Nafsiyah

Mewaspadai Fitnah Harta Paling Berbahaya

Tidaklah manusia hidup di dunia, melainkan akan diuji dengan cobaan yang mendera. Salah satunya ujian berkaitan dengan harta. Mahabenar Allah dengan firman-Nya:

۞لَتُبۡلَوُنَّ فِيٓ أَمۡوَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡ وَلَتَسۡمَعُنَّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكُمۡ وَمِنَ ٱلَّذِينَ أَشۡرَكُوٓاْ أَذٗى كَثِيرٗاۚ وَإِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ  ١٨٦

Sungguh kalian akan diuji atas harta dan diri kalian. (Juga) kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian, juga dari orang-orang yang mempersekutukan Allah gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kalian bersabar dan bertakwa, sungguh yang demikian termasuk urusan yang patut diutamakan (QS Ali ‘Imran [3]: 186).

 

Allah SWT bahkan mengawali firman-Nya dengan dua penegasan sekaligus: huruf lam jawâb al-qasam dan nûn al-tawkîd al-tsaqîlah. Hal ini menegaskan kepastian adanya ujian tersebut, termasuk ujian berkenaan dengan harta. Al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H) dalam tafsirnya (II/179) berkata: “Merupakan suatu keharusan bagi setiap orang beriman diuji dengan sebagian harta, jiwa, anak dan keluarganya. Mereka akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika kualitas agamanya meyakinkan, akan ditambah ujian yang diberikan (Allâh) kepada dirinya.”

 

Di Antara Fitnah Terbesar: Harta Penguasa

Pertanyaannya: Apa salah satu ujian terberat bagi kehidupan seorang Muslim? Salah satunya adalah jeratan harta penguasa zalim. Ia bisa menjadi fitnah bagi kehidupan dunia dan akhirat seseorang. Tsauban ra. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّة الْمُضِلِّينَ

Sungguh yang semata-mata aku khawatirkan atas umatku adalah para pemimpin yang (sesat) menyesatkan (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

 

Tidaklah seorang pemimpin dikhawatirkan oleh Rasulullah saw., melainkan karena kepemimpinan yang mengabaikan batasan-batasan syariah Islam, termasuk batasan pengelolaan harta. Kepemimpinan ini digambarkan dalam hadis dari ‘Abdullah bin Umar ra., bahwa Rasulullah saw. juga pernah bersabda:

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ، وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ، إِلَّا جَعَلَ اللهُ بِأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ

Selama para pemimpin mereka tidak berhukum dengan Kitabullah dan memilih-milih hukum yang telah Allah turunkan, maka Allah menjadikan keburukan berada di antara mereka (HR Ibn Majah).

 

Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Târîkh-nya dan Ibn Saad dalam Ath-Thabaqât, dari Ibn Mas’ud ra. yang berkata:

يَدْخُلُ الرَّجُلُ عَلَى السُّلْطَانُ وَمَعَهُ دِيْنُهُ، فَيَخْرُجُ وَمَا مَعَهُ شَيْءٌ

Seseorang yang memasuki pintu penguasa dengan membawa (menggadaikan) agamanya, maka ketika keluar ia tidak membawa apapun.

 

As-Samarqandi menyebutkan dalam Tanbîh al-Ghâfilîn (hlm. 413), dengan tambahan redaksi: Lantas ditanyakan: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia lalu menjawab:

يَرْضِيهِ بِمَا يَسْخَطُ اللهُ

Karena ia meridhai penguasa tersebut dalam perkara yang Allah murkai.

 

Perkara yang Allah murkai adalah yang pasti melanggar syariah-Nya, termasuk dalam persoalan harta, semisal suap-menyuap (risywah). Ulama Nusantara yang mendunia, gurunya para ulama nusantara, Syaikh an-Nawawi al-Bantani (w. 1314 H), ketika menjelaskan maqâlah Al-‘Allamah as-Sayyid Abdullah Ba Alwi (w. 1272 H): “ ولا مترددًا على السلاطين ” (jangan bolak-balik mendatangi para penguasa) dalam Syarh Sullam at-Tawfîq, menukil pendapat al-Imam al-Sya’rani:

اِتَّقُوْا الْوُقُوْفَ عَلَى أَبْوَابِ السَّلاَطِيْنِ، فَإِنَّهَا مَوَاضِعُ الْفِتَّنِ

Takutlah kalian berdiam diri di depan pintu-pintu penguasa karena sesungguhnya itu merupakan tempat-tempat fitnah (keburukan).

 

Ungkapan pintu-pintu penguasa adalah ungkapan kiasan (al-majâz al-mursal), yang menggambarkan seakan-akan keburukan bahkan sudah menjamur di depan pintunya. Lantas bagaimana jadinya jika seseorang memasuki tempatnya, berkomunikasi inten dalam urusan kekuasaan dan kepentingan duniawi dengan penguasa?

