
Kerapuhan Ekonomi Global dan Domestik
Dua raksasa ekonomi dunia, yaitu AS dan Cina, mengalami tekanan yang cukup tinggi tahun ini. IMF meramal ekonomi AS hanya akan tumbuh 2,6 persen tahun ini, lalu melambat menjadi 1,9 pada tahun 2025. Cina hanya tumbuh 5 persen dan diperkirakan merosot menjadi 4,5 persen pada tahun berikutnya. Beberapa persoalan fundamental menghambat pertumbuhan ekonomi kedua negara itu.
Berdasarkan survei Pew Research Center yang digelar Mei 2024,1 tiga dari lima masalah teratas yang dihadapi Amerika Serikat menurut pandangan masyarakatnya terkait dengan ekonomi. Inflasi menjadi masalah paling mendesak karena terkait dengan kenaikan biaya hidup dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Urutan kedua adalah kemampuan Partai Demokrat dan Republik untuk bekerjasama dianggap sebagai masalah serius. Mahalnya pelayanan kesehatan menduduki posisi ketiga. Kecanduan narkoba berada di urutan keempat. Defisit anggaran federal berada pada peringkat kelima. Utang pemerintah federal terus meningkat dengan mengandalkan penjualan obligasi kepada para investor, baik negara asing maupun swasta, yang sangat sensitif terhadap stabilitas ekonomi negara pengutang.
Federal Reserve sendiri telah memulai pemotongan suku bunga pertamanya dalam empat tahun, mengurangi suku bunga pinjaman utama sebesar 0,5 poin persentase. Keputusan ini mencerminkan kekhawatiran yang berkelanjutan atas pertumbuhan ekonomi yang tertekan oleh suku bunga tinggi yang diberlakukan untuk meredam inflasi yang masih di atas 2 persen. Penurunan suku bunga ini diharapkan dapat merangsang pengeluaran konsumen yang mengandalkan pembiayaan kredit.
Sementara itu, Cina, yang menjadi lokomotif utama pertumbuhan ekonomi global dalam dua dekade terakhir, juga menghadapi beberapa masalah ekonomi yang cukup serius. Pertama: Perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina telah menjadi perhatian global dalam beberapa tahun terakhir. Dari tingkat pertumbuhan dua digit pada awal 2000-an, ekonomi Cina mengalami penurunan signifikan. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan PDB Cina hanya di sekitar 5 persen, jauh di bawah rata-rata 9,5 persen yang dicapai antara 1978 hingga 2018. Pertumbuhan rendah ini tidak hanya mengindikasikan turunnya performa ekonomi negara itu, tetapi juga menjadi alarm bagi negara-negara yang mengandalkan Cina sebagai pasar ekspor, termasuk Indonesia.
Kedua: Krisis properti di Cina telah menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi negara tersebut. Sektor real estate, yang menyumbang sekitar 25-30 persen dari PDB Cina, mengalami guncangan berat, menimbulkan kekhawatiran akan efek domino ke sektor lain dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Rendahnya permintaan properti mendorong Pemerintah Cina pada Juli 2024 untuk menerbitkan sekitar 1 triliun yuan (sekitar $140 miliar) utang jangka panjang untuk mengatasi krisis tersebut. Namun, inisiatif itu dianggap tidak memadai dibandingkan besarnya gagal bayar yang dialami oleh sejumlah perusahaan properti di negara itu.2
Ketiga: Tingginya utang Pemerintah menjadi masalah kronis bagi ekonomi Cina. Pada akhir 2023, total utang Pemerintah—termasuk utang pemerintah pusat, daerah dan LGFV (Local Government Financing Vehicles)—mencapai 116 persen dari PDB, naik 35 persen sejak 2018. Peningkatan ini menambah risiko krisis utang di masa depan. Sebelum krisis properti, sektor tersebut menyumbang 40 persen pendapatan pemerintah daerah, namun merosot tajam setelah krisis melanda. Dua dari tiga lembaga pemeringkat utama, Moody’s dan Fitch, telah menempatkan utang Cina dalam outlook negatif sejak Desember lalu.3 Akibatnya, ruang gerak Pemerintah dalam kebijakan fiskal seperti pemberian subsidi dan stimulus semakin terbatas, dan risiko krisis keuangan kian meningkat.
