Hiwar

Ustadz Yuana Ryan Tresna: Perlu Hijrah Sistemik

Pengantar:

Di tengah kerusakan masyarakat dan negara saat ini, tak cukup hijrah dilakukan secara personal atau di leval keluarga. Sebabnya, kerusakan masyarakat dan negara saat ini sudah sangat sistemik. Artinya, hijrah haruslah dimaksudkan untuk berpindah dari realitas sistem kehidupan yang buruk, yang saat ini didominasi oleh Kapitalisme-sekuler, menuju idealitas sistem yang baik, yang tidak lain adalah sistem Islam. Karena itu hijrah harus dikembalikan pada makna syar’i-nya. Bukan sekadar makna bahasanya. Makna syar’i hijrah tidak lain adalah berpindah dari darul kufur (negara yang menerapkan sistem kufur) menuju Darul Islam (negara yang menerapkan sistem Islam).

Demikian intisari dari apa yang disampaikan oleh Ustadz Yuana Ryan Tresna, Direktur Pusat Pendidikan Hadits Ma’had Khadimus Sunnah Bandung, dalam wawancara dengan Redaksi kali ini.  Berikut adalah hasil wawancara lengkapnya.

 

Hijrah kerap direduksi hanya menjadi perubahan pribadi. Mengapa begitu, Ustadz?

Hal itu karena sebagian dari umat ini mencukupkan dengan makna hijrah secara bahasa. Hijrah secara bahasa adalah berpindah dan keluar dari satu tempat menuju adalah tempat lain (M. Ali bin Nayif asy-Syahud, Al-Mufashshal fii Ahkaam al-Hijrah, hlm. 14). Dengan ungkapan lain, hijrah secara bahasa adalah bepindah dari satu kondisi ke kondisi lain yang lebih baik.

 

Sabda Nabi saw., “Orang yang berhijrah adalah yang meninggalkan apa saja yang Allah larang.” Hadis ini kerap dijadikan dasar hijrah secara pribadi. Bagaimana menurut Ustadz?

Hadis tersebut sesungguhnya menjelaskan makna hijrah secara bahasa. Nabi saw. memang bersabda: “Al-Muslim man salima al-Muslimuun min lisaanih wa yadih. Wa al-Muhaajir man hajara maa nahalLaahu ‘anhu (Muslim itu adalah orang yang menjadikan Muslim yang lain selamat dari lisan dan tangannya. Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang telah Allah larang).” (HR al-Bukhari).

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani di dalam kitab Fath al-Bâri bi Syarh Shahih al-Bukhari, hijrah itu ada dua macam: lahiriah dan batiniah. Hijrah batiniah adalah meninggalkan apa saja yang diperintahkan oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan (nafs al-ammarah bi al-su’) dan setan. Hijrah lahiriah adalah menghindarkan diri—dengan membawa agama—dari fitnah.

 

Lantas apa makna hijrah secara syar’i?

Secara syar’i, para fuqaha mendefinisikan hijrah dengan makna: berpindah dari darul kufur ke Darul Islam. Penjelasan tersebut bisa dibaca dalam kitab AsySyakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid II karya Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani. Ibnu ‘Arabi juga mengatakan: hijrah adalah keluar atau berpindah dari dari negara yang diperangi/negara kufur ke Negara Islam (Subul as-Salaam, 6/128; Nayl al-Awthar, 12/270).  Artinya, konotasi hijrah menurut istilah khusus adalah meninggalkan negara kufur (darul kufur), lalu berpindah menuju Negara Islam (Darul Islam). (Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, 1/83).

Dulu Nabi saw. dan para Sahabat beliau hijrah dari darul kufur di Makkah, lalu membentuk Darul Islam di Madinah. Ketika kaum Muslim keluar dari Kota Makkah menuju Kota Madinah, motivasi utama mereka adalah keimanan dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Untuk menyelamatkan agama mereka dari fitnah yang ditimbulkan dari kaum musyrik Quraisy. Kota Madinah, sebagai negara baru (Daulah Islam) yang dipimpin oleh Nabi saw., memberikan keamanan bagi warganya. Bahkan beliau mengembangkan kehidupan mereka sebagai umat baru dengan peradaban baru.

Nabi saw. bersabda, “Kaana al-Mu’minuun yafirru ahaduhum bi diinihi ilaa AlLaahi Ta’aala wa ilaa Rasuulihi shallalLaahu ‘alayhi wa sallama makhaafata an yuftana ‘alayhi. Fa amma al-yawma fa qad azhhara AlLaahu al-Islaama wa al-yawma ya’budu Rabbahu haytsu saa’a (Dulu ada di antara kaum Mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang (setelah Hijrah) Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam dan seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia).” (HR al-Bukhari).

