Berdiri Kokoh Menyongsong Fajar Kebangkitan Islam
Cahaya kebenaraan (Din al-Islam) tak akan pernah surut oleh gelapnya kebatilan. Cahaya kebenaran selamanya akan bersinar hingga menjelang alam semesta sirna ditelan masa yang dijanjikan, yawm al-qiyâmah. Allah SWT berfirman:
وَقُلۡ جَآءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقٗا ٨١
Katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sungguh yang batil itu pasti lenyap.” (QS al-Isra’ [17]: 81).
Allah SWT menegaskan bahwa cahaya kebenaran, yakni Al-Islâm itu sendiri, akan selalu ada. Sebaliknya, kebatilan akan binasa hingga tiada lagi kekufuran, kesyirikan, penyembahan terhadap berhala setelah terbitnya fajar Islam. Demikian sebagaimana diuraikan Al-‘Allamah Muhammad ‘Ali ash-Shabuni (w. 1442 H). Hal itu diikuti dengan informasi (khabar) pastinya kegagalan ragam upaya musuh-musuh Islam memadamkan cahaya Islam:
يُرِيدُونَ لِيُطۡفُِٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨
Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya (QS ash-Shaff [61]: 8).
Kegagalan mereka Allah gambarkan di balik kalimat يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا (mereka hendak memadamkan). Lafal yurîdûna dalam bentuk al-fi’l al-mudhâri’ (al-jumlah al-fi’liyyah), mengisyaratkan bahwa perbuatan jahat mereka bahkan baru sekadar maksud (irâdah). Namun, realisasinya tak mampu mereka capai (benar-benar memadamkan cahaya Allah secara total). Lalu ditegaskan khabar bahwa Allah sebagai Penyempurna cahaya Islam (tegaknya DinulLah). Allah mengungkapkan hal itu dalam bentuk kalimat kata benda (al-jumlah al-ismiyyah) والله متم نوره. Lafal mutimmu dalam bentuk ism al-fâ’il (kata benda subjek) menunjukkan kepastiannya. Dalam hal ini al-jumlah al-ismiyyah lebih kuat dan lebih kokoh daripada al-jumlah al-fi’liyyah. Apalagi Allah meyakinkan hamba-hamba-Nya yang beriman dalam ayat setelahnya:
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ ٩
Dialah Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama meskipun orang musyrik membencinya (QS ash-Shaff [61]: 9).
Kalimat li yuzhhirahu ‘alâ al-dîn kullihi, diawali oleh huruf lâm al-ta’lîl, menjadi penanda hikmah turunnya risalah Islam dengan petunjuk dan Din yang benar, untuk diunggulkan atas seluruh agama (tanpa pengecualian). Asy-Syaikh Muhammad ’Ali al-Shabuni menukil maqâlah Abu Suud al-’Imadi (w. 982 H) dalam tafsirnya (VIII/245) yang menuturkan: “Sungguh Allah benar-benar telah memenuhi janji-Nya dengan kecenderungan pada Din al-Islam. Agama ini menjadi topik pembicaraan. Tidaklah tersisa agama dari berbagai agama yang ada, melainkan ia telah terkalahkan dan tertundukkan oleh Din al-Islam.”
Jelas, paradigma yang harus melekat pada diri setiap Muslim: Cahaya Islam senantiasa bersinar. Mereka yang meniti jalan yang disinari Islam akan selamat. Berada di atas jalan yang benar hingga maut menjemput. Sebaliknya, mereka yang menyalahi Islam akan binasa. Rasulullah úý bersabda:
إِنَّه لَمْ يَكُنْ نَبِي قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًا عَلَيْهِ أَن يَدُلَّ أُمَّتَه عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُه لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُه لَهُمْ وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِه جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهاَ وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلَاء وَأُمُورٌ تُنْكِرُوَ نها وَتَجِيءُ فِتْنَة فَيُرَقِّقُ بَعْضُهَا بَعْضًا وَتَجِيءُ الْفِتْنَة فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ هَذِه مُهْلِكَتِي ثُم تَنْكَشِفُ وَتَجِيءُ الْفِتْنَة فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُ هَذِه هَذِه فَمَن أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنْ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّة فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُه وَهُوَ يُؤْمِنُ بالله وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
Sungguh tidaklah seorang nabi sebelum diriku diutus, melainkan ia pasti menuntun umatnya pada kebaikan yang telah ia ketahui (diajarkan Allah) kepada mereka, dan memperingatkan mereka atas bahaya yang ia ketahui (mengancam) mereka. Sungguh umat kalian ini dijadikan keselamatan pada permulaannya. Yang terakhir akan ditimpa cobaan dan berbagai perkara yang kalian ingkari (tidak disukai), lalu timbul fitnah (bencana) hingga satu sama lain saling merendahkan dan timbul fitnah hingga seorang Mukmin berkata, “Inilah yang membinasakanku!” Kemudian fitnah tersebut hilang dan timbul fitnah lainnya hingga seorang Mukmin lainnya berkata, “Ini! Ini!” Siapa saja yang ingin terbebas dari siksa neraka dan memasuki Jannah-Nya, hendaklah ia menemui kematiannya dalam keadaan mengimani Allah, Hari Akhir dan hendaklah ia berjasa menghadirkan kepada orang-orang sesuatu yang ia sukai untuk dihadirkan kepada dirinya (suatu kebaikan) (HR Muslim dan an-Nasa’i).
