Nisa

Makna Hijrah Bagi Muslimah

Pembahasan seputar hijrah bukan hal baru. Supaya tidak terkesan hanya pengulangan tanpa makna atau sekedar ritual peringatan tahunan, tulisan ini akan mencoba memaparkan sudut pandang lain terkait makna hijrah bagi Muslimah.

 

Hijrah: Menuju Taat Syariah

Tidak sedikit ulama yang menjelaskan makna hijrah. Di antaranya Imam Taqiyyuddin ibn Daqiq al-‘Id dalam kitabnya, Ihkam al-Ahkam Syarh Umdah al-Ahkam.  Menurut beliau ada 5 (lima) jenis hijrah. Salah satunya adalah hijrah dari apa saja yang Rasulullah saw. larang.

Makna hijrah yang disampaikan oleh Imam Taqiyyuddin ibn Daqiq al-‘Id selaras dengan hadis Rasulullah saw.:

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نهى الله عَنْه

Muslim itu adalah orang yang menjadikan Muslim yang lain selamat dari lisan dan tangannya. Al-Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa saja yang telah Allah larang (HR al-Bukhari).

 

Ibnu Arabi menyatakan bahwa hijrah adalah:

الْخُرُوجُ مِنْ دَارِ الْحَرْبِ إلَى دَارِ الْإِسْلَامِ

Keluar atau berpindah dari negara yang diperangi (negara kufur) ke Negara Islam (Subul as-Salam, 6/128; Nayl al-Awthar, 12/270).

 

Mengacu pada dua batasan hijrah di atas, bisa disimpulkan bahwa hakikat hijrah adalah meninggalkan kemaksiatan yang Allah larang menuju ketaatan yang Dia perintahkan.  Bisa dipahami juga bahwa ketaatan sempurna pada seluruh perintah Allah hanya mungkin terjadi dalam Negara Islam.  Karena itulah umat Islam diperintahkan untuk berhijrah ke sana.

 

Prasyarat Hijrah

  1. Hijrah perlu ilmu.

Berdasarkan batasan hijrah seperti hadis Rasulullah saw. di atas, jelas hijrah membutuhkan pemahaman yang benar terkait dengan apa saja yang Allah SWT dan Rasulullah saw. larang.  Pemahaman ini akan menjadi parameter apakah yang dilakukan selama ini sudah sesuai dengan rambu-rambu aturan-Nya? Atau malah sebaliknya; banyak melakukan pelanggaran sehingga segera harus ditinggalkan?

Pengetahuan yang minim tentang hukum syariah boleh jadi akan menyebabkannya nyaman dalam kemaksiatan dan tidak menyadari kesalahan yang telah dilakukan.  Berikutnya dia pun tidak terdorong untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Hijrah untuk meninggalkan keburukan pun akan sulit dilakukan.

Di sinilah letak urgensi ilmu untuk membimbing seseorang menapaki jalan kebenaran dan menyelamatkan dirinya dari jurang kesesatan.  Pentingnya ilmu diakui oleh Imam Syafii seperti disampaikan beliau dalam sebuah syairnya:

شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوء حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي ِ بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ الله لا يُهْدَى لِعَاصي

Aku mengadu Imam Waqi’ mengapa hapalanku menjadi buruk. Lalu beliau mengajari aku agar senantiasa meninggalkan maksiat. Sebabnya, sesungguhnya ilmu adalah cahaya, sementara cahaya Allah tidak akan diberikan kepada para pelaku maksiat  (I’anah ath-Thalibin, 2/190).

 

  1. Meluruskan niat.

Keberadaan niat dalam sebuah amalan sangatlah penting.  Pertama, akan menentukan diterima-tidaknya amal. Sayidina Umar bin al-Khaththab r.a.  berkata bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah saw.bersabda, “Sungguh (absahnya) amal-amal perbuatan bergantung pada niatnya. Sungguh setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Siapa saja yang hijrahnya karena Allah SWT dan Rasul-Nya, maka hijrahnya dicatat Allah SWT dan Rasul-Nya. Siapa saja yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau (untuk menikahi) wanita, maka hijrahnya (dicatat) sesuai dengan tujuan hijrahnya tersebut.”  (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kedua, berpengaruh terhadap keistiqamahan dalam menjalaninya. Berhijrah semata karena Allah akan melahirkan keyakinan bahwa perbuatannya tersebut akan berbuah kebaikan.  Demikianlah yang dinyatakan oleh Baginda Nabi saw., “Siapa saja yang meninggalkan sesuatu karena Allah SWT, Dia akan menggantinya dengan sesuatu yang (jauh) lebih baik.”  (HR Ahmad).

Berhijrah untuk menjadi Muslim yang sungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran agamanya tidaklah mudah. Mungkin banyak rintangan yang menghadang. Apalagi pada zaman yang didominasi oleh kapitalisme sekulerisme. Sikap taat pada ajaran agama sering dianggap aneh dan pilihan yang tidak mendatangkan keuntungan.  Bahkan tuduhan radikal dan fanatik pun tak jarang didapatkan.  Namun, orang yang niat hijrahnya murni karena Allah tidak akan mundur sedikitpun.  Acuannya adalah firman Allah SWT:

وَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ خَيۡرٞ لَّكُمۡۖ وَعَسَىٰٓ أَن تُحِبُّواْ شَيۡ‍ٔٗا وَهُوَ شَرّٞ لَّكُمۡۚ وَٱللَّهُ يَعۡلَمُ وَأَنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kalian. Boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 216).