Beberapa poin penting dari hadis di atas adalah: Pertama, hijrah merupakan pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara Darul Islam dan darul kufur. Kedua, hijrah adalah tonggak pendirian Daulah Islam untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw. telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah Negara Islam. Ketiga, hijrah merupakan awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya setelah selama 13 tahun sejak kelahirannya.

 

Apakah yang dimaksud dengan darul kufur itu?

Darul kufur adalah suatu wilayah yang menerapkan hukum-hukum selain Islam dan atau keamanannya tidak didasarkan pada Islam, yaitu tidak berada di tangan kekuasaan dan pertahanan kaum Muslim, sekalipun mayorias penduduknya adalah orang-orang Islam. Pengertian ini diambil dari sebuah hadis riwayat Sulaiman bin Buraidah ra.

 

Apa pula yang dimaksud dengan Darul Islam?

Sebaliknya, pengertian Darul Islam adalah suatu wilayah yang menerapkan hukum-hukum Islam dan keamanan wilayah tersebut berada di tangan kaum Muslim.

 

Lalu bagaimana posisi negara-negara Muslim yang ada sekarang? Bisakah disebut Darul Islam?

Berdasarkan kriteria yang telah disebutkan sebelumnya, saat ini tidak ada satu negara Muslim pun yang dapat dikategorikan sebagai Darul Islam. Negeri-negeri Muslim hari ini berhukum pada hukum sekuler dan keamanannya berada dalam kontrol negara kafir penjajah.

 

Secara khusus bukankah Saudi sering disebut contoh Negara Islam?

Sama sekali bukan. Konstitusi Arab Saudi bukan konstitusi Islam yang lahir dari akidah Islam dan digali dari sumber hukum Islam. Negara Arab Saudi berbentuk kerajaan yang tidak berhukum pada hukum Islam. Konstitusi dan undang-undangnya bukan bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, kecuali pada wilayah yang sangat terbatas.

 

Bagaimana dengan Imarat Afganistan?

Imarat Afganistan juga bukan khilafah Islam. Ini karena kepemimpinannya terbatas. Bukan untuk umat Islam di seluruh penjuru dunia. Padahal definisi khilafah adalah kepemimpinan yang bersifat umum bagi kaum Muslim secara keseluruhan di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia (Mahmud Abd al-Majid al-Khalidi, Qawaa’id Nizhaam al-Hukm fii al-Islaam, hlm. 225-230)

 

Ada yang menyatakan kalau kita menyebut negeri Islam sekarang sebagai darul kufur, berarti kita telah mengkafirkan penduduknya yang mayoritas Islam. Bagaimana menjawab ini?

Itu tuduhan sekaligus kesalahpahaman yang sangat fatal. Penyebutan darul kufur adalah penyifatan untuk entitas wilayah dilihat dari sisi penerapan hukum dan aspek keamanannya. Jadi bukan penghukuman bagi penduduknya. Dalam Hadis Nabi saw.,  juga tidak ada khilaf di kalangan para ulama, bahwa Makkah sebelum di-futuhat adalah darul kufur meski tidak semua penduduknya kafir. Demikian juga Madinah yang disebut Darul Islam meski di dalamnya terdapat orang kafir. Jadi darul kufur dan darul Islam tidak ada kaitan dengan status kekafiran atau keimanan penduduknya.

 

Kenapa untuk hijrah dalam makna  syar’i nya terkait dengan keberadaan  khilafah??

Seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, hijrah merupakan bagian integral dari ketakwaan seorang Muslim kepada Allah SWT. Sebabnya, hijrah merupakan instrumen hukum yang ditetapkan untuk melindungi agama dan jiwa kaum Muslim dari ancaman musuh-musuhnya.

Seorang Muslim yang tidak berhijrah tanpa ada alasan syar’i tak ubahnya dengan seseorang yang tidak lagi peduli terhadap agamanya. Muslim sejati adalah orang yang selalu peduli terhadap kesempurnaan peribadahannya kepada Allah SWT.

