Hiwar

KH Rokmat S. Labib: Penting Membangun Kesadaran Ideologis Islam

Pengantar:

Pemilu/Pilpres selalu menyisakan keterbelahan di tengah kaum Muslim. Mengapa demikian? Faktor mendasarnya tidak lain adalah pragmatisme politik yang makin parah, yang menjangkiti umat Islam, khususnya parpol Islam dan para tokohnya. Artinya, kesadaran ideologis Islam makin jauh dari umat. Akibatnya, setiap lima tahun agenda umat hanya berkutat hanya pada pemilihan sosok pemimpin. Itu pun dengan kriteria yang tidak jelas. Kadang hanya didasarkan pada suka dan tidak suka.  Adapun sistem pemerintahan yang jelas-jelas rusak seperti saat ini, luput dari perhatian mereka,

Lalu bagaimana agar kondisi umat yang memprihatinkan ini segera berakhir? Bagaimana solusinya? Apa pula langkah praktisnya? Inilah antara lain yang dibahas oleh KH Rokhmat S. Labib dalam wawanca dengan Redaksi kali ini.

 

 

Kyai, sangat mungkin kondisi umat terpecah saat Pilpres/Pemilu. Terjadi pro-kontra yang sangat tajam. Bagaimana menurut Kyai? Kecenderungan baik atau buruk?

Baik atau buruk, bergantung dengan pandangan Islam tentangnya. Tidak diserahkan kepada akal dan kecenderungan kita semata. Ketika pro-kontra atau pertentangan itu hanya tentang siapa yang menjadi presidennya dan tidak mempersoalkan sistem yang diterapkan, jelas merupakan hal yang buruk. Sebabnya, dalam Islam, selain aspek pemimpin yang harus memenuhi syarat yang ditetapkan syariah, juga aspek sistem dan hukum yang diterapkan.

Aspek sistem ini justru jauh lebih penting dan mendasar. Sebabnya, seandainya ada calon pemimpin itu memenuhi syarat menurut syariah, namun tidak mau menerapkan syariah dan hukum Allah SWT, ia tidak boleh diangkat. Bahkan seandainya sudah menjadi pemimpin, di tengah jalan pemimpin itu mengubah hukum syariah menjadi hukum kufur, ia harus diberhentikan.

Ini dijelaskan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah hadis dari Ummu Salamah ra. bahwa Nabi saw. bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Nanti akan ada para pemimpin. Lalu kalian mengakui kebaikan mereka dan mengingkari kemungkaran mereka. Siapa saja yang mengakui (kemungkaran, namun dalam hatinya membencinya) akan terbebas. Siapa saja yang mengingkari kemungkaran, mereka akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridha dan mengikuti (kemungkaran, mereka akan celaka).” Para Sahabat bertanya, “Tidakkah kita perangi saja mereka?” Nabi saw. menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat (HR Muslim).

 

Dalam hadis tersebut Nabi saw. melarang kaum Muslim memerangi penguasa mereka meskipun melakukan kemungkaran selama mereka masih menegakkan shalat. Itu artinya, ketika mereka tidak lagi menegakkan shalat, maka mereka harus diperangi.

Patut djelaskan bahwa kata shalat dalam hadis ini merupakan kinâyah atau kiasan dari aktivitas memerintah atau memutuskan perkara dengan hukum Islam. Ini juga diterangkan dalam hadis dari Ummu Hushain ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:

إنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ الله

Jika kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya dari golongan Habasy yang cacat,  maka dengar dan taatia dia , selama dia memimpin kalian dengan al-Quran (HR Ibnu Majah).

 

Dalam hadis tersebut jelas disebutkan bahwa pemimpin itu wajib ditaati selama dia memimpin dengan Kitab Allah SWT. Dalam hadits lainnya disebutkan tentang kebolehan mengambil kekuasaan dari pemegangnya ketika dia memperlihatkan kekufuran yang nyata. Dari Ubadah bin ash-Shamith ra.:

قَالَ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ الله فِيهِ بُرْهَانٌ

Nabi saw. bersabda, “Kecuali kalian melihat kekufuran yang jelas yang kalian memiliki bukti terang dari Allah SWT tentang itu.” (HR Muslim).

 

Tampak ‘pro-kontra’ umat tidak terkait dengan perjuangan Islam. Benarkah?

Ya, memang. Namanya saja Pilpres. Pemilihan presiden.  Artinya, memilih seorang  pemimpin dalam negara sekuler. Bukan memilih seorang khalifah yang menerapkan Islam.