Keempat: Penuaan populasi Cina merupakan tantangan demografis yang signifikan. Berdasarkan data Biro Statistik Nasional Cina, pada akhir 2023, sekitar 20 persen populasi Cina berusia di atas 60 tahun, meningkat dari 13,3 persen pada tahun 2010. Angka kelahiran turun ke level terendah dalam sejarah modern Cina, yaitu 6,39 kelahiran perseribu orang pada 2023.4 Angka ini jauh lebih rendah dibandingkandengan angka kelahiran di Indonesia yang mencapai 16 perseribu orang.
Perubahan demografis ini—fenomena yang mulai jamak di negara-negara maju–akan mengurangi ketersediaan tenaga kerja produktif dan meningkatkan biaya pensiun serta perawatan kesehatan karena lebih banyak orang yang tidak berada dalam usia kerja. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi jangka panjang akan lebih rendah, yang pada gilirannya dapat melemahkan daya saing ekonomi negara itu di tingkat global.
Kelima: Ketegangan geopolitik, terutama dengan Amerika Serikat, telah berdampak signifikan pada ekonomi Cina. Perang dagang yang dimulai pada 2018 berlanjut dengan berbagai bentuk. Pemerintahan Biden juga telah menerapkan kontrol ekspor ketat yang bertujuan untuk membatasi akses Cina terhadap teknologi canggih, terutama di sektor semikonduktor. Pemerintah AS telah meningkatkan tarif pada barang-barang Cina. Sebagai contoh, pemberlakuan tarif 100 persen untuk kendaraan listrik dan 50 persen untuk sel surya. Langkah ini bertujuan untuk melindungi bisnis Amerika dari apa yang dianggap sebagai praktik perdagangan tidak adil oleh Cina.5
Ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung antara AS dan Cina, terutama terkait dengan Taiwan dan Laut Cina Selatan, semakin merenggangkan hubungan ekonomi kedua negara tersebut.
Fundamental Domestik Rapuh
Ketidakstabilan ekonomi global akan berdampak serius terhadap ekonomi Indonesia. Tekanan ekonomi yang dihadapi Amerika Serikat dan Cina, serta konflik di antara keduanya, secara langsung berdampak signifikan bagi Indonesia. Permintaan ekspor Indonesia diperkirakan akan menurun, terutama untuk komoditas utama seperti batubara dan minyak kelapa sawit. Selain itu, krisis properti di Cina dan ketidakstabilan kebijakan moneter di AS juga dapat mempengaruhi stabilitas keuangan global, yang pada gilirannya akan berdampak pada nilai tukar rupiah dan pasar keuangan Indonesia.
Di dalam negeri, kondisi ekonomi juga semakin tidak solid. Penurunan kelas menengah di Indonesia, hampir 10 juta orang dari 57,33 juta pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta pada tahun 2024, mencerminkan berkurangnya daya beli masyarakat.
Tingkat kemiskinan di Indonesia juga masih sangat tinggi. Menurut Bank Dunia, dengan standar kemiskinan US$3,65 perhari, penduduk miskin Indonesia pada tahun 2023 adalah 18,25 persen atau sekitar 50,65 juta orang. Angka ini dua kali angka versi Pemerintah yang mencapai 9,40 persen atau sekitar 26 juta orang pada periode yang sama. Jika memasukkan standar yang lebih tinggi, sebesar US$6,9 penduduk yang hidup miskin menjadi 62 persen.6
Indeks Gini yang mencerminkan ketimpangan ekonomi juga semakin akut dari 30,3 pada tahun 2000 menjadi 35 pada tahun 2023. Ini adalah akibat semakin terkonsentrasinya kekayaan di kelompok menengah atas.
