Ibrah

Haji Mabrur

Setiap tahun jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia memenuhi panggilan suci untuk menunaikan ibadah haji. Mereka datang dengan hati yang penuh harap, memohon ampunan dan ridha dari Allah SWT. Ibadah haji merupakan manifestasi tertinggi dari ketundukan, kepatuhan dan kepasrahan total seorang hamba kepada Rabb-nya. Sejak niat ihram hingga tahallul, setiap rukun dan wajib haji mengandung makna spiritual yang mendalam. Ketika seorang Muslim mengenakan ihram, ia menanggalkan identitas duniawinya. Ia menyatakan bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang tunduk pada perintah Allah.

Perjalanan menuju Arafah, Muzdalifah dan Mina bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan jiwa menuju puncak ketaatan. Di Arafah jamaah haji berdiri memohon ampunan, mengingat kembali dosa-dosa yang telah lalu, dan bertekad untuk memperbaiki diri. Momen ini menggambarkan kepasrahan total kepada Allah SWT.

Namun sayang, tidak semua yang menunaikan haji memperoleh predikat haji mabrur. Padahal pahala haji mabrur adalah surga. Demikian sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

«الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ»

Tak ada balasan lain bagi haji mabrur itu kecuali surga. (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Para ulama menjelaskan bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT, yang pelaksanaannya tidak dicampuri dengan dosa dan maksiat. Imam an-Nawawi rahimahulLâh menyatakan, ”Pendapat yang paling kuat dan terkenal: haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa; diambil dari kata ’birr’ yang bermakna ketaatan.” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, 9/118).

Haji mabrur adalah ibadah haji yang tidak dicampuri dengan riya’. Terkait ini, pernah dikatakan kepada Al-Fudhail bin ‘Iyadh, ”Betapa banyak orang yang berhaji!” Ia malah menjawab, ”Betapa sedikit dari mereka (yang benar-benar berhaji)!” Mereka bertanya, ”Apa maksudmu?” Ia menjawab, ”Ini hanya keramaian saja. Kalau aku katakan dari seratus orang hanya satu yang berhaji sungguh-sungguh, aku berharap aku tidak berdusta.” (Ad-Dzahabi, Siyar A‘lam an-Nubalâ’, 8/440).

Karena itu haji mabrur adalah ibadah haji yang dipersembahkan hanya untuk Allah, bukan untuk dilihat oleh manusia. Ini berlaku juga untuk amal-amal ibadah yang lain. Demikian sebagaimana dikatakan oleh Sufyan ats-Tsauri rahimahulLâh:

«أُحِبُّ أَنْ أُخْفِيَ هَذِهِ اْلأَعْمَالَ كَمَا أُخْفِيَ ذُنُوْبِي »

Aku suka menyembunyikan amal-amalku ini sebagaimana aku suka menyembunyikan dosa-dosaku (Al-Khathib al-­Baghdadi, Târîkh Baghdâd, 9/161).

 

Karena itulah beliau pernah menunda ibadah haji karena khawatir niatnya tidak murni karena Allah. Ini adalah teladan tentang pentingnya niat yang lurus dalam ibadah haji.

Haji mabrur adalah haji yang disertai dengan rasa takut kepada Allah SWT. Terkait itu, Umar bin al-Khaththab ra. dikenal sebagai seorang yang sangat takut kepada Allah SWT. Bahkan saat ibadah haji. Al-Hasan berkisah: Umar bin al-Khaththab ra. pernah berhaji. Ketika tiba di Mina, ia tampak seperti terguncang. Orang-orang bertanya, ”Ada apa dengan dirimu?” Ia menjawab, ”Ini tempat di mana Allah mengampuni Adam. Lalu bagaimana dengan seorang hamba yang penuh dosa seperti aku?” (Ibnu Asakir, Târîkh Dimasyq, 44/301).

Haji mabrur adalah haji yang diniatkan untuk tawbat[an] nasûhâ dan menghapus dosa-dosa. Ini karena, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra.: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ”Siapa saja yang berhaji, lalu tidak berkata keji dan tidak berbuat fasik, ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.” (HR al-Bukhari ndan Muslim)

Karena itu haji mabrur adalah haji yang menjadikan pelakunya bertobat dan tidak kembali berbuat dosa. Demikian sebagaimana dikatakan oleh Sufyan bin Uyainah rahimahulLâh:

«عَلَامَةُ الْحَجِّ الْمَبْرُوْرِ أَنْ يَرْجِعَ خَيْرًا مِمَّا كَانَ وَلَا يُعَاوِدَ الْمَعَاصِي»

Tanda haji mabrur adalah saat seseorang yang pulang dari berhaji dalam keadaan lebih baik dari sebelumnya dan tidak kembali melakukan ragam kemaksiatan (Ibnu Abi Syaibah, Al-Musannaf, 3/252).

 

Haji mabrur juga adalah haji yang dijalankan dengan penuh kerendahan hati dan pengorbanan. Terkait ini, Abdullah bin Umar ra. pernah menunaikan ibadah haji sengaja dengan berjalan kaki (tanpa kendaraan). Nafi’ mengisahkan: Ibnu Umar kadang berhaji dengan berjalan kaki dan kadang dengan tunggangan. Saat ditanya, ”Mengapa engkau berhaji dengan berjalan kaki?” Ia menjawab, ”Aku ingin benar-benar merasakan bahwa aku ini sedang berhaji.” (Ibnu Abi Syaibah, Al-Musannaf, 3/252).

Haji mabrur adalah juga haji yang menghasilkan perubahan perilaku menjadi lebih baik. Terkait ini, Al-Hasan al-Bashri rahimahulLâh berkata:

«الحَجُّ الْمَبْرُوْرُ أَنْ يَرْجِعَ زَاهِدًا فِي الدُّنْيَا وَرَاغِبًا فِي اْلآخِرَةِ»

Haji mabrur adalah seseorang yang pulang dari berhaji dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan bersemangat (taat) untuk akhirat (Al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 2/144).

 

Terkait itu, Abdullah bin Mubarak rahimahulLâh pernah mendahulukan bersedekah daripada melakukan haji sunnah. Dikisahkan bahwa beliau pernah membatalkan ibadah haji sunnah. Sebabnya, saat hendak berhaji, ia melihat seorang wanita miskin memungut bangkai burung untuk dimakan. Ia segera memberikan seluruh hartanya (yang sedianya untuk keperluan ibadah haji) kepada wanita itu dan berkata, ”Sedekah ini lebih utama daripada ibadah haji kami.” (Al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’, 8/167).

Alhasil, haji mabrur bukan sekadar gelar, tetapi merupakan cerminan dari perubahan spiritual, moral dan emosional seorang hamba setelah menunaikan ibadah haji. Ia menjadi pribadi yang lebih taat, santun, peduli dan menjauhkan diri dari maksiat.

Semoga kita berkesempatan untuk menunaikan haji dan meraih predikat haji mabrur. Amiin.

 

Wa mâ tawfîqîillâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

eighteen + 11 =

Check Also
Close
Back to top button