 

Pentingkah kembali menyerukan ukhuwah islamiyah untuk menyatukan umat?

Sangat penting. Seruan agar umat Islam bersatu dan tidak berpecah-belah cukup banyak. Di antaranya adalah firman Allah SWT:

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا وَلَا تَفَرَّقُواْۚ ١٠٣

Berpegangteguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan jangan bercerai-berai (QS Ali Imran [3]: 103).

Dengan jelas ayat ini memerintahkan orang-orang Mukmin untuk berpegang teguh pada habllLâh. Tali Allah. Artinya, berpegang pada Islam. Dengan demikian persatuan tersebut atas dasar Islam. Selama itu dilakukan, maka mereka akan menjadi umat yang satu. Sebaliknya, ketika tidak dilakukan, iatu akan mengakibatkan perpecahan dan umat tercerai-berai.

Di antara realitas yang jelas adalah ketika umat ini menjadikan nasionalisme sebagai dasar persatuan. Umat terpecah-belah di banyak negara yang tidak peduli satu sama lain. Akibatnya, ketika ada bagian umat Islam ini yang menderita akan diabaikan. Ini yang dialami oleh kaum Muslim di Palestina saat ini. Sekalipun mereka dijajah dan dibantai oleh Yahudi, itu tidak membuat negeri-negari Muslim lainnya tergerak untuk memberikan pertolongan dan pembelaan.

 

Bagaimana seharusnya konsekuensi aqidah bagi umat Islam terkait persatuan dan ukhuwah?

Aqidah Islam harus menjadi dasar persatuan umat Islam. Hal ini dengan jelas diterangkan dalam firman Allah SWT:

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ ١٠

Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara (QS al-Hujurat [49]: 10).

Al-Mu’minûn berarti orang orang-orang yang beriman. Mereka adalah orang-orang yang memeluk aqidah Islam. Ketika disebutkan mereka adalah ikhwah (saudara), maka dapat dipahami bahwa aqidah Islamlah yang menjadi aqidah orang-orang Mukmin menjadi dasar persaudaraan.

Ayat ini, sekalipun berbentuk kalimat berita, memberikan makna perintah sekaligus juga larangan untuk besatu atas dasar lainnya. Ini sebagaimana dikatakan oleh Fakhruddin al-Razi ketika menjelaskan ayat ini. Mufassir tersebut berkata, “Tidak ada persaudaraan kecuali di antara kaum Mukmin. Adapun  antara orang Mukmin dan orang kafir, tidak ada.”

Ini jelas menunjukkan aqidah Islamlah yang menyatukan dan menghimpun mereka menjadi saudara.

 

Mungkinkah Idul Fitri menjadi momen berharga bagi upaya merajut kembali persatuan dan persaudaraan umat?

Sangat mungkin. Sebabnya, Idul Fithri mengingatkan kembali kita adalah umat yang satu. Meskipun ada hal-hal yang berbeda, kesamaannya jauh lebih banyak dan mendasar. Tuhannya satu. Nabinya satu. Kitabnya satu. Kiblatnya satu. Syariahnya satu. Demikian seterusnya.

Pada Idul Fithri juga terdapat banyak momentum yang mempertemukan dan menghubungkan mereka sebagai satu umat. Mereka saling mengunjungi dan bahkan saling memaafkan satu sama lainnya.

 

Apakah pertentangan yang tajam itu akibat politik yang minus ideologi Islam dan  perjuangan syariah?

Benar. Itu sangat memprihatinkan. Bagaimana bisa terjadi umat yang dibimbing dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. bisa jatuh terpecah-belah karena sesuatu yang jelas diarang oleh Islam.

 

Saat Pemilu tempo hari sikap pragmatisme politik begitu kental. Dalam memilih pemimpin, yang penting adalah siapa yang bisa memberikan uang. Bagaimana menurut Kyai?

Sikap itu pun jelas sangat memprihatinkan. Setidaknya, sikap itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, kelemahan dalam memahami politik. Ini ditandai bahwa tidak adanya kesadaran pemimpin memiliki kedudukan yang sangat strategis dan menentukan. Akibatnya, mereka sembarangan dalam memilih pemimpin. Semisal, asalkan yang memberikan uang, bisa joget, sekadar tegas, dan lain-lainnya. Apa mereka tidak sadar bahwa kemiskinan yang mereka alami adalah akibat kepemimpinan yang bermasalah. Betapa tidak. SDA yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran rakyatnya justru diserahkan kepada asing. Seandainya tambang emas, migas, batu bara, nikel, dan lain-lain dikelola oleh negara dengan benar, nisacaya negara tidak akan menggantungkan pendapatan dengan pajak dan utang.