 

  1. Hijrah hakiki butuh Darul Islam.

Syaikh Taqqiyudin an-Nabhani menyebutkan bahwa para fuqaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari Darul Kufr menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Berdasarkan batasan tersebut, hijrah akan terlaksana jika Darul Islam sudah tegak.  Tidak mungkin ada hijrah ketika pemerintahan Islam ini belum hadir.  Karena itu, sebelum hijrah dilakukan harus ada upaya untuk memperjuangkan penegakan pemerintahan Islam.  Pada saat itulah hijrah secara nyata bisa diwujudkan sebagaimana tuntutan yang dikandung dalam QS an-Nisa’ [4] ayat 97.

 

Yang Harus Diperhatikan Muslimah

Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan seorang Muslimah supaya mampu menjalankan perannya dalam perjuangan untuk mewujudkan hijrah hakiki menuju kehidupan Islam:

  • Memahami hakikat Hijrah.
  • Meluruskan niat berjuang semata karena Allah.
  • Senantiasa melengkapi diri dengan keilmuan yang mumpuni. Baik ilmu terkait syariah Islam maupun pengetahuan terkait realitas  kehidupan yang bertentangan dengan pemikiran dan aturan Islam.
  • Berkomitmen untuk terlibat aktif dengan kelompok yang memperjuangkan tegaknya Islam dalam kehidupan.

 

Tantangan Berhijrah

Hambatan fisik mungkin yang dominan dihadapi Rasulullah saw. ketika hijrah dari Makkah ke Madinah seperti sulitnya medan, kepungan musuh atau pemboikotan.  Namun, sekarang sudah berbeda zamannya.  Muslimah sekarang mungkin tidak terlalu diancam secara fisik, seperti Sumayah yang disiksa karena mempertahankan keimanannya, atau Asma binti Abu Bakar yang harus bolak-balik dari Makkah ke Gua Tsur. Padahal beliau dalam keadaan hamil besar.

Boleh jadi Muslimah masa kini justru banyak mendapatkan kemudahan.  Yang menjadi tantangan sekarang ternyata adalah hambatan pemikiran berupa ide-ide sesat yang terus berseliweran dalam kehidupan pribadi, keluarga maupun di lingkungan masyarakat.

Pemikiran moderasi yang terus dimassifkan.  Sekularisme yang tak henti dicekokkan. Kapitalisme yang terus merasuk dalam setiap sendi kehidupan. Juga liberalisme dengan berbagai ragamnya senantiasa menghancurkan tatanan keluarga Muslim. Ide kesetaraan gender dan feminisme juga tidak ketinggalan memalingkan peran mulia Muslimah sebagai pengurus rumah tangga dan ibu pendidik generasi.

Pemberdayaan ekonomi perempuan yang digadang-gadang akan meningkatkan martabat kaum hawa ini terbukti menjadi salah satu faktor pemicu meningkatnya angka gugat cerai dari pihak istri. Menurut Guru Besar IPB, Prof. Euis Sunarti, kondisi perceraian di negeri ini sangat tinggi. Ada sekitar 1.200 perceraian perhari atau rata-rata 50 perceraian perjamnya (Kompas.com, 4/7/2021).

Kesibukan para ibu di dunia kerja ternyata juga berdampak pada berkurangnya kesempatan untuk mengasuh dan mendidik anak-anak di rumah. Jadilah mereka generasi kurang kasih sayang dan perhatian yang berujung pada berbagai pelanggaran sosial seperti tawuran, narkoba dan seks bebas [1]. Apa jadinya generasi yang akan datang jika sekolah pertama dan utama dalam keluarga tidak mampu menjalankan perannya dengan baik?

Pernikahan dini tak henti-hentinya diperkarakan dan terus diupayakan untuk masuk ke dalam salah satu pelanggaran yang bisa dipidanakanPasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 16/2019) mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Namun, di sisi lain pasangan muda usia ini tidak bisa melawan tuntutan naluri seksnya. Kematangan biologis berpadu dengan rangsangan produk liberalisme-kapitalisme yang terus menggempur telah menjerumuskan mereka pada perzinahan. Seperti diberitakan Pikiranrakyat.com[2], Bupati Bone Bolango Provinsi Gorontalo merasa khawatir jika pembelajaran tatap muka di sekolah tidak kunjung dibuka, maka akan banyak siswa-siswi yang kawin muda, atau tidak kawin tetapi ada perempuan-perempuan yang melahirkan dan tidak diketahui siapa ayahnya.

Berbagai ide dan fakta kerusakan tersebut menjadi PR bagi Muslimah pejuang untuk memberikan analisis dan menjelaskan pertentangannya dengan syariah Islam.  Berikutnya menyampaikan analisi tersebut ke tengah masyarakat agar mereka terjaga dari sebaran racun-racun yang menyesatkan. Dengan itu diharapkan muncul kesadaran pada masyarakat akan pentingnya melakukan hijrah dari sistem kehidupan sekarang menuju kehidupan Islam yang menyelamatkan.  

WalLahu a’lam. [Dedeh Wahidah Achmad]

 

Catatan kaki:

[1]      https://www.eramuslim.com/berita/nasional/survei-tragis-siswi-smp-dan-sma-di-depok-937-sudah-tidak-perawan.htm/3#.X-c_29gzY2w

[2]      https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-011735501/belasan-pelajar-smp-pilih-menikah-bupati-bone-bolango-beberkan-alasannya?page=2

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nine + 9 =

Back to top button