
Strategi Khilafah Menggerakkan Roda Ekonomi
Perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun ini terjadi di berbagai negara. Dua raksasa ekonomi dunia, yaitu AS dan Cina, menurut perkiraan IMF,1 diperkirakan tumbuh lebih rendah dari tahun lalu. AS hanya tumbuh 2,2%, dibayang-bayangi utang nasional yang tinggi dan potensi pengencangan kembali kebijakan moneter. Ekonomi Cina tumbuh 4,5% pada 2025 menurun dari tahun lalu sebesar 4,8%. Kondisi ini melanjutkan perlambatan tahun-tahun sebelumnya karena sektor real estate yang lesu, utang tinggi, dan ketegangan perdagangan dengan AS dan Uni Eropa. Beberapa negara utama di Uni Eropa juga mengalami pertumbuhan yang rendah seperti Jerman (0,7%), Prancis (0,8%) dan Italia (1%).2 Indonesia diproyeksikan tumbuh sekitar 5%, dengan persoalan yang tak banyak berubah dari tahun sebelumnya, seperti rendahnya pertumbuhan industri manufaktur dan melemahnya daya beli masyarakat.
Beberapa Penghambat Pertumbuhan
Lemahnya pertumbuhan ekonomi di berbagai negara di atas disebabkan oleh berbagai persoalan yang bersifat sistemik seperti masalah demografi, lonjakan utang, spekulasi di sektor keuangan, kebijakan moneter yang berbasis mata uang kertas, serta meningkatnya persaingan ekonomi dan geopolitik antar negara.
- Tantangan Demografi.
Penyebab dari penurunan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju adalah tren populasi menua (aging population) yang meningkat signifikan. Tingkat fertilitas di negara-negara OECD menurun drastis dari 3,3 anak perwanita pada 1960 menjadi 1,5 pada 2022. Angka ini jauh di bawah tingkat penggantian populasi 2,1 anak perwanita yang diperlukan untuk menjaga populasi tetap konstan tanpa adanya migrasi. Penurunan ini diprediksi memicu penurunan populasi, dengan kematian melebihi kelahiran pada dekade mendatang, serta peningkatan jumlah lansia, dari 30 per 100 orang usia kerja pada 2020 menjadi 59 pada 2060.3
Fenomena tersebut dapat memberikan tekanan ekonomi dan sosial yang besar seperti pengeluaran Pemerintah yang meningkat untuk pensiun dan layanan kesehatan, penurunan tenaga kerja produktif dan penurunan basis pajak yang menjadi sumber penerimaan negara. Menghadapi kondisi tersebut, beberapa negara terpaksa meningkatkan pinjaman negara atau melakukan reformasi kebijakan seperti menaikkan usia pensiun.
- Utang dan Keberlanjutan Fiskal.
Beban utang Pemerintah yang terus meningkat menyebabkan kemampuan negara dalam memberikan stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi lebih terbatas. Berdasarkan data terakhir IMF, beberapa negara utama dunia saat ini mengalami rasio utang terhadap PDB yang terus meningkat seperti Jepang (249%), AS (124%), Italia (139%), Prancis (105 %) UK (104%), Cina (94%). Tingginya utang tersebut juga telah mendorong krisis politik di beberapa negara. Jerman, misalnya, mengalami kelumpuhan setelah Kanselir Olaf Scholz memecat Menteri Keuangan Christian Lindner yang menolak stimulus ekonomi yang dianggap akan memperbesar utang Jerman. Pemecatan ini memicu kekacauan. FDP yang dipimpin Lindner menarik semua menterinya. Akibatnya, koalisi pemerintah yang terdiri dari SPD, Partai Hijau dan FDP runtuh.
- Spekulasi di Sektor Properti dan Keuangan.
Aset-aset investasi, seperti bursa saham dan properti di negara-negara kapitalis, sering mengalami fenomena gelembung (bubble) ketika ekspektasi pendapatan terhadap aset-aset tersebut meningkat tajam. Bubble ini sering menjadi penyebab perlambatan ekonomi, ketika harapan tinggi yang tidak realistis itu runtuh yang memicu “ledakan.”
Sektor properti di Cina, yang mengalami booming sebelum pandemi, meledak pada tahun 2021. Krisis ini memiliki dampak jangka panjang terhadap ekonomi Cina, yang melambat ke kisaran pertumbuhan 5% dalam beberapa tahun terakhir. Ini jauh dari laju pertumbuhan dua digit yang sebelumnya menjadi ciri khasnya. Penurunan tajam harga aset properti menekan pendapatan dan daya beli investor serta mempengaruhi stabilitas ekonomi Cina secara keseluruhan. Pasar properti di Amerika Serikat dan Jepang pernah mengalami kasus serupa yang dipicu oleh tingginya spekulasi di sektor tersebut.
Di bursa saham AS, Price-to-Earnings Ratio (PER)—rasio antara harga perlembar saham dengan pendapatan persaham—beberapa perusahaan teknologi naik di atas ambang normal, seiring dengan masifnya inovasi di sektor teknologi seperti mobil listrik dan Artificial Intelligence (AI). PER Tesla, misalnya, naik menjadi 104 kali pada awal Januari 2025,4 setelah kemenangan Donald Trump yang menggandeng Elon Musk ke dalam kabinetnya.
- Inflasi dan Kebijakan Moneter Ketat.
Penyebab lain yang menghambat pertumbuhan ekonomi global adalah kebijakan moneter ketat untuk menghadapi inflasi. Suku bunga bank sentral yang tinggi berpengaruh besar terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Jalurnya adalah peningkatan bunga pinjaman, yang mengakibatkan pengurangan pengeluaran konsumen yang banyak bergantung pada kredit dan peningkatan tingkat tabungan. Bunga pinjaman yang meningkat serta penurunan belanja menyebabkan investasi bisnis pun ikut melambat. Tahun lalu inflasi dan suku bunga tinggi menjadi salah satu alasan pemilih di AS mendukung Donald Trump ketimbang Biden yang dianggap gagal mengatasi persoalan tersebut.5
- Persaingan Ekonomi.
Beberapa negara maju menghadapi tantangan besar dalam menjaga produktivitas dan daya saing global mereka. AS, Uni Eropa dan Jepang yang dulu dikenal sebagai pusat kekuatan ekonomi global, mulai merasakan tekanan dari pesatnya perkembangan industri di Cina. Keunggulan ini berdampak pada penurunan pertumbuhan di sektor tertentu di negara-negara tersebut yang sebelumnya menjadi andalan ekonomi mereka. Jerman yang dikenal sebagai utama otomotif dan berbagai industri manufaktur lainnya kini mengalami tekanan serius setelah menguatnya pengaruh ekspor Cina di pasar global.6 Daya saing AS juga semakin tersaingi oleh Cina. Defisit perdagangan AS dengan Cina semakin besar. Meskipun AS memiliki keunggulan di beberapa sektor strategis seperti kimia, biofarmasi, semikonduktor dan artificial intelligence, dominasi Cina dalam berbagai industri manufaktur semakin kokoh, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.7
Menggerakkan Ekonomi Riil
Perlambatan pertumbuhan ekonomi atau bahkan krisis dapat terjadi di berbagai negara, terlepas dari sistem ekonomi yang mereka anut. Faktor eksternal seperti perang, bencana alam, atau kecelakaan besar, seperti ledakan pembangkit nuklir, dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi. Namun, sistem Khilafah Islam, yang menerapkan syariah secara komprehensif, menawarkan solusi untuk meminimalkan penyebab krisis dan perlambatan ekonomi yang sering melekat pada Kapitalisme. Strategi pertumbuhan dan pemerataan ekonominya digali sepenuhnya dari dalil-dalil syariah sehingga memiliki pendekatan yang khas dan terstruktur. Hal ini berbeda dengan Kapitalisme yang didasarkan pada asas sekularisme, mengandalkan akal dan hawa nafsu manusia.
- Menyiapkan SDM berkualitas.
Islam memberikan perhatian besar pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi riil yang berkelanjutan. Dalam Islam, terdapat dorongan untuk memperbanyak keturunan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw., “Nikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena aku berbangga dengan jumlah umatku yang banyak pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad). Dorongan ini bertujuan menjamin pertumbuhan populasi yang stabil, yang menjadi salah satu fondasi bagi kemajuan ekonomi dalam jangka panjang.
Islam juga memerintahkan negara untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, seperti sandang, pangan dan papan; juga menyediakan pendidikan dan layanan kesehatan gratis sebagai bagian dari tanggung jawab negara terhadap rakyat.
- Menciptakan iklim yang mendorong inovasi.
