Ibrah

Pembuktian Cinta Kepada Nabi Saw.

Suatu saat Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, aku mencintai engkau dari segalanya, kecuali diriku sendiri.”

Beliau bersabda, “Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum dia mencintai aku melebihi cintanya kepada dirinya sendiri.”

Mendengar itu, Umar ra. berkata, “Kalau begitu, sekarang aku mencintai engkau melebihi cintaku kepada diriku sendiri.”

Beliau kembali bersabda, “Sekarang, wahai Umar.” (HR al-Bukhari).

Kisah lainnya, ada seorang Sahabat Rasulullah saw. yang suatu saat menghadiri majelis beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya mencintai engkau melebihi cinta saya pada diri, harta dan keluarga saya sendiri. Jika saya berada di rumah, saya selalu memikirkan engkau. Saya tidak dapat bersabar hingga saya berjumpa dengan engkau. Saya selalu berpikir, bagaimana jadinya jika saya tidak dapat menjumpai engkau lagi karena engkau pasti akan meninggal, demikian juga saya. Engkau di akhirat nanti akan bersama para nabi, sedangkan saya tidak demikian. Itulah yang saya pikirkan, saya khawatir tidak akan bisa bersama engkau lagi.”

Rasulullah saw. hanya berdiam diri. Tidak menjawab. Namun kemudian, turunlah wahyu Allah SWT (yang artinya): Siapa saja yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama-sama dengan orang-orang yang Allah beri nikmat yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada dan orang-orang shalih. Mereka itulah sebaik-baik teman. Itulah karunia Allah Yang Mahatahu (TQS an-Nisa’ [4]: 69-70) (Al-Kandahlawi, Fadhaa’il al-A’maal, hlm. 760).

Kisah Sahabat Nabi Muhammad saw. lainnya, yang menunjukkan betapa besar cinta mereka kepada beliau, adalah kisah Bilal bin Rabbah ra. Bilal bin Rabbah adalah muazin Nabi Muhammad saw. Setiap kali waktu shalat tiba, Bilal akan mengumandangkan azan dengan suara merdunya yang khas.

Setelah wafat Nabi Muhammad saw., Bilal merasa sangat kehilangan. Cintanya yang mendalam kepada Rasulullah saw. membuat Bilal merasa tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan azan. Pasalnya, setiap kali ia mengumandangkan azan, ia teringat kepada Nabi saw. dan tidak mampu menahan tangis.

Bilal kemudian memutuskan untuk meninggalkan Madinah dan tinggal di Suriah. Tujuannya untuk mengurangi rasa rindu yang begitu mendalam kepada Rasulullah saw. Namun, suatu hari, Bilal kembali ke Madinah dan bertemu dengan cucu Rasulullah, Hasan dan Husain. Keduanya meminta Bilal untuk kembali mengumandangkan azan sekali lagi. Meski hatinya berat, Bilal tidak bisa menolak permintaan cucu-cucu yang sangat dicintai Nabi saw. itu.

Ketika Bilal mulai mengumandangkan azan, seluruh penduduk Madinah kembali teringat akan masa-masa ketika Rasulullah masih hidup. Suara azan Bilal yang penuh dengan kerinduan dan kesedihan membuat mereka semua menangis. Mereka ingat betapa dalam cinta Bilal kepada Rasulullah saw.

Kisah Bilal bin Rabbah ra. ini tercatat dalam beberapa kitab. Di antaranya Al-Bidaayah wa an-Nihaayah karya Ibnu Katsir, As-Siirah an-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam, Al-Isti’aab fii Ma’rifat al-Ashaab karya Ibnu Abd al-Barr, dll.

