
Dimensi Politik Isra‘ Mi’raj
Peristiwa Al-Isrâ’ wa al-Mi’raj digambarkan oleh Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji dalam Qirâ’at Siyâsiyyat li as-Sîrah al-Nabawiyyah (hlm. 75) terjadi tak lama setelah Rasulullah saw. diuji dengan kejahatan fisik kaum kafir Quraisy pasca wafatnya sang paman, Abu Thalib, yang dikenal baik membela Rasulullah saw dari ragam kejahatan dengan kedudukan dan ketokohannya di Makkah kala itu. Beliau pun diuji dengan ketahanan jiwa pasca wafatnya sang istri, Sayidah Khadijah binti Khuwailid ra., yang mengobati luka dan menjadi pelipur lara di kala duka menghadapi permusuhan kaum Quraisy yang durjana. Kesedihan pun diikuti dengan penolakan keji Bani Tsaqif di Thaif dalam upaya thalab al-nushrah.
Namun, apa yang terjadi kemudian? Allah SWt menurunkan ragam pertolongan agung-Nya di balik keislaman ahl al-kitâb (Adas) dan segolongan Bangsa Jin (Jin Nashibin), diikuti peristiwa agung Al-Isrâ’ wa al-Mi’râj, hingga meraih nushrah berhijrah ke Yastrib (Al-Madînah al-Munawwarah). Prof Dr Muhammad Rawwas Qal’ah Ji menuturkan seakan-akan Allah berkata:
Duhai Muhammad, jika bumi telah menghimpitmu maka langit terbuka lebar untukmu; jika penduduk bumi memusuhimu maka penduduk langit menyambutmu; dan jika penduduk bumi mengabaikanmu maka kedudukanmu agung di sisi Allah (Yang Maha Agung).
Peristiwa Al-Isrâ’, Allah tegakan secara pasti (qath’i) dalam firman-Nya:
Mahasuci Allah Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepada dia sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS al-Isra‘ [17]: 1).
Allah SWT mengawali berita besar al-isrâ’ dalam ayat ini dengan kalimat subhâna. Menurut Syaikh Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwat al-Tafâsîr (hlm. 156), “Barâ’at al-istihlâl [subhânalladzî asrâ] karena di dalamnya terkandung kejadian luar biasa, dimulai dengan diksi yang menunjukkan kesempurnaan Keagungan Allah dan Kemahasucian-Nya dari sifat-sifat kekurangan.”
Ini menunjukkan keselarasan diksi pembuka dan berita agung yang dikabarkan, Mahasuci Allah dari segala kekurangan.
Artinya, sangat mudah bagi Allah memberikan pertolongan kepada Rasulullah saw. dan jamaah dakwahnya dalam upaya menegakkan kepemimpinan Islam. Namun, ragam kesulitan dan tantangan yang dihadapi dari musuh-musuh dakwah mengajarkan arti keikhlasan, perjuangan dan pengorbanan menjemput pertolongan Allah. Tatkala pertolongan-Nya turun tak akan ada yang mampu menjegalnya, bahkan melampaui batas-batas logika manusia yang lemah tertutup ragam prasangka.
Perjalanan al-isrâ’, artinya perjalanan cepat pada waktu malam dari al-Masjid al-Harâm di Kota Makkah ke al-Masjid al-Aqshâ’ di Bumi al-Quds, dalam dimensi politik (nazhr siyâsi) mengisyaratkan sedari awal tanda membentangnya kekuasaan Islam di dua tanah suci yang menjadi simbol bagi kekuasaan atas seluruh belahan dunia. Apalagi keduanya kala itu di bawah kekuasaan kaum kuffaar. Tanah Suci Makkah (al-Masjid al-Harâm) dalam kungkungan entitas kuffaar Quraisy. Tanah Syam (al-Masjid al-Aqshâ’) dikotori entitas kekaisaran Romawi. Namun, kenyataannya kekuasaan Allah melampaui batas-batas kekuasaan semu manusia, dan dakwah Islam wajib menggema ke seluruh dunia, melintas tanpa batas. Siapa sangka? Bangsa yang awalnya dipandang sebelah mata justru menjadi awal bagi bangkitnya peradaban umat manusia karena keagungan Islam yang diemban.