Petuah para ulama di atas jelas menjadi nasihat bagi kaum Muslim untuk mewaspadai segala bentuk proyek-proyek duniawi penguasa, semisal proyek pengelolaan tambang yang pada hakikatnya merupakan milik kaum Muslim (al-milkiyyah al-’âmmah) dan bukan milik penguasa. Penguasa tak berhak secara syar’i melakukan privatisasi atas tambang, dengan memberikan hak pengelolaannya secara khusus kepada segelintir orang atau suatu kelompok sehingga bisa mengeruk keuntungan secara sepihak. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ : الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan dan api (HR Ahmad, Ibn Majah dan Abu Dawud).

 

Karena itu barang tambang seperti minyak bumi, gas dan yang semisalnya dengan potensi berlimpah termasuk milik umum, dengan ’illat marâfiq al-jamâ’ah. Ini sejalan dengan kaidah kulliyyah:

كُلُّ مَا كَانَ مِنْ مرَافِقِ الجَمَاعَة كَانَ مِلْكِيَّةً عَامَةً

Segala hal yang termasuk kepemilikan publik adalah termasuk milik umum.

 

Al-’Allamah al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1397 H) dalam Al-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm (hlm. 218), saat menjelaskan hadis ini, menyatakan:

وَفِي هَذَا دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّ النَّاسَ شركَةٌ في الْمَاءِ، وَالْكَلَأِ، وَالنَّارِ، وَأَنَّ الْفَرْدَ يُمْنَعُ مِنْ مِلْكِيَّتِهَا

Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa manusia berserikat dalam air, padang gembalaan dan api (sumber energi, barang tambang) dan bahwa individu terhalang untuk memiliki semua itu.

 

Dengan demikian penguasa wajib mengelola kepemilikan umum dan memastikan pemerataan distribusi kemanfaatannya untuk masyarakat luas. Kepemilikan itu sendiri tidak bisa diraih secara sah hingga dihalalkan oleh syariah. Sudah pasti pengelolaan, pengaturan dan pemanfaatan barang tambang yang diatur oleh syariah Islam bisa menjamin keadilan dan pemerataan distribusi potensi kekayaan. Tidak akan dimonopoli oleh segelintir orang, komunitas atau perusahaan tertentu. Apalagi tatkala sudah jelas bahwa sektor tambang termasuk milik umum dan bukan milik penguasa atau Negara. Dalam hal ini berlaku kaidah yang disebutkan Al-Hafizh al-Suyuthi dalam Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir (hlm. 150-151):

مَا حُرِّمَ أَخْذُهُ حُرِّمَ إِعْطَاؤُهُ

Apa saja yang haram untuk diambil maka haram pula untuk diberikan.

 

Pada saat yang sama haram pula untuk privatisasi:

مَا حُرِّمَ فِعْلُهُ حُرِّمَ طَلَبُه

Apa saja yang haram dikerjakan maka haram pula diminta.

 

Dalam hal ini Allah SWT berfirman memperingatkan:

وَلَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ وَتُدۡلُواْ بِهَآ إِلَى ٱلۡحُكَّامِ لِتَأۡكُلُواْ فَرِيقٗا مِّنۡ أَمۡوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلۡإِثۡمِ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ  ١٨٨

Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil. (Jangan pula) dengan harta itu kalian menyuap para penguasa, dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu (QS al-Baqarah [2]: 188).

 

Menjelaskan ayat ini, Al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam At-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr (hlm. 237) menegaskan:

وَالْبُعْدُ كُلَّ الْبُعْدِ عَنِ اْلأَسْبَابِ غَيْرِ الْمَشْرُوْعَةِ لِلتَّمَلُّكِ كَالرِّشْوَةِ وَالتَّزْوِيْرِ وَالنِّفَاقِ وَاغْتِصَابِ حُقُوْقِ النَّاسِ بِطَاعَةِ الْحُكَّامِ فِي مَعْصِيَّةِ الْخَالِقِ وَتَزْيِيْنِ السُّوْءِ لَهُمْ لِيَصِلُّوْا عَنْ طَرِيْقِهِم إِلَى غَيْرِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَهُمْ

(Hendaklah) menjauh sejauh-jauhnya dari sebab-sebab yang tidak disyariatkan dalam hal kepemilikan seperti suap-menyuap, penipuan, pemalsuan, perampasan hak-hak masyarakat dengan menaati para penguasa dalam bermaksiat kepada Al-Khâliq (Pencipta), serta menghias keburukan mereka agar membuka jalan pada apa yang tidak Allah halalkan atas mereka.

 

Tidaklah Islam mengatur urusan harta dan kepemilikan umum melainkan menjadi jaminan atas keadilan distribusi harta benda di antara umat manusia. Kita harus menjaga diri dari harta yang diharamkan oleh syariah, yang dicabut keberkahannya. Imam Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H), yang dinukil oleh Ibn Muflih al-Maqdisi dalam Al-Âdâb al-Syar’iyyah (II/227) pun menasihati:

لاَ خَيْرَ فِي لَذَّةٍ مِنْ بَعْدِهَا النَّارُ

Tiada kebaikan dalam kenikmatan apapun yang kesudahannya adalah siksa neraka.

 

WalLaahu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − 14 =

Back to top button