Hijrah dalam konteks perpindahan kaum Muslim dari dar al-kufr menuju Darul Islam hanya akan bisa ditegakkan jika di tengah-tengah kaum Muslim telah berdiri Khilafah Islamiyah. Hanya dengan adanya Khilafah Islamiyah semata kaum Muslim bisa berpindah (hijrah) dari suatu kondisi buruk seperti saat ini dan negeri yang kufur menuju kondisi yang baik dan negeri yang islami. Dengan begitu tujuan utama hijrah yakni penjagaan atas jiwa dan agama kaum Muslim bisa diwujudkan secara faktual

 

Secara politis, apa makna penting hijrah ini?

Makna penting hijrah adalah merefleksikan peristiwa hijrah Nabi saw. sekaligus introspeksi terhadap kehidupan yang sekarang kita jalani. Sesungguhnya kita sekarang berada dalam kehidupan yang tidak islami. Hukum dan keamanannya pun bukan di bawah otoritas Islam. Karena itu merenungi kembali peristiwa Hijrah Nabi saw. dan merekontruksinya untuk kebaikan peradaban pada masa yang akan datang adalah jalan mulia yang harus ditempuh. Jalan itu adalah merekontruksi esensi terpenting hijrah, yakni sebuah transformasi masyarakat. Perubahan masyarakat dari jahiliah ke masyarakat Islam, dari sistem kapitalisme menuju sistem Islam.

Artinya, refleksi hijrah hari dalam kehidupan saat ini adalah meninggalkan kekufuran dan dominasi kaum kafir menuju iman dan kekuasaan Islam; meninggalkan dar al-kufr menuju Darul Islam; meninggalkan sistem jahiliah menuju ideologi dan sistem syariah; meninggalkan kekalahan menuju kemenangan dan kemuliaan Islam; dan mengubah penindasan menjadi tebaran kerahmatan.

 

Bagaimana pula mengaitkan makna hijrah ini dalam konteks dakwah saat ini?

Misi hijrah masa kini semestinya dimaknai berhijrah dari kekufuran sistem jahiliah buatan manusia yang jahil dan beralih pada sistem paripurna dari Zat Yang Mahasempurna, yakni sistem Islam.

Jadi, aktualisasi hijrah dalam konteks sekarang harus dimaknai dengan perjuangan untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam ranah individu, masyarakat dan negara. Dengan kata lain, aktualisasi hijrah sekarang harus diwujudkan dengan cara berjuang menegakkan kembali kekuasaan Islam (Khilafah Islamiyah) yang akan menjamin pelaksanaan hukum hijrah itu sendiri.

Kita bisa belajar kepada bagida Rasulullah saw. Secara politis, bangsa Arab saat itu bukanlah bangsa yang diperhitungkan negara-negara saat itu. Dua negara adidaya, Persia dan Kristen Byzantium, saling berebut kekuasaan, dan sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan.

Adapun entitas kehidupan di Madinah yang dibangun Rasulullah pasca-hijrah merupakan entitas masyarakat yang khas. Peraturan, pemikiran dan perasaan masyarakat di Madinah benar-benar dalam bimbingan Islam. Dengan sangat indah Rasulullah saw. menggambarkan Madinah dengan sabda beliau, “Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR al-Bukhari).

Demikian yang dilakukan Rasulullah saw. dalam membangun Madinah sebagai sebuah masyarakat Islam. Beliau benar-benar merancang dan mempersiapkan Madinah sebagai sebuah masyarakat yang merepresentasikan ideologi Islam. Beliau menstabilkan kondisi masyarakat dengan melakukan berbagai perjanjian dengan masyarakat non-Islam maupun masyarakat tetangga. Bahkan Rasul tidak segan-segan mengusir kaum Yahudi dari Madinah karena merusak perjanjian dan demi mempertahankan Madinah sebagai sebuah masyarakat yang khas.

Keadaan sekarang pun sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan bangsa Arab sebelum hijrah Rasul saw. Berada dalam kondisi yang sangat buruk. Kondisi inilah yang digambarkan oleh Allah SWT di dalam QS ar-Rum ayat 41 sebagai “fasad”.

Al-Hafizh al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadiir (5/475) menjelaskan pengertian ayat diatas, bahwa syirik dan maksiat itu merupakan sebab zhahirnya “fasad” di dunia. Adapun Imam Abul ‘Aliyyah, sebagaimana dikutip oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam Tafsiir al-Qur’aan al-‘Azhiim (6/320), menjelaskan bahwa siapa saja yang maksiat kepada Allah di atas bumi, sungguh dia telah menimbulkan kerusakan di bumi, karena baiknya bumi dan langit adalah dengan ketaatan (kepada Allah). []

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

six + seventeen =

Back to top button