Kisah lainnya, kali ini kisah kecintaan seorang Taabi’iin kepada Rasulullah saw.,  adalah kisah Uwais al-Qarni. Uwais al-Qarni adalah seorang Taabi’iin dari Yaman. Ia sangat mencintai Rasulullah saw. meskipun ia belum pernah bertemu langsung dengan beliau. Kecintaannya kepada Rasulullah saw. begitu besar sehingga dia dikenal sebagai orang yang luar biasa dalam ketaatannya kepada Allah dan pengabdian kepada ibunya.

Suatu ketika, Uwais sangat ingin pergi ke Madinah untuk bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Namun, ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan membutuhkan perawatannya. Akhirnya, Uwais memilih untuk tetap tinggal di Yaman demi merawat ibunya meskipun hatinya sangat rindu untuk bertemu dengan Rasulullah saw.

Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda kepada para Sahabatnya, termasuk Umar bin al-Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, bahwa akan ada seorang dari Yaman bernama Uwais al-Qarni yang sangat berbakti kepada ibunya.

Kisah Uwais al-Qarni ini menunjukkan betapa besar cinta seorang Taabi’iin kepada Rasulullah saw., meskipun ia tidak pernah bertemu langsung dengan beliau. Uwais memilih untuk mendahulukan ibunya, yang juga merupakan perintah Rasulullah saw. Dengan demikian kecintaannya kepada beliau bukan hanya dalam bentuk kerinduan, tetapi juga dalam ketaatan yang sempurna pada ajaran-ajaran Nabi saw.

Kisah Uwais al-Qarni tercatat dalam beberapa kitab. Di antaranya  antara lain dalam Shahiih Muslim karya Imam Muslim, Al-Isti’aab fii Ma’rifat al-Ashaab karya Ibnu Abd al-Barr, Asad al-Ghaabah fii Ma’rifat as-Sahaabah karya Ibnu al-Athir, Hilyah al-Awliyaa’ wa Tabaqaat al-Asfiyaa karya Abu Nu’aim al-Isfahani, dll

Adapun dari kalangan Taabi’ at-Taabi’iin, kisah cinta mereka kepada Rasulullah saw. antara lain diwakili oleh kisah Imam Malik bin Anas ra., pendiri Mazhab Maliki.

Imam Malik sangat mencintai Rasulullah saw. dan menunjukkan rasa hormat yang luar biasa kepada beliau dalam berbagai aspek kehidupannya. Salah satu contoh yang terkenal adalah sikap Imam Malik terhadap Kota Madinah, tempat Rasulullah saw. dimakamkan. Imam Malik tidak pernah mengendarai hewan tunggangan atau berjalan dengan alas kaki di dalam Kota Madinah. Ia mengatakan bahwa ia tidak ingin menginjak tanah yang mungkin saja pernah disentuh oleh kaki Rasulullah saw. dengan cara yang kurang hormat.

Imam Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam berbicara tentang Hadis Nabi saw. Ia selalu menjaga wudhunya dan mengenakan pakaian terbaiknya ketika hendak menyampaikan hadis Rasulullah saw. kepada murid-muridnya. Ini karena ia merasa bahwa menyampaikan hadis adalah tindakan yang sangat mulia dan harus dilakukan dengan penuh cinta dan rasa hormat kepada Rasulullah saw.

Kisah Imam Malik bin Anas ra. ini tercatat dalam beberapa kitab antara lain: Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, Tartiib al-Madaarik wa Taqriib al-Masaalik karya Qadhi ‘Iyadh, Siyar A’laam an-Nubalaa dan Tadzkiraat al-Huffaazh karya Imam adz-Dzahabi, dll.

Lalu bagaimana dengan kita hari ini yang jauh dari era mereka? Bagaimana pembuktian cinta kita kepada Nabi Muhammad saw.? Jawabannya: Cukuplah dengan menjalankan mengamalkan seluruh syariah yang beliau bawa baik dalam level pribadi, keluarga, masyarakat dan negara.

Wa maa tawfiiqii illaa bilLaah. [Arief B. Iskandar]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

9 + 15 =

Check Also
Close
Back to top button