Penurunan angka kelas menengah di Indonesia diakibatkan oleh peningkatan biaya hidup yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Dalam dua tahun terakhir, harga pangan, terutama beras, mengalami kenaikan signifikan. Biaya transportasi juga meningkat akibat lonjakan harga BBM. Biaya listrik tetap tinggi karena sebagian besar bahan bakunya diimpor. Kenaikan biaya hidup ini dapat berlanjut jika Pemerintah memberlakukan pembatasan pada BBM bersubsidi dan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, termasuk pada cukai minuman berpemanis dan rokok.
Pengetatan suku bunga Bank Indonesia telah menyebabkan kenaikan suku bunga kredit dan investasi. Akibatnya, masyarakat yang mengandalkan kredit untuk membiayai konsumsi mereka (seperti rumah dan kendaraan) dan usaha mereka, ikut tertekan. Nasib penduduk yang mengakses pinjol jauh lebih tragis.
Di sisi lain, maraknya PHK, pertumbuhan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan biaya hidup, serta penurunan pendapatan akibat turunnya harga komoditas pertanian dan pertambangan menyebabkan turunnya pendapatan penduduk. Sebagai gambaran, tingkat inflasi rata-rata Februari 2019-Februari 2024 sekitar 3 persen, bahkan makanan mencapai 4 persen. sementara pertumbuhan upah hanya sekitar 1,7 persen. Bahkan banyak pekerja yang upahnya tumbuh hanya sekitar satu persen, seperti transportasi, jasa pendidikan, penyedia makanan dan minuman. Deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir menjadi indikasi turunnya daya beli masyarakat.
Pelaku usaha juga dihadapkan pada kondisi bisnis yang semakin tidak kondusif. Berdasarkan survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia Semester 1-2024, perizinan, suku bunga, infrastruktur, perpajakan, dan undang-undang/ketentuan, merupakan masalah terbesar yang dihadapi pengusaha. Dalam hal suku bunga, misalnya, rata-rata suku bunga pinjaman di Indonesia mencapai 8.9 persen, jauh di atas Thailand (4,3 persen), Cina (4.4 persen), dan Malaysia (5,3 persen). Suku bunga menjadi lebih tinggi pada skala usaha mikro dan kecil dibandingkan usaha besar dan menengah.
Produsen domestik juga dihadapkan pada banjir produk impor, terutama dari Cina. Dugaan praktik anti-dumping pada produk-produk impor asal Cina tidak mendapatkan perlawanan sama sekali dari Pemerintah. Bahkan Pemerintah cenderung mempermudah masuknya barang-barang impor. Salah satu bentuknya adalah penghapusan peraturan teknis dari Kementerian Perindustrian atas barang-barang impor.
Kembali Ke Islam
Dalam perspektif Islam, penyebab berbagai persoalan ekonomi global dan domestik dapat dikembalikan pada beberapa faktor mendasar. Pertama: Sistem ekonomi Kapitalisme sering hanya fokus pada pertumbuhan tanpa memperhatikan aspek distribusi. Dalam sistem ini, distribusi dipandang sebagai pelengkap, tanpa adanya kewajiban dari negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara. Akibnatnya, kemiskinan menjadi masalah laten.
Kedua: Mekanisme pasar dalam pendistribusian barang modal ekonomi—seperti tanah, uang, pendidikan, dan keterampilan—menyebabkan hanya mereka yang mampu membayar harga barang modal atau memiliki koneksi dengan penguasa yang berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Misalnya, jutaan usaha kecil dan menengah (UKM) atau calon pengusaha kesulitan mendapatkan modal akibat masalah suku bunga, jaminan, dan prosedur yang rumit. Sementara itu, Dana Pihak Ketiga yang mengendap di perbankan atau dibelikan surat berharga milik Bank Indonesia (BI) maupun Pemerintah, lebih dari seribu triliun rupiah pada akhir tahun lalu.
Ketiga: Masalah struktural lainnya muncul dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang bergantung pada pajak dan utang berbasis riba. Akibatnya, alokasi pembayaran utang dan bunga semakin besar dan mengurangi belanja Pemerintah untuk subsidi, pembangunan infrastruktur, dan pelayanan publik.
