Baiti Jannati

Hijrah Bersama Keluarga, Cukupkah?

Tren hijrah bersama keluarga saat ini menjadi fenomena yang menggembirakan di kalangan umat.  Ada yang berhijrah dari agama lama pada Islam. Ada yang hijrah dari aktivitas riba sebagai sumber penghasilan ke aktivitas yang halal. Ada yang hijrah dari keburukan menjadi keluarga yang shalih. Ada yang hijrah dari dunia artis menuju kehidupan yang lebih baik dalam ketaatan kepada Allah. Mereka memilih meninggalkan dunia akting, menutup aurat, rutin mengkaji Islam, dan sebagiannya ikut terjun dalam dunia dakwah.

 

Hijrah Menyelamatkan Keluarga

Keluarga adalah orang-orang yang paling dekat dengan kita.  Kita memiliki tanggung jawab untuk membawa keluarga kita dalam hidayah Allah; membawa mereka bersama-sama ke dalam surga-Nya dan menjauhkan mereka dari azab neraka-Nya. Allah SWT berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا ٦

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka… (QS at-Tahrim [66]: 6).

 

Untuk itulah kita wajib berhijrah jika kehidupan keluarga kita belum sesuai dengan apa yang Allah syariatkan.

Apa itu hijrah? Menurut  Izzuddin bin Abdis Salam dalam Syajarât al-Ma’ârif wa al-Ahwâl wa Shâlih al-Aqwâl wa al-A’mâl, hijrah itu ada dua macam: Pertama, hijrah meninggalkan negeri. Kedua, hijrah meninggalkan dosa dan pelanggaran terhadap syariah.

Adapun menurut istilah syariah, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid 2, hijrah adalah keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. Ini seperti hijrah Rasulullah saw. dari Makkah (darul kufur) menuju Madinah al-Munawwarah (Darul Islam) pada tahun 622 M. Dengan demikian hijrah meninggalkan negeri ini sudah tidak berlaku lagi. Kecuali bagi mereka yang tertindas dan tak lagi bisa menampakkan syiar-syiar Islam, wajib hukumnya hijrah dari darul kufur menuju Darul Islam (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 97-99).

Hijrah dalam arti meninggalkan dosa dan pelanggaran syariah juga wajib dilakukan. Pasalnya, tiap maksiat memang harus ditinggalkan. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw., ”Seorang Muslim adalah orang yang menjadikan kaum Muslim selamat dari ucapan dan tangannya. Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan segala sesuatu yang telah Allah larang.” (HR al-Bukhari Muslim).

Hijrah dalam definisi kedua inilah yang menjadi topik pembahasan sekarang.

 

Optimal Mengajak Keluarga Berhijrah

Mengajak keluarga hijrah bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika pemahaman mereka berbeda.  Upaya ini bisa jadi membutuhkan waktu yang lama, bukan instan.  Tentu kita harus menempuh sebab-sebab keberhasilannya. Di antaranya:

Pertama: Memperbanyak doa kepada Allah untuk membukakan hati keluarga, memberikan hidayah dan petunjuk kepada mereka agar bisa berhijrah bersama.  Doa adalah sumber kekuatan kita, yang memberikan keyakinan pada kita untuk terus berusaha sebaik-baiknya.

Kedua: Menyampaikan dakwah dan ajakan berhijrah dengan cara yang makruf.  Ajakan kepada suami atau istri, anak dan keluarga lainnya, harus kita sampaikan dengan cara yang sebaik-baiknya. Sebagai keluarga yang telah hidup bersama, tentu kita telah mengenal karakter mereka. Cara dakwah kita bisa menyesuaikan dengan karakter ini.  Allah SWT telah berfirman:

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ ١٢٥

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik… (QS an-Nahl [16]: 125).

 

Yang terpenting bagi kita adalah menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga sehingga kita bisa membagi visi misi hijrah kita tanpa dirasa menggurui apalagi memaksa.  Jika memungkinkan, kita bisa menyertakan dalil-dalil dan keutamaan berhijrah.

Ketiga: Memberikan contoh dan pembiasaan.  Boleh jadi keberatan keluarga untuk berhijrah adalah kebiasaan lama yang masih dilakukan.  Mengubah kebiasaan semacam ini tidak mudah, namun bukan tidak mungkin.  Kita mulai dengan memberikan contoh, mengajarkan hukum Islam dengan benar, serta membiasakannya pada keluarga.  Jika semula terasa berat, dengan pembiasaan, ia akan terasa ringan.  Apalagi jika keluarga merasakan kebaikan dari perubahan kita setelah berhijrah, insya Allah akan lebih mudah untuk mengajak mereka.

