
Distrust
Ijazah palsu. Itu dua kata yang tahun ini banyak dibicarakan orang. “Saya awalnya tidak tertarik dengan isu itu. Enggan membahasnya,” ujar Hersubeno Arif.
Bang Hersu, begitu saya menyapa beliau, menambahkan: “Tapi, lama kelamaan melihat bukti yang disodorkan, kok kayaknya ada benarnya.”
“Lama-lama tertarik juga,” ungkap wartawan senior itu awal Juni 2025.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengungkapkan bahwa penyelesaian perkara dugaan ijazah palsu Jokowi seharusnya tidak ditangani oleh Polri. Menurut dia, proses tersebut idealnya diselesaikan di Pengadilan Tata Negara. “Kan yang dipersoalkan itu ijazah kertas. Nah, di mana tempat membuktikan kertas itu benar atau salah? Harusnya di Pengadilan Tata Negara. Bukan di pengadilan pidana atau perdata,” katanya (28/5/2025).
Beberapa waktu lalu pihak Kepolisian melalui Bareskrim mengumumkan telah melakukan penyelidikan dan menyimpulkan ijazah yang diduga palsu itu identik dengan tiga ijazah lainnya. Namun, banyak publik meragukan. “Identik itu beda dengan otentik,” ujar Rizal Fadhilah.
“Ijazah pembandingnya mana? Tidak disebutkan. Hasil identik bisa jadi karena pembandingnya sama-sama palsu,” kata Roy Suryo.
Lain lagi dengan Bang Edy Mulyadi. Ia mengatakan, “Supir truk bawa SIM fotokopi gak boleh. SIM-nya disebut palsu. Ditangkap Polisi. Kalau Presiden, boleh?”
Inti dari semua itu adalah ketidakpercayaan alias distrust. “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya,” begitu kata pepatah Melayu.
Jika sekali seseorang berbuat curang, bohong, atau menipu (lancung) maka akibatnya fatal: orang tidak akan mempercayai dia seumur hidup. Menarik apa yang disampaikan oleh Robert Brault, “Setiap satu kebohongan seseorang sebenarnya adalah dua kebohongan. Satu kebohongan yang diberi tahu kepada orang lain. Satunya kebohongan untuk diri sendiri demi menyetujui perilakunya.”
Kebohongan memang penyakit berbahaya. Dulu, Sahabat Rasulullah saw. bernama Abdullah bin Mas’ud ra. berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda, “Hendaklah kalian selalu berlaku jujur karena kejujuran membawa pada kebaikan, sementara kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Jika seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhilah oleh kalian berbuat dusta karena dusta membawa seseorang pada kejahatan, sementara kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka dia akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Di antara tanda kedustaan adalah kebimbangan hati. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah saw, pernah bersabda, “…Kejujuran itu ketenteraman, sementara dusta itu keragu-raguan…” (HR at-Tirmidzi).
Bukan hanya ijazah palsu. Isu penguasaan tambang nikel oleh oligarki dan penguasa pun mencuat ke permukaan bulan ini. Peneliti Drone Emprit, Rizal Nova Mujahid, mengatakan sejak 1 hingga 9 Juni 2025 terdapat 23 ribu mention di semua kanal media sosial yang membahas tambang nikel di Raja Ampat, kawasan UNESCO Global Geoparks. “Hasilnya, mayoritas sentimen terhadap isu ini negatif,” ujar Rizal (10/6/2025).
Menurut Rizal, sentimen negatif terhadap isu tambang nikel di Raja Ampat itu mencapai 95 persen. Sisanya 5% memiliki sentiment positif atau netral. Intinya, mayoritas memandang negatif pertambangan nikel di sana. Narasi yang banyak disoroti adalah “kerusakan ekosistem akibat aktivitas penambangan nikel”, “penghiliran hanya sebagai kedok untuk mengeksploitasi sumber daya alam”, “pembabatan hutan”, atau “sedimentasi”.
The Jakarta Post (9 Juni 2025) menurunkan tulisan Raja Ampat’s nickel paradox: When green ambitions threaten blue paradise (Paradoks Nikel Raja Ampat: Ketika Ambisi Hijau Mengancam Surga Biru). “Tetapi izin pertambangan tetap keluar. Itu artinya ada kongkalikong antara otoritas pemberi izin, dalam hal ini Pemerintah, dengan perusahaan tambang. Ini juga menjadi penting untuk disasar ada apa dengan izin-izin yang keluar,” kata Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah.
Sekali lagi, ini mencerminkan adanya distrust pada diri masyarakat terhadap kebijakan rezim yang berkuasa selama ini. Tidak heran, publik pun menghubung-hubungkan nama kapal “JKW-Mahakam” dengan mantan Presiden Joko Widodo. Beruntung, Pemerintahan Prabowo segera mencabut ijin 4 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dicabut dimiliki oleh PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Melia Raymond Perkasa dan PT Kawai Sejahtera. Namun, ketidakpercayaan pun tetap ada. Publik mempertanyakan, “Mengapa hanya 4 perusahaan yang dicabut ijinnya? Mengapa PT Gag Nikel tidak?” Ini semua cermin adanya distrust.
Bukan hanya itu. Sebelumnya bulan Maret 2025 muncul isu korupsi di Pertamina akibat pertamax oplosan. Kerugian negara akibat aksi oplos Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 92 dengan RON 90 yang dilakukan PT Pertamina Patra Niaga diprediksi mencapai Rp 968,5 Triliun. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina pada periode 2019-2024, itu diperiksa Kejaksaan Agung. Hasilnya, entah bagaimana. Masyarakat pun banyak beralih membeli bahan bakar ke perusahaan asing seperti Shell. Ini pun tidak dapat dilepaskan dari distrust.
Berikutnya, Penyidik Bareskrim Polri kembali periksa mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus korupsi pengadaan lahan untuk rumah susun (rusun) di Cengkareng, Jakarta Barat. Dalam kasus ini diduga terjadi suap-menyuap kepada penyelenggara negara dan berpotensi negara merugi Rp 649,89 miliar (Poskota.co, pada 11 Juni 2025). Lagi-lagi, distrust di tengah masyarakat pun makin besar.
Dalam bahasa sederhananya, distrust itu adalah ketidakpercayaan. Mengapa masyarakat memiliki sikap tersebut terhadap penguasa? Kuncinya, karena tidak amanah. Penguasa yang tidak amanah itu akan melahirkan distrust pada diri masyarakat. Tepat sekali sabda Rasulullah saw., “Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” (HR al-Bukhari).
Juga sabda beliau, “Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki (sifat) amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janjinya.” (HR Ahmad).
WalLâhu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia].