Catatan Dakwah

Tiga Kesadaran Penting


Islam adalah risalah dengan seperangkat perkara atau aqidah yang harus diyakini seperangkat peraturan atau syariah yang harus diterapkan. Ketika syariah itu diterapkan, dijanjikan oleh Allah, akan membawa manusia, Muslim maupun non-Muslim, pada kehidupan yang penuh keberkahan; adil, damai, sejahtera, aman tenteram dengan kemajuan di segala bidang serta selalu diwarnai ketaatan dan kesucian, jauh dari kezaliman, keangkaramurkaan, ketidakadilan, penindasan dan hal-hal buruk lainnya.

Sebagai risalah, Islam telah pernah membawa dunia ini pada masa lalu ke peradaban yang agung berbilang abad lamanya, yang dipenuhi dengan semua kebaikan dan jauh dari segala keburukan tadi. Para sejarahwan menyebut era itu sebagai the golden age, abad keemasan Islam, yang membentang lebih dari 700 tahun lamanya. Boleh disebut inilah titik kulminasi atau puncak dari keagungan risalah ini secara faktual.

Namun, kini peradaban agung itu tak lagi ada. Yang bersisa hanyalah tapak-tapak ke­hebatannya. Sebagiannya terungkap dalam lembaran-lembaran buku sejarah atau kitab-kitab Tarikh. Sebagiannya lagi terlihat dalam bentuk bangunan-bangunan hebat, seperti terlihat di Istanbul – Turki, yang pernah menjadi pusat terakhir dari peradaban Islam itu.

++++

Mengapa peradaban Islam yang agung, hebat, bertumpu pada risalah yang haq dan pernah kokoh berdiri berbilang abad lamanya itu bisa runtuh? Selalu saja ada dua factor, yakni faktor internal yang datang dari tubuh umat dan faktor eksternal yang datang dari musuh-musuh Islam.

Musuh-musuh Islam memang sejak dari awal risalah ini disebarkan oleh Nabi Muhammad saw. tidak pernah ridha hingga kita mengikuti millah mereka. Tujuannya agar kita sama dengan mereka; sama aqidah atau agamanya. Jika sudah sama dengan mereka, kita tentu tidak akan menjadi penghalang atas segala apa yang mereka inginkan.

Maka dari itu, segala daya mereka lakukan. Jika tidak mungkin sama agamanya, mereka berusaha agar kita sama pemikiran dan perilakunya dengan mereka. Jika karena ajaran dari agama kita anut, keinginan mereka itu terhambat, maka ajaran agama kita itu yang diserang. Lihatlah, aneka fitnah mereka semburkan, seperti bahwa al-Quran itu buatan Nabi Muhammad, atau syariah Islam itu kejam dan tak lagi relevan dalam kehidupan modern saat ini, dan lain sebagainya. Tujuannya untuk menimbulkan keragu-ragukan (tasykiik) pada keyakinan kita.

Jika karena institusi politik dan kepemimpinan yang selama ini melindungi kita, yakni Khilafah, tujuan mereka terhambat, maka institusi politik dan kepemimpinan itulah yang diserang. Di sinilah kita bisa melihat, bagaimana usaha keras mereka yang dilakukan untuk menghancurkan institusi politik Islam sejak berabad sebelumnya akhirnya mencapai keberhasilannya. Pada Rajab 1342 H, lebih dari 1 abad yang lalu, Khilafah Utsmani, yang berpusat di Turki, yang lebih dari 450 tahun menaungi dan melindungi Dunia Islam, akhirnya bisa mereka runtuhkan.

Namun demikian, usaha keras musuh-­musuh Islam itu sesungguhnya tidak akan berhasil jika umat Islam tetap kokoh memegang jatidirinya sebagai Muslim. Keberhasilan makar mereka itu bukan karena mereka hebat, tetapi karena umat Islamlah yang sedang dalam posisi lemah. Ibarat penyakit, jika tubuh kita sehat dan memiliki daya imun yang tinggi, berbagai penyakit yang mencoba menyerang tidak akan mudah melemahkan apalagi menghancurkan tubuh kita.

Sejarah keruntuhan Khilafah telah memberikan pelajaran atau ibrah, bahwa kita sebagai umat memang tidak boleh lengah atau kendor sedetik pun. Sebabnya, musuh-musuh Islam pun tidak pernah tinggal diam sejak awal dulu hingga saat ini dan sampai nanti. Mereka akan selalu berusaha untuk meruntuhkan kita hingga kita tunduk, patuh dan mengikuti semua kemauan mereka.

Jika faktor eksternal itu bersifat laten tidak bisa kita cegah karena memang mau mereka seperti itu, maka yang akan menentukan adalah faktor internal. Berpulang kepada kita, apakah kita akan tetap membiarkan diri kita lemah, tak berdaya ataukah kemudian bangkit dan berjuang agar kita menjadi kuat dan berjaya kembali?

Di sinilah, kegiatan pembinaan dan pengkaderan, juga kegiatan seperti penerbitan buku, muktamar, konferensi, seminar, diskusi atau kajian dan bentuk kegiatan lain, yang mengupas seputar Khilafah—keagungan dan keruntuhannya—menjadi penting.

