
Bolehkah Mengampuni Koruptor?
Soal:
Bagaimana pandangan Islam terhadap pengampunan (amnesti) yang diberikan kepada koruptor. Boleh atau tidak? Bagaimana seharusnya hukuman yang harus diberlakukan terhadap koruptor?
Jawab:
Sebelum membahas boleh-tidaknya memberikan amnesti kepada koruptor, maka harus didudukkan terlebih dulu, apakah korupsi (fasad) termasuk pencurian (sariqah), atau bukan? Pasalnya, kalau korupsi (fasad) dikategorikan sebagai pencurian (sariqah), maka sanksinya berupa Had, bukan Ta’ziir. Berbeda jika korupsi (fasad) tidak dikategorikan sebagai pencurian (sariqah), maka sanksinya bukan Had, melainkan Ta’ziir.
Mencuri (sariqah) dalam istilah para fuqaha’ didefinisikan sebagai berikut:
Mencuri adalah mengambil harta dari pemiliknya atau wakilnya dengan cara sembunyi-sembunyi, dengan syarat: yang dicuri harus mencapai nishab yang mengharuskan pelakunya dipotong (tangannya). Dikeluarkan dari tempat penyimpanan yang lazim. Harta yang dicuri pun tidak mengandung syubhat.1
Makna mencuri itu mengambil harta “dengan cara sembunyi-sembunyi” dijelaskan lebih lanjut oleh al-Muhami Syaikh Abdurrahman al-Maliki:
Makna mencuri adalah mengambil harta “dengan cara sembunyi-sembunyi”. Jika seseorang merampas, menjambret, menjarah atau melakukan pengkhianatan [terhadap harta], maka dia tidak disebut pencuri dan tidak wajib dipotong tangannya.2
Mencuri, secara syar’i, disebut mencuri harus memenuhi empat ketentuan (rukun). Pertama: Adanya pencuri (saariq). Kedua: Adanya korban (masruuq minhu). Ketiga: Adanya harta yang dicuri (al-maal al-masruuq). Keempat: Mengambil dengan cara sembunyi-sembunyi. Inilah ketentuan yang mengikat kasus pencurian. Jika memenuhi empat ketentuan ini maka kepada pelakunya dikenai Had as-Sariqah (sanksi pencurian).3
Karena itu menjambret (ikhtilaas) tidak bisa disebut mencuri (sariqah). Pasalnya, menjambret itu mengambil harta secara terang-terangan dan sengaja, dengan secepat kilat, sambil berlari. Bedanya dengan mencuri: mencuri dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, sedangkan menjambret dilakukan dengan terang-terangan.4
Mencuri juga tidak bisa disamakan dengan Ghashab. Ghashab itu mengambil harta dengan cara zalim dan terang-terangan. Sebaliknya, mencuri dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Adapun menjarah (nahb) adalah mengambil harta dengan paksa secara terang-terangan. Begitu juga khianat atau mengingkari hak orang lain, baik barang titipan atau pinjaman. Semuanya ini tidak bisa dikategorikan sebagai mencuri (sariqah).
Adapun mencopet (nasyl) adalah mencuri harta orang yang dilakukan saat orang itu sadar, dengan menggunakan skill dan kecepatan tangan. Bedanya dengan mencuri terletak pada penyimpanan barang. Mencuri disebut mencuri ketika pelakunya mengambil harta yang disimpan dengan benar di tempat penyimpanan yang lazim. Adapun mencopet itu mengambil uang, HP, atau dompet dari saku, atau tas korban. Mayoritas ahli fikih memasukkan nasyl (mencopet) ini dalam kategori mencuri (sariqah), termasuk al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki6. Sebagian lagi tidak.7
Korupsi adalah kejahatan (jariimah). Dalam bahasa Arab, korupsi itu disebut al-fasad al-maali wa al-idaari (kejahatan terkait dengan harta dan administrasi). Korupsi adalah suatu tindakan jahat demi keuntungan pribadi atau orang lain, dengan melakukan penipuan, penggelapan uang perusahaan atau negara, tempat seseorang bekerja, atau dengan memanfaatkan posisi dan jabatan.
Karena itu tindakan korupsi, pelakunya disebut koruptor, sesungguhnya melakukan kejahatan yang komplek. Tidak hanya suap-menyuap (risywah), penipuan dan penggelapan (khianat), ghasab atas hak orang lain dengan memalsukan dokumen, merampas harta (nahb), dan lain-lain. Secara umum, tindakan ini merupakan bentuk kezaliman yang luar biasa, yang haram, dan wajib dihilangkan. Dari fakta-fakta ini, korupsi (fasad maali wa idaari) memang tidak bisa disamakan dengan mencuri (sariqah). Kejahatannya jauh lebih besar dan komplek dibandingkan dengan mencuri (sariqah).5
Mengenai penerapan sanksi Had as-Sariqah dalam kasus pencurian (sariqah) untuk korupsi (fasad mali wa idari) harus dilihat dari jenis kejahatannya. Hanya saja, secara umum, kejahatan tersebut tidak disebutkan sanksinya oleh nas, kecuali bagian-bagian tertentu. Karena itu sanksinya bisa berupa sanksi Ta’ziir.
Ta’ziir adalah jenis sanksi hukum yang diserahkan kepada Khalifah atau Qadhi. Bentuknya ada 14 macam: (1) Dibunuh (qatl); (2) Dicambuk (jild) maksimal 10 kali; (3) Dipenjara (hasb); (4) Dibuang (nafyu); (5) Diboikot (hajar); (6) Disalib (shalb); (7) Didenda (gharamah); (8) Perampasan aset (itlaf al-mal); (9) Mengubah bentuk hartanya; (10) Ancaman yang serius (tahdid shadiq); (11) Nasihat (wa’dh); (12) Larangan melakukan transaksi (hirman); (13) Stigmatisasi (tatbikh); (14) Diumumkan ke publik (Tasyhiir).8
Sebagaimana dalam kasus pencurian (sariqah), selain dikenai Had as-Sariqah, yang merupakan hak Allah (haqqu-Llaah), seorang pencuri harus mengembalikan harta yang dia curi kepada pemiliknya, karena ini terkait dengan hak manusia (haqq Adami). Demikian juga dalam kasus korupsi, selain sanksi Ta’ziir yang diberlakukan kepada koruptor, sesuai dengan kejahatannya, maka harta yang dikorupsi juga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Ini yang dinyatakan oleh Nabi saw:
Siapa saja yang pernah aku cambuk punggungnya, inilah punggungku. Silakan balas. Ingat, siapa saja yang pernah aku maki kehormatannya, inilah kehormatanku. Silakan balas. Siapa saja yang pernah aku ambil hartanya, inilah hartaku. Silakan ambil.9
Ini secara umum tentang sanksi hukum bagi pelaku dan kejahatan korupsi. Adapun tentang boleh-tidaknya memaafkan koruptor, maka di sini ada dua pandangan.