Hadis yang mulia ini memperingatkan tibanya masa tatkala fitnah datang silih berganti (cobaan berat). Mereka yang selamat adalah mereka yang istiqamah dalam keimanan menegakkan Islam hingga maut menjemput. Kelak mereka mendapati apa yang Allah SWT firmankan:
يَوۡمَ نَدۡعُواْ كُلَّ أُنَاسِۢ بِإِمَٰمِهِمۡۖ فَمَنۡ أُوتِيَ كِتَٰبَهُۥ بِيَمِينِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ يَقۡرَءُونَ كِتَٰبَهُمۡ وَلَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلٗا ٧١
(Ingatlah) suatu hari saat Kami memanggil tiap umat dengan pemimpinnya. Siapa saja yang diberi kitab amalannya di tangan kanannya, mereka akan membaca kitabnya itu. Mereka tidak dianiaya sedikitpun (QS al-Isra’ [17]: 71).
Bukankah Allah SWT mengajari hamba-hamba-Nya doa agar istiqamah dalam kebenaran, yang disyariatkan wajib dibaca berulang ketika menghadap Allah SWT dalam shalat?
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧
Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat (QS al-Fatihah [1]: 6-7).
Menariknya, setelah kalimat ash-shirâth al-mustaqîm (jalan kebenaran) diungkapkan tanpa sisipan huruf wâw al-‘athf (uslûb al-fashl). Ini menunjukkan kalimat setelahnya merupakan badal yang menjelaskan hakikat dari ash-shirâth al-mustaqîm itu sendiri, yakni jalan orang yang Allah anugerahi kenikmatan (Din al-Islam). Ini diperjelas dengan kalimat berikutnya tanpa sisipan huruf wâw, yakni bukan jalan yang dimurkai dan bukan pula jalan yang tersesat. Jalan yang dimurkai, yakni jalan mereka yang menolak Din al-Islam setelah jelas bagi dia kebenaran Islam. Jalan yang tersesat, yakni jalan mereka yang menyimpang karena tidak menyadari kebenaran Din al-Islam.
Allah SWT pun mengajarkan doa:
رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةًۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ ٨
(Mereka berdoa), “Duhai Tuhan kami, janganlah Engkau menjadikan hati kami condong pada kesesatan sesudah Engkau beri kami petunjuk, dan karuniailah kami rahmat dari sisi-Mu karena sungguh Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (QS Ali Imran [3]: 8).
Bagi mereka yang tenggelam dalam kebatilan, hendaklah ingat dengan pesan bijak dari Amîr al-Mu’minîn, Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab r.a., yang dinukil oleh Ibn Katsir dalam Musnad Amîr al-Mu’minîn Abi Hafsh ‘Umar bin al-Khaththâb r.a. (II/775). Dikisahkan ‘Umar menulis surat kepada bawahannya, Abu Musa al-Asy’ari r.a.:
إِنَّ مُرَاجَعَةَ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنَ التَّمَادِي فِي الْبَاطِلِ
Sungguh kembali pada kebenaran (kebaikan) lebih baik daripada berlarut-larut dalam kebatilan.
Penyair bertutur:
عجِبْتُ لقوْمٍ أضَلّوا السّبيلَ *
وقد بيّنَ الله سبلَ الهدى
فما عرفوا الحقّ لماّ استبانَ *
ولا أبصروا الفجرَ لماّ بدا
Aku heran kepada kaum yang tersesat dari jalan kebenaran, sementara Allah telah menjelaskan jalan petunjuk
Mereka tak mengenal kebenaran tatkala terang-benderang, tidak pula melihat fajar tatkala terbit.
WaLlâh al-Musta’ân. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; [Peneliti Balaghah al-Quran & Hadits Nabawi]]