Pertama: Untuk menumbuhkembangkan kesadaran historis islami (al-wa’yu at-taarii­khi al-islaami). Umat harus melek sejarah dan memandang sejarah harus dari sudut pandang Islam. Sejarah adalah realitas pada masa lampau yang nilai pentingnya sangat dipengaruhi oleh cara pandang pembacanya, apakah mendasarkan pada Islam ataukah selain Islam. Sejarah Khilafah dari awal berdiri hingga mencapai kegemilangan dan berakhir dengan keruntuhannya harus dipandang penting oleh umat Islam.

Faktanya, cukup banyak dari umat yang tidak menyadari betapa pentingnya momen penghapusan Khilafah yang terjadi pada bulan Rajab lebih dari 100 tahun lalu itu. Mungkin generasi sekarang tak banyak tahu bahwa umat di seluruh dunia pada masa itu memberikan reaksi keras, termasuk di negeri ini. Beberapa bulan setelah penghapusan Khilafah, tepatnya pada bulan Oktober 1924, lebih dari 500 tokoh umat dari lebih dari 30 organisasi, di antaranya Muhammadiyah, al-Irsyad dan Syarikat Islam, menyelenggarakan Kongres al-Islam kedua di Garut, khusus untuk merespon keruntuhan Khilafah itu. Dalam kongres itu, yang dipimpin oleh KH Agus Salim, disepakati bahwa umat Islam Indonesia harus memberikan perhatian pada masalah ini. Ini karena, kata mereka, sistem pemerintahan Islam, Khilafah, harus tetap ada.

Kesadaran semacam itulah yang kini harus ditumbuhkembangkan sedemikian rupa. Dengan itu umat benar-benar memahami bahwa keruntuhan Khilafah itu, seperti dikatakan oleh para ulama, adalah ummul-jaraa’im (induk dari segala bencana atau malapetaka), seperti yang tampak saat ini. Ada malapetaka ideologi, malapetaka politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan dakwah dan lainnya.

Kedua: Untuk menumbuhkan kembangkan kesadaran politik islami (al-wa’yu as-siyaasi al-islaami) yang berpangkal pada pemahaman aqidah yang kokoh; yakni bahwa risalah Islam ini harus tegak, ukhuwah islamiyah harus terwujud secara nyata, syariah harus diterapkan secara kaaffah serta dakwah Islam harus terus digerakkan. Untuk itu, tidak bisa tidak, harus tegak kembali institusi yang memungkinkan semua itu terwujud, yakni Khilafah.

Kesadaran semacam ini harus terus digelorakan sedemikian rupa sehingga umat benar-benar menyadari arti pentingnya tegaknya kembali Khilafah, seperti dikatakan oleh para ulama, sebagai taajul-furuud (makhkota kewajiban). Dengan tegaknya Khilafah, akan ada sekian banyak kewajiban yang lain yang bisa ditunaikan. Dalam istilah Imam Ibnu Taimiyah, Khilafah itu min a’zhami waajibaat ad-diin (merupakan kewajiban agama yang paling besar atau agung)

Ketiga: Melalui kesadaran yang pertama dan kedua, diharapkan lahir kesadaran partisipasi (al-wa’yu al-‘amali) di kalangan umat. Menjadi kewajiban setiap Muslim untuk berusaha memberikan peran optimalnya hingga kewajiban atau fardhu kifayah ini benar-benar terwujud. Fardhu kifayah hakikatnya adalah fardhu ain hingga kewajiban itu benar-benar terwujd. Itu pun semestinya dilakukan dengan bergegas karena status kewajiban tegaknya Khilafah saat ini adalah qadhaa’[an]. Ijmak Sahabat hanya membolehkan umat kosong dari kepemimpinan selama 3 hari 2 malam. Sejak keruntuhan Khilafah pada lebih dari 100 tahun lalu, sudah berapa hari tiga malam Khilafah tiada?

Inilah satu-satunya jalan terbebas dari dosa yang timbul akibat kewajiban kifayah itu belum terlaksana. Padahal Khilafah adalah satu-satu jalan untuk mewujudkan kembali ‘izzul Islaam wa al-Muslimiin serta kerahmatan bagi seluruh alam yang dijanjikan

Mengingkari kewajiban Khilafah berarti mengingkari salah satu kewajiban agama. Ini tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang Muslim. Apalagi kemudian menghalangi tegaknya kewajiban itu. Sungguh aneh. Bagaimana bisa seorang Muslim menghalangi pelaksanaan salah satu kewajiban terpenting dari agamanya?

Dengan kesertaan umat, kita sangat yakin, cita-cita besar ini akan terwujud. Insya Allah. Di sinilah pentingnya pembinaan umat, baik secara personal maupun komunal, harus terus menerus dilakukan demi melahirkan tiga kesadaran penting tersebut.

++++

Akhirnya, kita berharap mudah-mudahan semua ikhtiar mulia kita ini mampu mengantarkan kita pada titik yang diharap, serta menjadi catatan amal shaleh di sisi Allah. Adakah bekal yang lebih baik buat kehidupan di Akhirat nanti selain taat kepada Allah SWT dan berjuang di jalan-Nya? [H.M. Ismail Yusanto]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × one =

Check Also
Close
Back to top button