipandang sebagai “kesialan” atau ketidakberuntungan belaka.

Keenam, adanya keterlibatan oknum dari berbagai lini turut menyuburkan praktik perdagangan manusia.

Kombinasi dan kompleksitas dari berbagai faktor tersebut pada akhirnya menyebabkan upaya pemberantasan jaringan perdagangan manusia menjadi semakin sulit. Mati satu tumbuh seribu.

Pemberantasan kejahatan TPPO harus dilakukan baik pencegahan maupun penindakan berupa penegakan hukum pidana. Apalagi sindikat kejahatan ini telah melibatkan oknum pejabat dan aparat hukum. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) era Jokowi, Mahfud MD, mengungkapkan bahwa jaringan perdagangan orang di Batam terkoordinasi dengan baik. Bahkan sindikatnya melibatkan oknum Pemerintah, aparat, hingga swasta. Hal ini dia ungkap saat menjadi keynote speech pada seminar yang digelar Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) di Batam, Kamis (6/4/2023).

Keterlibatan oknum aparat tentu akan berpengaruh besar pada penyelesaian kasus. Jika banyak kasus yang tidak terungkap bahkan dijatuhi hukuman yang masih ringan, maka ini akan menurunkan wibawa institusi penegak hukum. Dampaknya, para penjahat tidak akan pernah jera dan dengan ringan mengulagi kejahatannya. Adanya aparat yang terlibat dalam sindikat kejahatan TPPO telah menjadi perhatian serius, tetapi sangat sulit ditindak.

Lalu masih adakah jalan penindakan sindikat perdagangan orang? Jika sistemnya masih sekuler, ini akan mustahil. Pasalnya, tatanan masyarakat sekuler selalu akan menghasilkan pribadi yang buruk dan ingin memanfaatkan kelemahan orang lain. Sistem peradilan juga rumit. Apalagi jika menyangkut sindikat yang memiliki jejaring internasional. Pengejaran tindak kejahatan di luar yuridis satu negara sungguh tidak mudah.

 

Islam dan Penegakan Hukum

Pemberantasan kejahatan apapun, apalagi berupa sindikat, butuh sistem kehidupan yang shahih, sistem penegakan hukum yang kuat, dengan ditopang dengan kepemimpinan yang memiliki peran sebagai ‘pelindung’. Islam yang diterapkan oleh Negara (Khilafah) akan mampu mengeliminasi sindikat kejahatan, sekaligus memberikan perlindungan keamaan bagi warga negara terutama perempuan.

Sindikat perdagangan orang yang berjejaring hingga ke luar negeri sebenarnya bisa diputus jika tidak ada pelaku di dalam negeri. Di sinilah diperlukan penegakan hukum tegas dan bersih di dalam negeri. Akar masalah perdagangan orang juga harus dituntaskan. Adanya penegakan hukum yang berwibawa akan memberikan rasa jera bagi siapapun yang akan melakukan kejahatan. Di sinilah sistem Islam akan mampu menumpas kejahatan yang dilakukan oleh sindikat TPPO.

Sindikat kejahatan orang sesungguhnya hanya bisa ditumpas dengan sistem Islam. Pertama, karena Islam menekankan pentingnya iman dan takwa pada setiap individu Muslim, termasuk pejabat negara dan aparat penegak hukum. Mereka akan menjadi pribadi yang shalih di dunia karena menginginkan kebaikan di akhirat. Abu Buraidah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Hakim itu ada tiga macam: dua di neraka dan satu masuk surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu menetapkan keputusan dengan benar, ia di surga. Seorang hakim yang mengadili manusia dengan kebodohannya, ia di neraka. Seorang hakim yang menyimpang dalam memutuskan hukuman, ia pun di neraka.” (HR Abu Dawud).

Dengan demikian asas paling kokoh bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya dengan amanah dan adil adalah iman dan takwa, bukan gaji atau fasilitas. Tanpa iman dan takwa, pejabat negara dan aparat hukum akan mudah tunduk pada iming-iming materi.

Kedua, karena peradilan Islam hanya memberlakukan hukum Islam dalam semua kasus peradilan yang digelar. Kekuatan hukum Islam itu pasti, jelas dan dapat dipahami oleh setiap Muslim, terutama para fuqaha. Allah SWT berfirman (yang artinya): Siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah kaum kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).

Ketiga, karena para hakim, sebagaimana para pejabat dan pegawai dalam Khilafah, akan digaji secara layak untuk memenuhi kehidupan mereka. Mereka berhak atas gaji, rumah, kendaraan bahkan pembantu jika memang dibutuhkan. Dengan itu peluang untuk mencari penghasilan lain dengan memanfaatkan kewenangannya bisa ditekan.

Keempat, karena vonis hakim dalam satu pengadilan mengikat semua pihak yang terlibat di dalamnya secara mutlak. Tidak ada proses naik banding, kasasi atau Peninjauan Kasus (PK), remisi, grasi, dsb. Dengan begitu peluang terjadinya suap-menyuap semakin berkurang. Allah SWT berfirman (yang artinya): Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan perempuan Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (TQS al-Ahzab [33]: 36).

Kelima, karena Khalifah akan menjatuhkan sanksi keras bagi aparat penegak hukum seperti polisi, hakim dan lainnya yang melakukan kejahatan. Sabda Nabi saw., “Laknat Allah atas pemberi suap dan penerimanya.” (HR Ahmad).

Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dengan tegas melakukan audit terhadap harta para pejabatnya. Beliau juga menyita harta para pejabatnya yang dinilai berlebih dari seharusnya. Demikian seperti yang beliau lakukan atas kelebihan harta Abu Hurairah ra.

 

Khatimah

Kehidupan Islam akan memunculkan kebaikan dan keberkahan. Penyebab paling mendasar dari kegagalan sistem hukum dan peradilan hari ini karena ia dibangun di atas asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Hukumnya pun dibuat oleh manusia sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsunya.

Dengan penegakan hukum yang kosong dari iman dan takwa, bagaimana bisa muncul rasa takut untuk berlaku khianat dan curang? Jika Allah SWT saja sudah tidak ditakuti hingga mereka berani berbuat curang atau menyimpang, lalu siapa lagi yang mereka takuti?

Di dalam Islam, para aparat penegak hukum selalu diingatkan agar jangan pernah merasa aman dari hisab dan balasan Allah SWT. Allah SWT berfirman (yang artinya): Apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain kaum yang rugi (TQS al-A’raf [7]: 99).

Jika kaum Muslim merindukan penegakan hukum yang adil dan bersih, maka itu hanya ada pada sistem pengadilan Islam yang menerapkan hukum-hukum Allah SWT di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah.

Alhasil, mari terus kita gaungkan seruan penegakan syariah Islam secara kâffah dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam perkara pidana. Dengan itu kejahatan aka bisa ditumpas, keadilan akan terwujud dan perlindungan negara pada warganya, termasuk perempuan, akan bisa diwujudkan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Fatma Sunardi]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 4 =

Back to top button