Islam mewajibkan pemeluknya untuk menuntut ilmu, termasuk ilmu yang dibutuhkan untuk mencapai kemandirian, kemajuan peradaban, serta mendukung pelayanan terbaik negara kepada publik. Negara Islam juga diperintahkan untuk menyebarkan risalah ke seluruh alam dan menjadikan jihad sebagai metode untuk mengatasi hambatan dalam proses tersebut. Karena itu, inovasi yang tiada henti dalam berbagai bidang, termasuk teknologi militer menjadi sangat krusial untuk melaksanakan misi tersebut.
Ketika Khilafah Islam masih eksis, seperti pada masa Abbasiyah, Negara terlibat dalam menciptakan pusat-pusat keunggulan seperti Baitul Hikmah, tempat para ilmuwan, insinyur, dan teknolog berkumpul untuk menghasilkan penemuan yang mendorong kemajuan peradaban. Keunggulan inovasi AS saat ini seperti dilansir majalah The Economist antara lain adalah investasi R&D yang mencapai 3.5% dari PDB, dan ekosistem inovasi yang didukung oleh universitas terkemuka, pendanaan yang kuat untuk perusahaan teknologi, dan regulasi yang lebih ramah untuk scaling up bisnis.8
Pada awal berdirinya kembali, Khilafah Islam dapat mengadaptasi berbagai metode yang dilakukan oleh sejumlah negara (seperti Korea Selatan dan Cina) untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara pemimpin inovasi, yaitu: transfer teknologi asing, penyebaran teknologi impor di dalam negeri, dan penelitian & pengembangan (R&D) lokal untuk menyerap dan meningkatkan teknologi impor serta menciptakan teknologi sendiri.9
- Mendistribusikan kekayaan dan mendorong pemanfaatan kekayaan secara produktif.
Islam mendorong agar aset dan kekayaan digunakan secara produktif sehingga dapat memberikan manfaat ekonomi bagi individu maupun masyarakat secara luas. Salah satu prinsip yang diajarkan Islam adalah larangan membiarkan tanah pertanian menganggur lebih dari tiga tahun. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang mempunyai tanah, hendaklah ia garap. Jika tidak sanggup ia kelola, maka hendaklah ia berikan tanah itu kepada saudaranya yang beragama Islam, dan jangan dia sewakan.” (HR Abu Dawud).
Islam juga melarang penimbunan emas dan perak, yang pada masa itu merupakan mata uang yang berlaku. Sebabnya, tindakan ini hanya akan menghambat peredaran kekayaan dalam perekonomian. Dengan kata lain, kekayaan harus terus bersirkulasi agar dapat menciptakan nilai tambah dan mencegah stagnasi. Selain itu, distribusi kekayaan melalui instrumen-instrumen seperti zakat, sedekah, wakaf dan hibah yang dirancang untuk memastikan bahwa kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja, tetapi juga sampai kepada mereka yang membutuhkan.
- Memberikan stimulus ekonomi yang bermaslahat bagi rakyat.
Dalam Khilafah Islam, Pemerintah berperan aktif dalam mendorong distribusi kekayaan dan pertumbuhan ekonomi melalui berbagai intervensi dan stimulus. Pada masa Nabi Muhammad saw. dan Khulafaur Rasyidin, pembagian harta Baitul Mal seperti tanah secara cuma-cuma kepada pihak yang membutuhkan merupakan praktik yang umum dilakukan. Nabi saw. juga memberikan contoh bagaimana kepala negara memberikan pekerjaan kepada rakyatnya. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menurunkan tarif ‘ushr pedagang ahludz-dzimmah dari 10% menjadi 5% untuk komoditas gandum dan minyak zaitun agar komoditas itu lebih banyak masuk ke Madinah.
- Mendorong budaya kewirausahaan dan investasi sehat.
Islam mendorong semangat kewirausahaan dengan menekankan tanggung jawab laki-laki yang baligh untuk memenuhi kebutuhan dirinya serta orang-orang yang menjadi tanggungannya seperti istri, anak dan orangtua yang tidak mampu bekerja. Sumber-sumber pendanaan investasi tidak hanya melalui bantuan negara lewat Baitul Mal, namun juga lewat kerjasama bisnis individu dan lembaga keuangan yang berbasis syariah. Model bisnis berbasis Kapitalisme yang mengandalkan utang dan investasi riba, koperasi, asuransi dan pembiayaan melalui perdagangan spekulatif di pasar modal dan pasar uang dilarang karena bertentangan dengan syariah Islam. Hal ini sekaligus menutup celah penyebab krisis ekonomi di negara-negara Kapitalisme. Kendala investasi akibat bunga pinjaman tidak dijumpai di dalam Negara Islam.
