Ibrah

Peduli

RAMADHAN memang telah berlalu. Puasanya telah usai. Berganti dengan suasana Idul Fitri. Tidak lama. Idul Fitri pun segera pergi.

Singkatnya, Ramadhan telah berganti Syawal. Peralihan bulan ini mengisyaratkan hal yang tidak sama bagi setiap Muslim. Adakalanya seorang Muslim tetap taat baik selama Ramadhan maupun setelah Ramadhan. Ia tetap istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT. Muslim yang lain ada yang biasa bermaksiat sebelum Ramadhan, taat saat Ramadhan, tetapi kembali bermaksiat pasca Ramadhan. Muslim yang lainnya lagi ada yang bahkan sebelum Ramadhan, selama Ramadhan maupun setelah Ramadhan tetap “istiqamah” dalam kemaksiatan. Saat Ramadhan atau di luar Ramadhan, ia tak ada bedanya.

Yang terbaik tentu saja adalah yang selalu berupaya tetap istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT, saat Ramadhan ataupun di luar Ramadhan, sepanjang tahun.

Salah satu wujud ketaatan kepada Allah SWT adalah adanya sikap peduli terhadap sesama Muslim. Sebabnya, kepedulian terhadap sesama memang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Mengapa? Karena: Innama al-Mu’minuun ikhwat[un] (Sesama kaum Muslim itu saudara).

Kepedulian ini pula yang antara lain diajarkan di dalam ‘madrasah’ Ramadhan. Selama Ramadhan kita, misalnya, diajarkan untuk saling berbagi. Di antaranya dengan memberi makan orang yang berbuka puasa. Pada bulan ini pula kita diajari untuk banyak bersedekah dan banyak membantu orang lain.

Intinya, setiap Muslim wajib memiliki perhatian dan kepedulian kepada saudaranya sesama Muslim. Sebaliknya, mereka haram bersikap tak acuh terhadap saudaranya. Dalam hal ini Hudzaifah bin al-Yaman ra. berkata, “Siapa saja yang tidak mempedulikan urusan kaum Muslim, dia tidaklah termasuk golongan mereka.” (HR ath-Thabarani, Al-Mu’jam al-Awsaath, 7/270; Al-Mundziri, At-Targhiib wa at-Tarhiib, 3/35).

Di antara bentuk kepedulian kepada sesama, seorang Muslim, misalnya, akan selalu ringan tangan saat ada yang meminta bantuan kepada dirinya. Pastinya, pernah atau bahkan sering kita kedatangan orang-orang yang membutuhkan bantuan atau pertolongan kita. Mungkin saudara kita, sahabat kita, kawan kita atau bahkan orang lain yang tidak kita kenal (seperti para peminta-minta).

Sekali-dua kali mungkin akan kita layani dan penuhi permintaannya jika keadaan kita sedang lapang. Namun, acapkali kita menjadi bosan dan jengah jika kita keseringan didatangi oleh orang-orang yang meminta bantuan kita. Apalagi jika orang tersebut itu-itu saja. Dia lagi, dia lagi. Begitu barangkali yang terbersit dalam hati kita.

Siapapun yang demikian keadaannya, alangkah lebih baik jika ia meneladani sikap Ali bin al-Husain rahimahulLaah. Saat ia sering didatangi oleh peminta-minta atau siapapun yang membutuhkan bantuannya, ia akan selalu menyambut hangat mereka dengan berkata, “Marhaban bi man yahmilu zaadii ilaa al-aakhirah (Selamat datang, wahai orang yang membawakan perbekalan [pahala]-ku untuk di akhirat nanti).” (Ibnu al-Jauzi, Shifah ash-Shafwah, 2/95).

Ya, Ali bin al-Husain selalu memandang mereka yang datang untuk meminta bantuannya sebagai orang-orang yang sedang membawakan pahala sebagai tambahan perbekalan dirinya di akhirat nanti. Sebabnya, bukankah saat mereka datang untuk meminta bantuan kita, itu adalah kesempatan kita untuk berbuat baik dan bersedekah kepada mereka, yang pastinya bakal mendatangkan pahala yang banyak untuk perbekalan kita di akhirat kelak?

Karena itu, bahkan jika ada orang yang mau datang kepada kita hanya saat dia membutuhkan bantuan kita, kita tak perlu jengkel atau bersedih hati. Renungkanlah nasihat seorang ulama, “Laa taqul fulaan[an] laa ya’rifuni illaa waqta al-haajati bal qul al-hamdulilLaah al-ladzii akramannii bi qadhaa’i hawaa’iz an-naas (Janganlah engkau berkata tentang si Fulan, “Dia tidak kenal aku kecuali saat ada kebutuhan [kepadaku].” Akan tetapi, katakanlah, “AlhamdulilLaah. Segala pujian milik Allah Yang telah memuliakan aku dengan [memberi aku] kesempatan untuk memenuhi kebutuhan orang lain.”

Nasihat ini tentu relevan dengan sabda Rasulullah saw., “Manusia yang paling Allah cintai adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia lain. Amalan yang paling Allah cintai adalah membuat Muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahannya, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang Muslim untuk memenuhi keperluannya lebih aku cintai daripada beritikaf di masjid ini (Masjid Nabawi) selama sebulan penuh.” (HR ath-Thabrani).

Bayangkan. Betapa besar keutamaan shalat dan ibadah—tentu juga itikaf—di Masjid Nabawi. Sebabnya, kata Nabi saw. sendiri, shalat di Masjid Nabawi setara dengan 1000 kali shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali Masjid al-Haram (HR al-Bukhari dan Muslim).

Namun demikian, besarnya keutamaan tersebut ternyata masih “kalah hebat” daripada besarnya keutamaan sikap peduli kepada sesama; membahagiakan orang lain, termasuk melepaskan beban kesulitannya, membayarkan utang-utangnya, memenuhi kebutuhannya, dll.

Inilah pula—yakni kepedulian kepada sesama—yang senantiasa dipraktikkan oleh, antara lain, Imam Ali Zainal Abidin, sepanjang hidup beliau. Nama aslinya adalah Ali bin al-Husain. Beliau dikenal dengan julukan “Zayn al-Abidîn (Hiasan Para Ahli Ibadah)” karena kemuliaan pribadi dan ketakwaannya. Ia pun digelari dengan “As-Sajjâd” karena begitu banyaknya ia beribadah dan bersujud kepada Allah SWT, baik siang maupun malam hari (Muhammad Uwaydhah, Fashl al-Khithâb, 1/702).

Namun demikian, kesibukan Imam Ali Zainal Abidin dalam beribadah kepada Allah SWT pada malam dan siang hari tidak menjadikan beliau bersikap tak acuh kepada orang lain. Beliau adalah ulama yang sangat peduli kepada sesamanya. Beliau, misalnya, selama bertahun-tahun sering memikul tepung dan roti di punggungnya untuk dibagi-bagikan kepada keluarga-keluarga miskin di Madinah. Menurut adz-Dzahabi dalam Siyar al-Alam an-Nubalâ, hal itu ia lakukan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari, bahkan tanpa diketahui oleh mereka yang diberi. Orang-orang miskin itu tak pernah tahu siapa yang selama ini telah menghidupi mereka. Mereka baru tahu setelah tidak ada lagi yang mengirim gandum dan roti hampir setiap malam ke rumah-rumah mereka sejak Imam Ali Zainal Abidin wafat.

Semoga kita bisa senantiasa istiqamah dalam merawat sikap peduli terhadap sesama. Amin.

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [ABI]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × one =

Check Also
Close
Back to top button