Keempat: Sistem moneter yang berbasis fiat money dan sistem keuangan yang mengandalkan riba serta spekulasi menciptakan ketidakstabilan yang mengganggu pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
Kelima: Penguasaan aset-aset publik oleh segelintir korporasi swasta menyebabkan ketimpangan semakin meluas. Kondisi ini sangat kontras dengan aturan yang berlaku di dalam Negara Islam (Khilafah Islam). Distribusi menjadi perhatian utama dalam prinsip ekonomi Islam, di mana negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar—seperti makanan, minuman, dan pakaian per individu, serta memberikan akses pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis.
Islam juga telah menetapkan kategori dan batasan kepemilikan barang-barang ekonomi. Barang milik publik, misalnya, seperti air, hutan dan energi tidak dapat dikuasai oleh swasta. Semua itu harus dikelola oleh negara untuk kepentingan publik. Tanah menjadi milik negara didistribusikan secara adil kepada mereka yang membutuhkan dan mampu mengelolanya.
Keuangan negara juga menjadi lebih sehat sebab tak mengandalkan pendapatan utang ribawi. Pendapatan dari pengelolaan harta milik umum seperti tambang batubara, migas dan emas berpotensi meraup pendapatan besar. Apalagi jika nilai tambahnya ditingkatkan dengan mengadopsi teknologi terbaru dan sistem produksi yang lebih efisien. Mekanisme ini berpotensi menghilangkan atau mereduksi porsi penerimaan negara dari pajak yang syar’i, yang hanya berlaku untuk orang yang kaya dan temporer jika kas negara tidak cukup untuk membiayai pengeluaran yang wajib.
Sistem moneter dalam Islam bersandar pada mata uang emas (dinar) dan perak (dirham). Dengan itu stabilitas nilai mata uang dan pengendalian inflasi lebih terjaga. Sistem keuangan dalam Islam juga menolak transaksi yang zalim seperti riba dan spekulasi (gharar). Kerjasama bisnis seperti syirkah mudhaarabah (bagi hasil) dan charity seperti pemberian pinjaman yang tidak berbunga (qardh hasanah), wakaf dan sedekah, didorong untuk tumbuh.
Beberapa aspek dari sistem ekonomi Islam tersebut sangat relevan bagi rakyat dan Pemerintah Indonesia yang mendambakan perbaikan kesejahteraan, kemajuan, kestabilan dan kemandirian ekonomi; serta peningkatan daya saing di tingkat global. Apalagi aturan-aturan Islam merupakan kewajiban yang berasal dari Allah SWT, Tuhan Yang Mahatahu dan Mahabijaksana.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Muis].
Catatan kaki:
1 Pew Research. “Top problems facing the U.S”. https://www.pewresearch.org/politics/2024/05/23/top-problems-facing-the-u-s/. Diakses 3 Oktober 2024.
2 Milton Ezrati, “Complexities Dog Beijing’s Latest ‘Remedy’ For China’s Property Crisis,” Forbes, July 9, 2024, https://www.forbes.com/sites/miltonezrati/2024/07/08/complexities-dog-beijings-latest-remedy-for-chinas-property-crisis/. Diakses 3 Oktober 2024.
3 Chan Ka Sing, “China’s Risky Answer to Wall of Debt Is More Debt,” Reuters, June 18, 2024, https://www.reuters.com/breakingviews/chinas-risky-answer-wall-debt-is-more-debt-2024-06-17/. Diakses 3 Oktober 2024.
4 Farah Master, “China’s population drops for second year, with record low birth rate,” Reuters, January 17, 2024. https://www.reuters.com/world/china/chinas-population-drops-2nd-year-raises-long-term-growth-concerns-2024-01-17/. Diakses 4 Oktober 2024.
5 “US-China Relations in the Biden Era: A Timeline,” China Briefing, September 18, 2024, https://www.china-briefing.com/news/us-china-relations-in-the-biden-era-a-timeline/. Diakses 4 Oktober 2024.
6 World Bank. Poverty and Inequality Platform. Indonesia. https://pip.worldbank.org/#. Diakses 5 Oktober 2024.