 

Tantangan Hijrah Keluarga

Tantangan hijrah saat ini sangat besar sehingga membuat kemungkinan hijrah gagal juga besar.  Karena itu penting untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan ini sebagai langkah antisipasi.  Tantangan tersebut antara lain:

Pertama: Kurangnya pemahaman agama. Keinginan hijrah yang tinggi, tetapi tidak dibarengi oleh pemahaman agama, akan membuat para pelaku hijrah cepat merasa putus asa.  Hal ini karena jalan hijrah tidaklah ringan.  Karena itu ketika kita memutuskan hijrah, semestinya memperkuat pemahaman agama menjadi agenda utama yang harus dikedepankan.  Memperbanyak mengikuti kajian secara langsung di masjid dan majelis taklim, atau melalui zoom meeting, youtube dan berbagai media sosial lain bisa menjadi sarana. Lebih baik lagi jika mengkaji secara intensif bersama ustadz atau ustadzah yang terpercaya iman dan ilmunya.

Kedua: Ekonomi. Faktor ekonomi bisa menjadi tantangan karena biasanya hijrah disertai dengan meninggalkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan syariah, seperti aktivitas riba, keartisan dan sebagainya.  Karena itu hijrah harus lekat dengan tawakal; yakin bahwa Allah SWT akan membukakan pintu rezeki-Nya.  Allah SWT berfirman:

وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجۡعَل لَّهُۥ مَخۡرَجٗا  ٢ وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ ٣

Siapa saja yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan bagi dirinya jalan keluar, juga memberi dirinya rezeki dari arah yang tiada dia sangka-sangka. Siapa saja yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya… (QS ath-Thalaq [65]: 2-3).

 

Nabi saw. juga bersabda:

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لله عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ الله بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْه

Sungguh jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Dia akan memberi ganti untuk dirimu dengan yang lebih baik (HR Ahmad).

 

Karena itu perlu senantiasa meluruskan niat dan istiqamah dalam hijrah sekalipun ujian Allah datang menghadang.

Ketiga: Lingkungan.  Lingkungan memiliki pengaruh besar bagi pelaku hijrah.  Jika berhijrah, namun tidak berhijrah juga dari lingkungan sebelumnya, maka kemungkinan untuk terbawa kembali sangat besar.  Rasulullah saw. bersabda:

اَلْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Karena itu hendaklah kalian memperhatikan siapakah yang menjadi teman dekatnya (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

 

Karena itu setelah hijrah hendaknya kita mencari lingkungan yang baik yang akan membantu kita istaqamah. Nabi saw. telah menjelaskan hal ini di dalam hadis shahih berikut ini:  “Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Penjual minyak wangi mungkin akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli dari dia, atau engkau  mendapatkan bau harumnya. Sebaliknya, pandai besi mungkin akan membakar pakaianmu atau engkau mendapatkan bau yang buruk.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Keempat: Media massa dan sosial.  pada zaman sekarang, media memiliki pengaruh cukup besar dalam kehidupan seseorang.  Kadang hijrah kita mendapat cibiran dari netizen yang menjatuhkan mental; atau berlawanan dengan tren yang berkembang. Akibatnya, hal demikian membuat goyah niat hijrah kita.  Hal ini bisa diantisipasi dengan menguatkan iman dan pemahaman agama.

 

Hijrah Butuh Perlindungan Negara

Berbagai tantangan yang kita hadapi dalam hijrah akan sangat berat jika kita hadapi secara individual.  Misal mencari penghidupan baru untuk menafkahi keluarga, atau menghindari pengaruh buruk dari lingkungan dan media.

Dulu pada masa Rasulullah saw. hijrah, beliau mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshar. Dengan itu mereka bisa saling membantu dan menguatkan. Beliau pun menempatkan orang-orang yang berhijrah dan belum memiliki tempat tinggal di shufah (teras) masjid.  Beliau juga, ketika mendapatkan harta rampasan perang Bani Nadhir berupa tanah pertanian, membagikan tanah itu kepada kaum Muhajirin yang belum memiliki tanah agar bisa menjadi sumber penghidupan.  Inilah sebenarnya peran negara. Negara berperan memastikan agar rakyatnya hijrah pada kebaikan tanpa ada kendala dan kesulitan. Negara juga berkewajiban membentengi rakyatnya dari serangan pemikiran dan pemahaman yang rusak dari luar Islam.  Inilah negara yang pemimpinnya disifati oleh Rasulullah saw.:

إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

Sungguh Imam (Khalifah) itu perisai; orang-orang akan berperang di belakang dirinya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR Muttafaqun ’alayh).

 

Hijrah Tidak Cukup Hanya dengan Keluarga

Jelas, hijrah tidak akan berlangsung sempurna tanpa institusi pelindungnya.  Selama institusi yang melindungi ini tidak ada, hijrah hanya akan menjadi fenomena individual, yang pelakunya kadang mampu istiqamah dalam hijrah dan kadang gagal.

Karena itu hijrah individu dan keluarga semata-mata tidak akan membawa pada perubahan yang signifikan dalam kehidupan umat. Islam tetap akan menjadi ajaran asing yang tidak diterapkan dalam kehidupan. Karena itu diperlukan pula hijrah hijrah sistemik.  Berpindah dari sistem Kapitalisme-sekuler saat ini pada sistem Islam.  Dalam hijrah ini, seluruh umat harus terlibat. Dengan demikian, tugas kita saat ini adalah menciptakan opini umum di tengah umat tentang kebutuhan akan tegak kembalinya khilafah. Inilah hijrah yang sempurna.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [AR]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × 4 =

Back to top button