Kedua, lemah dalam memahami Islam. Dalam Islam mewajibkan menerapkan Islam secara kaaffah. Karena itu wajib memilih pemimpin yang beriman dan adil untuk menjalankan Islam. Bukan pemimpin yang tidak jelas aqidahnya dan mau menerapkan hukum kufur.

 

Dari kondisi di atas, dimana letak penting kesadaran ideologis umat?

Nah, inilah pentingnya kesadaran ideologi. Secara umum, kaum Muslim masih memegang Islam sebagai agama. Hanya saja, secara ideologi banyak yang terpengaruh dengan Sekularisme. Sekularisme adalah dasarnya memisahkan agama dari kehidupan. Artinya, pengaturan pemerintahan, ekonomi, pendidikan, hukum dan negara serta berbagai diminesi lainnya harus djauhkan dari agama. Dengan kata lain, agama tidak boleh cawe-cawe atau ikut terlibat dalam masalah tersebut.

Pandangan itu jelas bertentangan dengan Islam. Sebabnya, Islam mengatur seluruh kehidupan, termasuk dalam hal pemerintah, ekonomi, dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Kondisi itu tentu tidak boleh dibiarkan. Harus ada upaya untuk mengubah kondisi ini. Caranya dengan memberikan kesadaran ideologis Islam kepada kaum Muslim. Mereka harus disadarkan bahwa wajib bagi mereka untuk diatur dengan syariah Islam secara kaaffah. Itu hanya bisa terjadi dengan tegaknya Khilafah yang menjadi institusi pelaksananya.

Hanya dengan cara itu umat Islam bisa berubah. Ini juga yang dilakukan Rasulullah saw saat awal mengubah bangsa Arab yang jahiliah.

 

Apa yang perlu dilakukan agar jalan perjuangan kembali ke thariiqah Rasulullah, bukan jalan sekuler?

Menyampaikan dalil dan argumentasi yang menunjukkan kewajiban untuk mengikuti Rasulullah saw. Kita diperintahkan untuk menjadikan beliau sebagai uswah hasanah, suri teladan yang baik. Termasuk dalam memperjuangkan Islam.

Secara faktual, Rasulullah saw. telah berhasil mengubah masyarakat jahiliah menjadi masyarakat islami. Maka dari itu, jika ingin berhasil sebagaimana Rasulullah saw., maka sudah selayaknya mengikuti thariiqah atau metode dakwah dakwah beliau.

Dibandingkan sekarang, tentu apa yang dilakukan Rasulullah saw. jauh lebih sulit. Aqidah bangsa Arab saat itu  kufur. Pemikiran, perasaan dan sistem yang diberlakukan juga didominasi kekufuran. Berkat dakwah, kondisi mereka berubah total dan mendasar. Bahkan kemudian Islam dengan cepat menyebar ke berbagai bangsa dan negeri-negeri lainnya.

Keadaan sekarang semestinya jauh lebih mudah. Umat ini aqidahnya masih Islam. Hanya saja pemikiran dan perasaannya sudah bercampur dengan berbagai pemikiran selain Islam.

Mereka pun masih meyakini kebenaran al-qur’an seratus persen. Jika keyakinan ini disentuh dan dibangkitkan, mereka akan menolak berbagai pemikiran lain, seperti demokrasi, kebebasan, pluralisme, liberalisme, dan lain-lain.

 

Apa pentingnya visi penerapan syariah Islam dan tegaknya Khilafah ‘alaa minhaaj an-Nubuwah?

Jelas, penting sekali. Sebabnya, visi adalah cita-cita yang diperjuangkan untuk diwujudkan. Itu pula yang menjadi arah yang harus dituju. Jika tidak punya visi maka perjuangan akan kehilangan arah.

 

Apa kontribusi terbaik umat Islam untuk itu semua?

Ikut terlibat aktif dalam dakwah. Itu mustahil dilakukan sendiri-sendiri. Umat Islam harus berhimpun dalam jamaah dakwah yang serius dan sungguh-sungguh dalam memperjuangkan Islam secara kaaffah dalam naungan Khilafah ar-Rasyidah ‘alâ minhâj an-Nubuwwah. Dengan begitu umat ini benar-benar menjadi khayr ummah. Umat terbaik. []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − three =

Back to top button