Pesan Rasulullah saw: Jangan Ambil Cahaya Dari Api Kaum Kafir!
Dunia Islam bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Banyak, namun bagaikan buih di lautan. Hidup tercerai-berai. Tanpa kesatuan kepemimpinan. Potensi milyaran sumberdaya manusia (SDM) kaum Muslim, potensi sumberdaya alam (SDA) di negeri-negerinya, juga potensi besar kekuatan militer umat Islam bahkan tak mampu menggetarkan musuh, termasuk penjahat Zionis Yahudi dan sekutunya. Hari ini bahkan umat bagaikan unta yang mati kehausan, padahal air di punggungnya tersimpan. Sayangnya, di tengah situasi keterpurukan, umat, terutama penguasanya malah berkiblat kepada peradaban barat yang tak beradab, gagal dan rusak. Penyair bertutur:
عَجِبْتُ لِقوْمٍ أضَلّوا السّبيلَ #
وقد بيّنَ الله سبلَ الهدى
فما عرفوا الحقّ لما استبانَ #
ولا أبصروا الفجرَ الما بدا
Aku heran kepada kaum yang tersesat dari jalan kebenaran
Sungguh Allah telah menjelaskan jalan petunjuk
Mereka tak mengenal kebenaran yang terang-benderang
Tidak pula melihat fajar tatkala terbit
Bagaimana mungkin kaum Muslim yang dimuliakan Allah dengan petunjuk Islam, mencari kesesatan dari kaum yang bahkan tak mengenal Rabb-nya?
وَلِلَّهِ ٱلۡعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِۦ وَلِلۡمُؤۡمِنِينَ ٨
Milik Allahlah kemuliaan itu, juga milik Rasul-Nya dan kaum Mukmin (QS al-Munafiqun [63]: 8).
Mereka mengadopsi peradaban mereka. Mereka bahkan melanggar peringatan Rasulullah saw. yang melarang mengambil cahaya dari api milik kaum kafir. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ تَسْتَضِيئُوا بِنَارِ الْمُشْرِكِينَ
Janganlah kalian mencari penerangan dari api kaum musyrik (HR al-Bukhari, Ahmad dan an-Nasa’i).
Lafal al-musyrikîn dalam hadis ini mencakup kaum kafir secara umum. Disebutkan sebagian, yakni kaum musyrik, namun maksudnya keseluruhan kaum kafir. Ini menjadi kiasan: menyebutkan sebagian, namun maksudnya keseluruhan (al-majâz al-mursal bi al-’alâqah al-juz’iyyah). Ini sebagaimana ditunjukkan (qarînah) nas al-Quran (QS at-Taubah [9]: 28-31).
Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid (w. 1429 H) menukilkan penjelasan al-‘Allamah Muhammad al-Amin asy-Syinqithi (w. 1393 H) bahwa kaum musyrik mencakup kaum kafir secara umum (dalam QS at-Taubah [9]: 28) dan Ahl al-Kitâb, termasuk kaum musyrik (dalam QS at-Taubah [9]: 30-31). Iya mencakup kaum kafir lintas zaman. Apalagi pada zaman ini yang terang-benderang. Mereka terbukti menimbulkan banyak dharar atas kaum Muslim pada seluruh aspek kehidupan.
Hadis ini dijadikan oleh para ulama sebagai dalil keharaman mengambil pandangan hidup kaum kafir, juga keharaman meminta bantuan institusi independen kaum kafir dalam peperangan. Frasa lâ tastadhî’û terdiri dari huruf lam nafi (larangan) di depan kata kerja al-mudhâri’, tastadhî’û. Maknanya thalab al-dhaw’i (mencari cahaya). ia menjadi kiasan yang dipinjam (al-isti’ârah) untuk melarang perbuatan mencari solusi atas permasalahan hidup dari kaum kafir. Frasa “nâr al-musyrikîn” merupakan kiasan (kinâyah) dari pandangan hidup kaum kafir. Pasalnya, nâr bermakna api yang memancarkan cahaya, namun bersifat membakar. Ia tampak sebagai solusi, padahal menjadi sumber masalah itu sendiri.
Karena itu tidak layak Mukmin mengambil cahaya dari apinya kaum kafir, mengambil sumber masalah sebagai solusi atas permasalahan kehidupan. Para ulama pun menjadikan hadis ini sebagai larangan menjadikan kaum kafir sebagai rujukan dan larangan bermusyawarah dengan mereka dalam persoalan kehidupan.
Al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) dalam Syarh-nya atas Sunan al-Nasâ’î (VIII/174) menjelaskan: “(Al-Hafizh Ibn al-Atsir) berkata dalam An-Nihâyah bahwa Nabi saw. menghendaki maksud an-nâr di sini adalah pandangan (al-ra’yu), yakni janganlah kalian bermusyawarah dengan mereka sehingga al-ra’yu ini diserupakan dengan cahaya ketika mengalami kebingungan.”
Al-Imam al-Baihaqi (w. 458 H) dalam As-Sunan al-Kubrâ’ (X/127) menegaskan:
فَإِنَّهُ يَقُولُ لا تَسْتَشِيرُوا الْمُشْرِكِينَ فِى شَىْءٍ مِنْ أُمُورِكُمْ
Sungguh Nabi saw. bersabda (maksudnya) yakni: janganlah kalian mengambil petunjuk orang musyrik dalam hal apapun dalam urusan kalian.
Imam al-Baihaqi lalu menegaskan hal tersebut dengan firman Allah SWT:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ بِطَانَةٗ مِّن دُونِكُمۡ لَا يَأۡلُونَكُمۡ خَبَالٗا وَدُّواْ مَا عَنِتُّمۡ قَدۡ بَدَتِ ٱلۡبَغۡضَآءُ مِنۡ أَفۡوَٰهِهِمۡ وَمَا تُخۡفِي صُدُورُهُمۡ أَكۡبَرُۚ ١١٨
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil sebagai teman kepercayaan kalian orang-orang yang berada di luar kalangan kalian (karena) mereka tak henti-hentinya membahayakan kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, sementara apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi (QS Ali ‘Imran [3]: 118).
Ini diperjelas dengan perintah menyelisihi kaum kafir, dari Ibn ’Umar ra., Rasulullah saw. bersabda:
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ
Selisihilah kaum musyrik (HR al-Bukhari, Muslim dan al-Baihaqi).
Di sisi lain, peringatan Rasulullah saw. atas api kaum musyrik pun menjadi dalil keharaman meminta bantuan mereka sebagai institusi/kelompok independen dari kekuasaan Islam. Frasa “nâr al-musyrikîn” dimaknai oleh Al-’Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1397 H):
نَارُ الْقَوْمِ كِنَايَةٌ عَنْ كِيَانهم فِي الْحَرْبِ كَقَبِيْلَةٍ مُسْتَقِلَّةٍ أَوْ كَدَوْلَةٍ
Api suatu kaum merupakan kinâyah (kiasan penjulukan lain) dari institusi mereka dalam suatu peperangan sebagai sebuah suku (kabilah) independen atau sebagai suatu negara.
Dalam Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Jilid II, bab “Al-Isti’ânah bi al-Kuffâr fî al-Qitâl,” al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan bahwa meminta bantuan mereka sebagai kelompok tertentu yang memiliki institusi yang independen dari Negara Islam hukumnya haram.
Sebab Penguasaan Kaum Kafir
Perbuatan menjadikan mereka sebagai kiblat bagi permasalahan kehidupan adalah sebab kekalahan, kehinaan dan penguasaan mereka atas kaum Muslim. Segala bentuk perbuatan yang diduga kuat melapangkan jalan kaum kafir menguasai kaum Mukmin hukumnya haram, Allah SWT berfirman:
وَلَن يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لِلۡكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ سَبِيلًا ١٤١
Sekali-sekali Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Al-Hafizh al-Qurthubi (w. 671 H) dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (V/417) memaparkan perincian penafsiran ayat ini, bahwa Allah takkan pernah memberikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin, kecuali jika mereka saling mendorong kepada kebatilan, tidak melarang dari kemungkaran dan menolak bertobat hingga terjadi penguasaan musuh, berdasarkan firman-Nya:
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِيكُمۡ ٣٠
Apa saja musibah yang menimpa kalian, hal itu disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri (QS asy-Syura [42]: 30).
Menafsirkan ayat ini dan menggunakan dalil yang sama, Al-Imam Muhammad bin ’Ali asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam Fath al-Qadîr (hlm. 609) memperingatkan: “Sungguh Allah tidak memberikan jalan bagi kaum kafir menguasai kaum Mukmin, selama kaum Mukmin mengemban kebenaran, tidak ridha terhadap kebatilan dan tidak meninggalkan perbuatan melarang dari kemungkaran.”
Perbuatan kaum Muslim membiarkan Gaza berdarah-darah oleh genosida penjahat Zionis Yahudi, membiarkan bahkan mendukung kemungkaran mereka dengan mengurung kaum Muslim dalam blokade Gerbang Rafah, dan memasok bahan bakar kepada Zionis Yahudi adalah satu dari sekian banyak sebab kehinaan dan keterpurukan kaum Muslim dunia. Apalagi ketika kaum Muslim berharap kepada lembaga-lembaga asing kaum kafir dan terpedaya alunan suara sumbang, khurafat solusi dua negara, two-state solution yang diklaim sebagai win win solution (solusi jalan tengah). Ini menjadi pelajaran: jangan pernah sudi mengambil cahaya dari api kaum Kuffar, dan kemuliaan semata-mata dalam Islam. Umar bin al-Khaththab ra. berkata:
إِنَّا قَوْمٌ أَعَزَّنَا الله بِالإِسْلامِ فَلَنْ نَبْتَغِيَ الْعِزَّةَ بِغَيْرِهِ
Kami adalah kaum yang Allah muliakan dengan Islam. Karena itu kami tak akan pernah mencari kemuliaan dengan selain Islam.
WalLaahu a’lam. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I]