Investasi dan Invasi
Rempang adalah sebuah pulau yang merupakan bagian wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Viral, video yang menggambarkan anak-anak sekolah SD berlarian. Terlihat semburan gas air mata. Begitu juga ribuan warga melakukan demo di kantor Badan Pengelolaan (BP) Batam. Ribuan masyarakat adat Melayu Tua yang telah menempati Pulau Rempang sejak puluhan tahun menolak untuk direlokasi. Warga pun terlibat bentrok dengan petugas gabungan (7/9/2023). Petugas berusaha masuk ke dalam kawasan untuk memasang patok dan melakukan pengukuran, namun dilawan oleh penduduk di sana. “Hal ini disebabkan pemerintah tidak mengerti hak masyarakat adat di Pulau Rempang,” ujar Rocky Gerung menanggapi (14/9/2023). “Yang digusur bukan sekedar lahan mereka, tapi kultur mereka digusur, kebatinan mereka digusur,” simpulnya. Ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari sikap Presiden sendiri jauh hari sebelumnya. Pada saat menyampaikan pidato visi Indonesia, Presiden Joko Widodo mengatakan: “Yang menghambat investasi semuanya harus dipangkas,” tegasnya (14/7/2029).
Realitas seperti ini bukan hal yang pertama. Pada Agustus 2023, terjadi pertentangan antar dua Panglima Suku Dayak. Panglima Jilah mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), sementara Panglima Pajaji sebaliknya. Panglima Pajaji menyatakan, “Itu adalah mega proyek besar yang meraup sekian puluh ribu hektar tanah kita yang ada di Kalimantan”. Sebelumnya, Juli 2023, ratusan warga dari beberapa desa/kelurahan di Kecamatan Bungku Tengah, Morowali Sulawesi Tengah, melakukan penolakan terhadap terbitnya ijin usaha pertambangan (IUP) di daerahnya. “Kami tak menginginkan nikel kekayaan alam Kecamatan Bungku Tengah dimanfaatkan menjadi ladang bisnis,” ungkap perwakilan mereka.
Semua kejadian ini memiliki benang merah yang sama. Rakyat dikorbankan demi perusahaan oligarki. Rakyat pun geram. Saat saya berkunjung ke Kepulauan Riau, terlihat jelas perasaan pedih di wajah mereka. “Kasus Rempang bukan sekedar persoalan investasi an sich, tetapi sudah menyangkut perampasan tanah pribumi oleh ‘penjajah’,” ungkap Sholihin MS (11/9/2023). Pemerhati Sosial dan Politik itu menambahkan, “Investasi hanyalah modus dan kedok untuk menutupi kejahatan yang sesungguhnya, yaitu menguasai territorial Indonesia”. “Tembak dan bunuh rakyat sendiri demi investasi. Invasi berkedok investasi sedang terjadi,” tulis Ida ARM (16/9/2023). Menanggapi sebagian masyarakat Rempang yang ditangkap, mubaligh kondang Ustadz Abdul Somad (UAS) mengatakan, “Hai para pengacara-pengacara hukum, bantulah warga Melayu Indonesia di daerah Rempang”. “Mereka adalah warga setempat yang mempertahankan tanah serta rumah mereka,” tegasnya. Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengecam pemerintah yang menggusur masyarakat Pulau Rempang demi kepentingan swasta. “Meminta Presiden dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang Eco-City sebagai proyek strategis nasional,” tegas Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah, Busyro Muqoddas.
Sekedar contoh hilirisasi, keuntungan investasi justru lari ke luar negeri. “Bayangkan saja, kalau kita ambil pajak dari 17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?” (Presiden Jokowi). Pertanyaannya, siapa yang menikmati nilai tambah tinggi itu? “Tentu saja pihak China yang menikmatinya. Nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional tak lebih dari sekitar 10 persen,” ujar Ustadz Ismail Yusanto pada saat dialog tokoh pada 1 September 2023 lalu. Kok bisa? Sederhananya, nilai tambah smelter itu merupakan produk smelter dikurangi bijih nikel. Nilai tambah dinikmati pengusaha berupa laba, pemodal dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, pemilik lahan dalam bentuk sewa. Hampir semua smelter nikel milik pengusaha China. Karena dapat fasilitas tax holiday, tak satu persen pun keuntungan itu mengalir ke Tanah Air. Hampir seratus persen modal berasal dari perbankan China, maka pendapatan bunga juga hampir seluruhnya mengalir ke China. Pada sisi lain, banyak di antara mereka yang bukan tenaga ahli, di antaranya juru masak, satpam, tenaga statistik, dan sopir. Kebanyakan tenaga kerja China menggunakan visa kunjungan, bukan visa pekerja. Akibatnya muncul kerugian negara dalam bentuk iuran tenaga kerja sebesar 100 dolar AS per pekerja per bulan. Banyak tenaga kerja China di smelter. Salah satu perusahaan smelter China membayar gaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta. Sedangkan rata-rata pekerja Indonesia hanya digaji jauh lebih rendah atau di kisaran upah minimum. Dengan memegang status visa kunjungan, sangat boleh jadi pekerja-pekerja China tidak membayar pajak penghasilan. Nah lho. Perusahaan smelter memang membayar pajak bumi dan bangunan namun nilainya amatlah kecil. Jadi nyata-nyata sebagian besar nilai tambah dinikmati perusahaan China. Nilai tambah yang dinikmati perusahaan smelter China semakin besar karena mereka membeli bijih nikel dengan harga super murah. Pemerintah sangat bermurah hati menetapkan harga bijih nikel jauh lebih rendah dari harga internasional. “Jadi, gembar-gembor menguntungkan, faktanya zonk. Keuntungannya lari ke para pengusaha semua. Asing pula,” Pak Doddy menyimpulkan.
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua mengatakan pernyataan retoris, “Kita mayoritas tapi mengapa jadi korban? Mereka sudah sampai pada prinsip, to kill or to be killed” (1/9/2023). Mensikapi fenomena ini, aktivis 98, Agung Wisnu Wardhana dengan tegas menyampaikan, “Kawasan Ekonomi Khusus dan Proyek Strategis Nasional tak lebih dari karpet merah penjajahan”. Saya sampaikan ke beberapa tokoh dan aktivis, “Coba pikirkan, dulu mengapa Belanda disebut penjajah padahal banyak wedana, bupati, demang, hingga kepala dusun dari orang Indonesia? Mereka orang kita juga.” Saya menambahkan, “Ciri utamanya adalah mereka sekali pun orang Indonesia namun melaksanakan aturan dan regulasi Belanda demi kepentingan Belanda. Para pejabat yang orang Indonesia itu, tentu, menikmati jabatan dan kekayaan untuk mereka dan keluarganya. Namun, pikiran dan sikap mereka mengabdi kepada kepentingan asing Belanda. Itulah sebabnya mereka tetap disebut penjajah”. Realitas itu persis seperti saat ini. Benarkah kita sudah merdeka dengan sebenarnya? Investasi dan invasi memang beda tipis. [Muhammad Rahmat Kurnia]