- Mengelola APBN yang tidak bertumpu pada utang riba dan pajak ala Kapitalisme.
Dalam sistem ekonomi Islam, APBN tidak bertumpu pada utang riba maupun pajak eksploitatif seperti yang lazim dalam sistem Kapitalisme, yang sering menjadi penyebab instabilitas ekonomi. Ketergantungan Pemerintah pada utang berbasis riba untuk menutupi defisit anggaran menciptakan beban jangka panjang yang berat, terutama saat bunga utang meningkat akibat tekanan di pasar keuangan global. Kondisi ini sering memaksa negara-negara berkembang meminta bantuan kepada lembaga seperti IMF, yang kebijakannya kerap memperburuk situasi. Sebaliknya, dalam sistem Islam, sumber pembiayaan negara didasarkan pada prinsip syariah, termasuk berasal dari pengelolaan sumber daya alam yang menjadi milik umum. Pajak bukan menjadi tumpuan utama pendapatan. Ia hanya dikenakan dalam kondisi tertentu dan pada rakyat yang mampu saja. Pendekatan ini juga menciptakan iklim yang lebih menarik bagi investasi, karena pengusaha tidak dibebani oleh berbagai pajak dan pungutan berat seperti dalam sistem Kapitalisme.
- Menggunakan sistem moneter yang berbasis emas dan perak.
Dalam sistem moneter Islam, Negara akan menggunakan mata uang berbasis emas dan perak. Sistem ini menawarkan stabilitas yang lebih besar dibandingkan dengan mata uang kertas (fiat money), yang sering menjadi penyebab berbagai krisis ekonomi akibat sifatnya yang tidak memiliki nilai intrinsik. Mata uang kertas yang dapat dicetak tanpa batas oleh bank sentral telah menjadi salah satu sumber inflasi dan instabilitas ekonomi, yang pada akhirnya menekan pertumbuhan ekonomi di banyak negara. Dengan mata uang berbasis emas dan perak, risiko manipulasi moneter dapat diminimalkan. Dengan itu ia bisa menjaga daya beli masyarakat dan mencegah inflasi yang merugikan, yang pada dasarnya adalah bentuk pajak tersembunyi atas kekayaan masyarakat.
WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Muis].
Catatan kaki:
1 International Monetary Fund, World Economic Outlook: Policy Pivot, Rising Threats, (Washington, DC: International Monetary Fund, October 2024).
2 European Commission, European Economic Forecast, Autumn 2024, Directorate-General for Economic and Financial Affairs, 2024, https://economy-finance.ec.europa.eu/document/download/7173e7c9-3841-4660-8d6a-a80712932f81_en?filename=ip296_en.pdf.
3 “Declining Fertility Rates Put Prosperity of Future Generations at Risk,” Press release, June 20, 2024, OECD, diakses 4 Januari 2025, https://www.oecd.org/en/about/news/press-releases/2024/06/declining-fertility-rates-put-prosperity-of-future-generations-at-risk.html.
4 Tesla, Inc. (TSLA), “Key Statistics,” Yahoo Finance, diakses 4 Januari 2025, https://finance.yahoo.com/quote/TSLA/key-statistics/.
5 Brit McCandless Farmer, “The Factors That Led to Donald Trump’s Victory,” 60 Minutes Overtime, CBS News, November 10, 2024, diakses 4 Januari 2025, https://www.cbsnews.com/news/factors-that-led-to-donald-trump-victory-60-minutes/.
6 Julius Probst, PhD, “Germany’s Manufacturing Sector Imperiled by China Shock,” Recruitonomics, diakses 4 Januari 2025, https://recruitonomics.com/germanys-manufacturing-sector-imperiled-by-china-shock/.
7 Robert D. Atkinson, “China Is Rapidly Becoming a Leading Innovator in Advanced Industries,” Information Technology and Innovation Foundation (ITIF), September 16, 2024, diakses 4 Januari 2025, https://itif.org/publications/2024/09/16/china-is-rapidly-becoming-a-leading-innovator-in-advanced-industries/.
8 “Special Report: The American Economy,” The Economist, edisi 19 Oktober 2024.
9 Linsu Kim, Imitation to Innovation: The Dynamics of Korea’s Technological Learning (Boston: Harvard Business School Press, 1997), 3.