Pertama: Bagi yang mengkategorikan korupsi ini dalam kategori pencurian (sariqah), sehingga kepada pelakunya diberlakukan Had as-Sariqah, maka status kejahatan ini tidak bisa dimaafkan. Pasalnya, ini terkait dengan hak Allah. Dalam konteks hak Allah ini, Al-Muhami Syaikh Abdurrahman al-Maliki menyatakan:
Had as-Sariqah itu seperti semua Had. Ia merupakan hak Allah Ta’ala meski di dalamnya ada hak manusia. Karena itu di dalamnya diterima kesaksian Hisbah. Ia tidak membutuhkan tuntutan korban terhadap hartanya. Karena itu Had ini tidak bisa digugurkan ketika yang mempunyai hak mengugurkannya.10
Hanya saja, ada yang berpendapat, jika orang yang mempunyai hak telah menggugurkannya, maka Qadhi atau Khalifah bisa memberikan amnesti. Pendapat ini lemah. Pasalnya, hadis-hadis yang digunakan tidak menunjukkan adanya amnesti, baik sebelum maupun setelah diajukan kepada Qadhi atau Khalifah. Al-Muhami Syaikh Abdurrahman al-Maliki menyatakan: “Orang yang meneliti nash-nash tersebut dengan mendalam akan menemukan bahwa hukum potong tangan tersebut secara mutlak tidak gugur karena adanya pengampunan, baik sebelum maupun setelah diajukan kepada penguasa. Dalilnya adalah keumuman ayat Sariqah itu. Sebabnya, ketika kewajiban potong tangan itu sudah ditetapkan, maka wajib dipotong, tanpa harus menunggu tuntutan [korban]. Ibn ‘Abdul Barr telah menyatakan kesepakatan (ijma’), bahwa seorang penguasa wajib menegakkannya jika sampai pada sanksi Had. Selain itu, ada hadis-hadis tentang larangan memberi ampunan bersifat umum, baik sebelum maupun setelah tuduhan diajukan. Sebabnya, Had as-Sariqah, tidak ada perselihan, adalah hak Allah. Meski di dalamnya ada hak manusia. Hak Allah tidak bisa gugur karena tuntutannya digugurkan. Semuanya itu membuktikan bahwa Had as-Sariqah itu tidak bisa digugurkan karena tuntutannya digugurkan.”11
Dengan demikian, jika korupsi (fasad maali wa idaari) ini dikategorikan mencuri (sariqah), maka selain sanksinya Had as-Sariqah, Negara juga tidak bisa menggugurkan sanksi ini dengan memberikan amnesti kepada pelakunya.
Kedua: Jika korupsi ini tidak termasuk dalam kategori mencuri, maka sanksi hukumnya adalah Ta’ziir. Apa hukumannya, berapa lama, dan sebagainya, maka semua ini diserahkan kepada Negara. Dalam hal ini adalah Khalifah dan Qadhi. Dalam konteks ini, selain pelaku wajib mengembalikan harta yang dikorupsi, pelaku juga dikenai sanksi Ta’ziir yang ditetapkan oleh Negara. Misalnya, selain kewajiban mengembalikan aset yang dikorupsi, pelaku dikenai Ta’ziir Iltaaf al-Maal [perampasan aset], atau Gharamah [denda]. Bisa salah satunya karena tidak boleh memberlakukan lebih dari satu.
Dalam konteks yang kedua ini, Al-Mawardi menjelaskan perbedaan antara Had dengan Ta’ziir. Hukuman Had tidak boleh digugurkan, sementara hukuman Ta’ziir boleh. Itu pun, menurut al-Mawardi, dengan catatan, yakni jika kejahatannya tidak melibatkan hak manusia lain. Namun, jika terkait dengan hak manusia lain, maka Qadhi maupun Khalifah tidak berhak menggugurkan hukuman Ta’ziir tersebut. Nah, korupsi adalah jenis kejahatan yang melibatkan hak manusia lain. Karena itu, baik Qadhi maupun Khalifah, sama-sama tidak berhak memberikan amnesti.12
WalLaahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Al-Muhami Syaikh Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. III, 1410 H/1990 M, hal. 31.
- Al-Muhami Syaikh Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, hal. 31.
- Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, Kuwait, cet. I, 1410 H/1990 M, Juz XXIV, hal. 295.
- Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXIV, hal. 293.
- Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXIV, hal. 293-294.
- Al-Muhami Syaikh Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, hal. 31.
- Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXIV, hal. 294.
- Al-Muhami Syaikh Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, hal. 81-89.
- Al-Hafidz al-Haitsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, hadits no. 14252, Juz IX, hal. 28.
- Al-Muhami Syaikh Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, hal. 37.
- Al-Muhami Syaikh Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, hal. 37.
- Wizarat al-Auqaf wa as-Syu’un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, Juz XXX, hal. 185-186; Al-Qadhi al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. 237.