Mari renungkan! Kesulitan yang dihadapi di jalan dakwah bisa jadi merupakan kunci-kunci berbagai kemudahan. Mahabenar Allah ’Azza wa Jalla Yang berfirman:
Sungguh bersama suatu kesulitan ada kemudahan. Sungguh bersama suatu kesulitan ada kemudahan (QS al-Insyirah [94]: 5-6).
Bumi Syam dari Awal Kelahiran, Masa Perjuangan Hingga Akhir Zaman
Bumi Syam adalah simbol bagi kekuasaan dunia kala itu, bahkan pada akhir zaman kelak. Syaikh Ali ash-Shabuni menafsirkan “alladzî bâraknâ hawlahu” menggambarkan apa yang menjadi kekhususan Negeri Syam berupa keberkahan yang sifatnya hissiyyah (materil) dan ma’nawiyyah (non-materil); mencakup tanah yang subur, pepohonan yang rindang dengan buah-buahan yang berlimpah, menjadi tempat berpijaknya para nabi dan rasul, serta tempat turunnya para malaikat suci.
Menariknya, pertanda kemenangan Islam atas Bumi Syam telah muncul sejak Rasulullah saw. dilahirkan ke dunia. Ini menjadi tanda awal kenabian (irhâsh) itu sendiri. Keluarnya cahaya yang tampak menerangi Bumi Syam ketika Nabi Muhammad saw. dilahirkan menyisakan pertanyaan untuk direnungkan, ”Mengapa harus Bumi Syam?” Secara apik al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) menuturkan, “Pengkhususan Negeri Syam dengan cahaya di atasnya menunjukkan tegaknya Islam dan kenabiannya di negeri-negeri Syam. Oleh karena itu Syam pada akhir zaman menjadi benteng pertahanan Islam dan umatnya. Di negeri ini pula Isa bin Maryam as. turun ketika ia muncul di Damaskus di Menara Putih arah Timur di sana.”
Ini menggambarkan bahwa Bumi Syam adalah simbol bagi kemuliaan pada akhir zaman. Bumi Syam khususnya Palestina adalah pusat Kekhilafahan yang menjadi simbol kekuasaan dan pusat persatuan Dunia Islam. Ditegaskan bisyaarah tegaknya Kekhilafahan, dari Salamah bin Nufail ra., yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Pusat Dâr al-Islâm adalah Negeri Syam (HR ath-Thabarani).
Imam ash-Shan’ani (w. 1182 H) dalam Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr (VII/246) menguraikan bahwa seakan-akan (Nabi saw.) menunjukkan bahwa ia terjadi pada masa tersebarnya fitnah. Negeri Syam kala itu menjadi tempat paling aman. Kaum Muslim di dalamnya paling selamat. Lalu hadis ini mendorong berpatokan pada Negeri Syam pada masa munculnya fitnah, sebagaimana banyak ditunjukkan hadis-hadis. Negeri Syam yang dimaksud adalah Palestina, Rasulullah saw. bersabda:
Wahai putra Hawalah, jika engkau melihat Kekhalifahan telah turun di Tanah yang Suci (Palestina), maka sungguh telah dekat bencana gempa dan berbagai kesedihan serta perkara-perkara besar. Pada saat itu Hari Kiamat lebih dekat kepada orang-orang daripada tanganku ini ke kepalamu (HR Abu Dawud).
Syaikh Said Hawa dalam Al-Asâs fî as-Sunnah (II/1025) menuturkan bahwa zhahir hadis ini mengabarkan Khilafah akan tegak dengan ibukotanya adalah Al-Quds. Isa bin Maryam as. akan menuju al-Quds setelah ia diturunkan di Damaskus. Ini menunjukkan bahwa Palestina pada saat itu dalam genggaman kaum Muslim dan bahwa Negara Yahudi akan sirna. Pada masa itulah kaum Muslim hidup dalam keberkahan dengan tegaknya syariah Islam secara totalitas dalam kehidupan, juga tegaknya masa futûhât dan jihad. Jangan berputus asa dengan keadaan hari ini. Sebabnya, realisasi pertolongan Allah tidak tunduk dan ditundukkan pada lemahnya logika dan perhitungan manusia.
Jika Allah menolong kalian maka tak akan ada orang yang bisa mengalahkan kalian. Jika Allah membiarkan kalian (tidak memberi pertolongan) maka siapakah gerangan yang dapat menolong kalian (selain Allah) sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja kaum Mukmin bertawakal (QS Ali Imran [3]: 160).
WalLaahu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I]